oleh Budi Eko Prasetiya
Bulan Dzulhijjah sebagaimana namanya adalah bulan milik orang-orang yang sedang berhaji. Pada bulan tersebut dilaksanakan seluruh rangkaian kegiatan ibadah haji termasuk wuquf yang merupakan puncaknya. Pada hari wuquf juga diperingati sebagai hari besar umat muslim yaitu Idul Adha atau Idul Qurban yang juga biasa disebut sebagai Hari Raya Haji.
Pada bulan ini, umat Islam Indonesia yang telah selesai menunaikan seluruh rangkaian ibadah hajinya akan pulang dengan menyandang gelar baru yaitu Haji dan Hajjah yang biasa disematkan pada nama depan dengan akronim H dan Hj. Gelar dan penyebutan tersebut berpengaruh pada perubahan status sosial bagi yang memilikinya. Ada aura kesolehan yang melekat pada gelar itu.
Gelar “haji” tergolong cukup unik dan bernilai sakral dari perspektif perjuangan Indonesia. Sejarah panjang penyematan gelar haji atau hajjah itu muncul karena tiga faktor, yaitu : faktor sejarah kolonial, kultural, dan, tentu saja, kesadaran beragama.
Perjalanan haji bagi Ummat Islam dari Nusantara merupakan perjalanan panjang dan berat. Dulu, Jamaah haji dari Nusantara harus menempuh perjalanan laut, menerjang ombak dan badai selama berbulan-bulan, juga menghindari perompak, hingga menjelajah gurun.
Orang yang kembali dengan selamat ke Nusantara dianggap punya anugerah kehormatan. Terhormat karena bisa beribadah langsung di Kabah yang merupakan kiblat umat Islam dan berkunjung ke negeri kelahiran Nabi Muhammad. Kondisi itulah yang membuat gelar jemaah haji terhormat bagi masyarakat Tanah Air.
Dari kronologis sejarahnya gelar haji pada awalnya adalah taktik dan strategi kolonial untuk membatasi pergerakan politis umat Islam melawan penjajahan. Dikutip dari Agus Sunyoto, penulis buku Atlas Wali Songo, menyatakan bahwa hal tersebut mulai muncul sejak tahun 1916.
“Dulu tidak ada Haji Diponegoro, Kiai Haji Mojo, padahal mereka sudah haji? Dulu kiai-kiai enggak ada gelar haji, wong itu ibadah kok. Sejarahnya (gelar “haji”, red) dimulai dari perlawanan umat Islam terhadap kolonial. Setiap ada pemberontakan selalu dipelopori guru thariqah, haji, ulama dari Pesantren, sudah, tiga itu yang jadi ‘biang kerok’ pemberontakan kompeni, sampai membuat kompeni kewalahan”
Para kolonialis pun bingung karena setiap ada warga pribumi pulang dari Mekkah selalu terjadi pemberontakan. Tidak ada pemberontakan yang tidak melibatkan haji, terutama kiai haji dari pesantren-pesantren itu. Untuk memudahkan pengawasan pada tahun 1916 penjajah mengeluarkan keputusan Ordonansi Haji, yaitu setiap orang yang pulang dari haji wajib menggunakan gelar “haji”.
Secara politis, ibadah haji memiliki kekuatan politis yang bisa menjadi gerakan politik yang sangat diperhitungkan oleh kolonial. Belanda mengkhawatirkan orang-orang yang pulang dari ibadah haji diterima sebagai orang suci yang lebih mudah didengar dan dipatuhi. Sehingga pemerintah Belanda membuat peraturan ketat yang berhubungan dengan ibadah Haji.
Seiring waktu berjalan sebutan gelar Haji itu semakin populer di tengah umat muslim Tanah Air. Penyematan gelar dan panggilan ‘Haji’ menjadi akrab di Indonesia, bahkan merembet ke sejumlah negara muslim di kawasan Asia Tenggara. Tak sedikit yang merasa bangga dipanggil “haji”. Gelar haji bisa berfungsi sebagai alat kontrol agar senantiasa berperilaku sholih dan menjadi teladan kebaikan, berperan dalam perbaikan masyarakat melalui amar ma’ruf nahi munkar.