Sad Boy, Cinta Palsu Generasi Milenial! Ini Solusinya

Sad Boy, Cinta Palsu Generasi Milenial! Ini Solusinya

Oleh: Rika Arlianti DM

Akhir-akhir ini, ramai tentang kisah cinta monyet seorang sad boy yang meratap pilu di media sosial dan di tayangan stasiun televisi. Anak di bawah umur itu kian terkenal pasca penyiaran tersebut dan setelah menghadiri undangan podcast sejumlah selebritis.

Hal ini bukan sesuatu yang baru lagi di bumi Nusantara, tapi sangat kontras dengan predikat mayoritas Islam terbesar di dunia. Berbagai media seperti stasiun televisi dan youtuber ikut mendukung dengan cara memfasilitasi konten tersebut.

Remaja yang harusnya sibuk belajar, malah sibuk memviralkan diri dengan kisah pacarannya yang memilukan. Negara seperti tutup mata akan hal ini. Malangnya, beberapa oknum justru mengeksploitasi dengan menjadikannya tontonan dan hiburan tanpa menimbang bagaimana dampak yang akan ditimbulkan kepada anak-anak remaja lainnya.

Padahal, ada banyak remaja berprestasi di luar sana yang lebih layak dan pantas untuk dijadikan tontonan. Sayangnya, banyak masyarakat yang tidak antusias dengan tayangan seperti itu, sehingga hal positif yang idealnya mendidik kadang tidak tersentuh publik.

Ironis memang, negara yang penduduknya dominan Islam tapi tak mencerminkan keislaman dalam berpedoman hidup. Banyak masyarakat yang ikut andil menebar pergeseran budaya dan agama, serta menormalisasi zina. Tak lagi berpedoman kepada Al-Qur’an dan hadis, melainkan budaya liberal yang diperoleh melalui media informasi.

Secara tidak langsung, generasi muda disulap menjadi ambassador sekaligus pelaku zina, meski di bungkus dengan istilah menarik dan kekinian sebagai budaya normalisasi zina. Sebut saja pacaran syar’i, sex befiore married, teman tapi mesra (TTM), sexual consent (hubungan seks yang disepakati), one night stand (cinta satu malam), making love (ML), sleepover date (kencan menginap), kohabitasi (tinggal serumah tanpa ikatan pernikahan), having sex, friends with benefit (FWB), dan sebagainya.

Faktanya, apa pun istilah yang digunakan, namanya zina tetaplah zina. Tidak ada tawar menawar atau menormalisasikan. Sebab zina merupakan salah satu dosa besar, yang mendekatinya saja dilarang keras, terlebih melakukannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman;

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً ۗوَسَاۤءَ سَبِيْلًا

Terjemahnya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32).

Mirisnya, hal tersebut sering dianggap biasa oleh masyarakat. Bahkan beberapa orang tua seperti ikut mendukung atau memaksa anaknya untuk berzina. Seperti mengizinkan anak gadisnya bepergian dengan yang bukan mahram, memberikan akses untuk berduaan, sengaja menginterogasi anak dengan pertanyaan, “Kenapa belum punya pacar? Pacarmu orang mana? Sedang dekat dengan siapa? Sudah berapa lama dengan si fulan?” dan seterusnya.

Selain itu, sistem pendidikan di Indonesia, umumnya tidak berlandaskan Islam hingga tak heran jika gagal menciptakan output sesuai syariat-Nya. Alhasil mereka cenderung menghamba pada syahwat dunia, mempertuhankan hawa nafsu.

Sistem pendidikan hari ini juga sangat minim informasi tentang pergaulan terpisah antara laki-laki dan perempuan, kecuali dalam urusan tertentu yang diperbolehkan. Jadilah laki-laki dan perempuan bercampur baur yang akan menimbulkan rangsangan-rangsangan pembangkit syahwat.

Sekali lagi, hal ini diperparah dengan kebebasan media dan peran masyarakat. Pornografi dan porno aksi ada di mana-mana dan mudah diakses oleh semua kalangan termasuk remaja bahkan anak-anak, sementara pemahaman agama sangat minim, serta godaan iblis laknatullah sangat masif.

Mujahid bin Jabr, murid utama Ibnu Abbas menyebutkan bahwa iblis memiliki lima anak, satu di antaranya bernama Al-A’war yang memiliki tugas khusus menyeru orang untuk berbuat zina dan menghiasinya agar tampak baik dalam pandangan manusia (Talbisul Iblis, Ibnu Al-Jauzy).

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda; “Jika datang pagi hari, Iblis menyebar para tentaranya ke muka bumi lalu berkata, “Siapa di antara kalian yang menyesatkan seorang muslim akan aku kenakan mahkota di kepalanya.”

Salah satu tentaranya menghadap dan berkata, “Aku terus menggoda si fulan hingga mau menceraikan istrinya.” Iblis berkata, “Ah, bisa jadi dia akan menikah lagi.”

Tentara yang lain menghadap dan berkata, “Aku terus menggoda si fulan hingga ia mau berzina.” Iblis berkata, “Ya, kamu (yang mendapat mahkota)!” (HR Ahmad dan Ibnu Hibban, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 1280).

Tidak hanya itu, iblis menjadikan hal ini sebagai target utama, sehingga dia melakukan sayembara bagi setan mana pun yang mampu menjerumuskan manusia kepada zina, maka iblis akan memakaikan mahkota di kepalanya sebagai tanda jasa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman;

قَالَ رَبِّ بِمَآ اَغْوَيْتَنِيْ لَاُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِى الْاَرْضِ وَلَاُغْوِيَنَّهُمْ اَجْمَعِيْنَۙ

Terjemahnya: “Ia (Iblis) berkata, “Tuhanku, oleh karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS. Al-Hijr: 39).

Menurut tafsir Ibnu Katsir bahwa iblis mengatakan, “Sesungguhnya aku akan membuat mereka senang dan memandang baik perbuatan-perbuatan maksiat, dan aku akan anjurkan mereka serta menggiring mereka dengan gencar untuk melakukan kemaksiatan.” dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. Yang dimaksud dengan ‘mereka’ ialah anak cucu keturunan Adam alaihis salam.

Lebih buruknya lagi, masih ada segelintir manusia yang meski sudah tahu ilmunya, tapi ikut melakukannya. Atau beberapa yang tidak ikut melakukan, namun memilih menjadi penonton tanpa mengambil tindakan apa-apa. Padahal, seyogianya sangat dianjurkan menasihati saudari, mengingatkan bahwa aktivitas tersebut merupakan hal yang dilarang, tergolong dosa besar, perbuatan keji, dan jalan yang buruk.

Entah mereka menerima atau tidak, itu bukan tanggung jawab manusia. Sebab tugas manusia yang sesama hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya menyampaikan dan mendoakan, selebihnya kembalikan kepada Yang Maha Membolak-balikkan Hati. Hal ini merupakan salah satu solusi menangkal budaya normalisasi zina.

Orang tua juga hendaknya menutup peluang dan ruang gerak budaya normalisasi zina dengan menyuruh anak gadisnya menutup aurat dan anak lelakinya menundukkan pandangan. Tidak lupa memberi wejangan berupa pemahaman akan bahaya aktivitas maksiat tersebut.

Menjadikan Islam sebagai solusi paling utama dan benteng paling kokoh dalam melindungi diri, keluarga, dan orang sekitar dengan menanamkan tauhid ke dalam jiwa setiap muslim dan muslimah, mengajarkan Al-Qur’an dan hadis secara menyeluruh dan berkesinambungan.

Sebab para remaja, pemuda, terlebih yang bergelar sebagai pelajar dan mahasiswa diharapkan tidak hanya menjadi seorang muslim yang cerdas intelektualnya, namun juga cerdas moralnya. Wallahu a’lam bishawab.

Bagikan