KHARTUM (jurnalislam.com)— Perdana Menteri Sudan, Kamil Idris, menyerukan agar kejahatan dan kekejaman yang dilakukan oleh Pasukan Dukungan Cepat (RSF) di Kota El Fasher, Darfur Utara, diadili di pengadilan internasional.
Dalam wawancara dengan surat kabar Blick yang terbit di Swiss pada Ahad (2/11), Idris menegaskan bahwa komunitas internasional tidak boleh diam terhadap pelanggaran berat yang terjadi di Sudan.
“Komunitas internasional belum berbuat banyak. Kita membutuhkan tindakan, bukan hanya kata-kata. Setiap kejahatan harus dituntut di pengadilan termasuk di tingkat internasional,” ujarnya.
Setelah 18 bulan pengepungan, pemboman, dan kelaparan, pasukan RSF berhasil menguasai El Fasher pada 26 Oktober lalu, merebut benteng terakhir militer Sudan di wilayah Darfur barat.
Sejak kota itu jatuh ke tangan RSF, warga sipil dan pekerja kemanusiaan melaporkan terjadinya pembunuhan massal, penjarahan, pemerkosaan, serta aksi kekerasan sistematis, yang memicu kecaman internasional.
Idris mendesak negara-negara anggota PBB untuk menetapkan RSF sebagai organisasi teroris dan mengambil langkah nyata untuk menghentikan kekejaman mereka.
Namun, ia menolak usulan pengerahan pasukan asing ke Sudan, dengan alasan hal itu akan melanggar kedaulatan nasional.
“Pasukan internasional akan merusak kedaulatan dan integritas wilayah Sudan. Itu ilegal dan hanya akan menambah kekacauan,” kata Idris.
“Tentara dan rakyat Sudan bertekad menyelamatkan serta membebaskan El Fasher.” imbuhnya.
Jatuhnya El Fasher membuat RSF kini menguasai seluruh lima ibu kota negara bagian di Darfur, yang secara efektif membelah Sudan di sepanjang poros timur–barat.
Pasukan RSF, yang merupakan keturunan milisi Janjaweed kelompok yang dituduh melakukan genosida di Darfur dua dekade lalu kini telah membentuk pemerintahan tandingan di wilayah barat, sementara militer Sudan masih mempertahankan kendali atas wilayah utara, timur, dan tengah.
Perang saudara yang pecah sejak April 2023 telah menewaskan lebih dari 20.000 orang dan menyebabkan sekitar 15 juta penduduk mengungsi, menimbulkan kekhawatiran akan terulangnya perpecahan seperti yang terjadi saat Sudan Selatan memisahkan diri pada 2011. (Bahry)
Sumber: TNA