People Power Bukan Makar

People Power Bukan Makar

Penulis: DR. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.
Ahli Hukum Pidana – Direktur HRS Center

Salah satu aspek hukum yang selalu mengalami konflik norma dalam praktik bekerjanya hukum adalah tentang kepentingan hukum negara (staatsbelangen) dalam KUHPidana, khususnya delik makar. Dalam mewujudkan penegakan hukum yang bermartabat dengan menjunjung tinggi “kepastian hukum yang adil” (Pasal 28D ayat 1 UUD 1945), maka keberlakuan hukum pidana tidak boleh melampaui norma hukum yang telah ditentukan. Mengacu kepada ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, diketahui bahwa aksiologi hukum yang dianut mengacu kepada nilai-nilai keadilan yang bersifat mendasar (fundamental) dan nilai kepastian hukum, baik hukum formil maupun materil harus mengandung kepastian dan keadilan,termasuk dalam penerapannya (in concreto).

Dengan demikian, perbuatan pidana (makar) tidak sepatutnya ditafsirkan secara luas, menjangkau perbuatan yang tidak selayaknya untuk dikategorikan sebagai tindak pidana makar. Pada delik makar, setidaknya terdapat 5 (lima) jenis perbuatan yang dilarang dalam KUHPidana, yakni Pasal 104 (makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden); Pasal 106 (makar dengan maksud memisahkan diri dari Indonesia); Pasal 107 (makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah); Pasal 108 (pemberontakan); dan Pasal 110 (permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan menurut Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, dan Pasal 108).

“Makar” yang dimaksudkan adalah “anslaag” yang artinya serangan atau “violence attack”, yang harus dikaitkan dengan rumusan norma lain, yakni Pasal 87 KUHP. Sebagai suatu “serangan” dipersyaratkan adanya niat dan perbuatan permulaan pelaksanaan, sehingga dengan terpenuhinya syarat itu terhadap pelaku tindak pidana makar telah dapat dilakukan tindakan oleh penegak hukum. Anslaag dapat pula dipahami sebagai rencana jahat (misdadig plan).

Redaksi asli tentang istilah makar diambil dari Pasal 107 ayat (1) KUHP. Untuk menguraikan pengertian makar tersebut, penulis mengutip redaksi asli dari Pasal 107 ayat (1) KUHP yang berbunyi: “De aanslag, ondernomen met het oogmerk om omventelingteweeg to brengen, wortft gestrat me gevangenisstraf van ten hoogste vifjtien jaren“. Engelbrecht menerjemahkan, “makar yang dilakukan dengan maksud akan meruntuhkan pemerintahan, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima betas tahun”. Moeljatno memberikan terjemahan, “makar dengan maksud menggulingkan pemerintahan diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.

Kedua rumusan tersebut mensyaratkan adanya suatu perbuatan aktif berupa “meruntuhkan atau menggulingkan pemerintahan” yang sah. Dilihat dari bentuknya, maka rumusan tersebut terkualifikasi melawan hukum yang formil, yakni membatasi tindak pidana hanya pada apa yang dimaksud dalam hukum pidana positif dan tidak memberikan ruang rumusan tindak pidana di luar undang-undang pidana, apa yang tercantum dalam hukum pidana, maka itulah delik.

Sepanjang pengetahuan penulis, makar juga harus diartikan sebagai setiap tindakan yang dilakukan “dengan maksud” (opzet als oogrmerk) untuk mencapai salah satu akibat yang disebutkan di dalam rumusan tindak pidana, baik yang menjurus pada timbulnya akibat seperti itu, maupun yang dapat dianggap sebagai suatu percobaan untuk menimbulkan akibat-akibat seperti yang dirumuskan. Perihal kesengajaan becorak dengan maksud ini terkait dengan unsur menghendaki dan mengetahui (willens en wetten) yang dikaitkan dengan kejahatan terhadap keamanan negara (misdrijven tegen veiligheid van de staat). Adapun Pasal 87 KUHP mensyaratkan bahwa unsur yang terpenting dalam tindak pidana ini adalah niat dan permulaan pelaksanaan, dan tentunya permulaan pelaksanaan dimaksud adalah permulaan untuk suatu perbuatan yang melawan hukum.

Terkait dengan seruan “People Power” dalam kaitannya menuntut Pilpres yang jujur dan adil, adalah aksi damai dalam perspektif negara demokrasi. Tidak dapat dipungkiri adanya indikasi kuat telah terjadi kecurangan dalam penyelenggaraan Pilpres, baik menyangkut tatacara, proses maupun mekanisme yang dilakukan dengan terstruktur, sistematis dan massif. People Power bukanlah termasuk serangan yang ditujukan untuk “meruntuhkan atau menggulingkan pemerintahan”, melainkan hanya sebatas bentuk ungkapan harapan yang tidak termasuk perbuatan tindak pidana. Didalilkan sebagai berikut:

Pertama, secara objektif apa yang dimaksud dengan People Power tidaklah mendekatkan kepada delik yang dituju, yakni delik makar. Dengan lain perkataan tidak ada mengandung indikasi atau potensi untuk tindak pidana makar sebagaimana diatur dalam KUHPidana.

Kedua, ditinjau secara subjektif yaitu dipandang dan sudut niat, People Powersesuai dengan misinya, adalah sebatas ungkapan harapan dalam era demokratisasi, sehingga tidak ada kesengajaan dengan maksud – menghendaki perbuatan dan akibatnya – bahwa apa yang dilakukan itu ditujukan pada delik  makar.

Ketiga, People Power bukanlah termasuk suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum. People Power tidak bertentangan dengan hukum positif yang berlaku dan oleh karenanya bukan suatu perbuatan pidana. People Power dijamin oleh Konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 disebutkan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.” Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, juga diakui dan dijamin penyampaian pendapat secara bebas sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, barbangsa, dan bernegara (Pasal 2). Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum oleh warga negara, aparatur pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk melindungi hak asasi manusia, menghargai asas legalitas, menghargai prinsip praduga tidak bersalah, dan menyelenggarakan pengamanan (Pasal 7). Kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat diakui dan dijamin dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 24 ayat (1) menyatakan “Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai.” Pasal 25, meyatakan “Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Lebih lanjut, Indonesia sudah meratifikasi tentang ICCPR melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Salah satu substansi konvenan, menetapkan hak orang untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat (Pasal 19). ICCPR pada dasarnya memuat ketentuan mengenai pembatasan kewenangan negara. Oleh karena itu, hak-hak yang terhimpun di dalamnya sering juga disebut sebagai hak negatif (negative rights). Artinya, hak-hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara dibatasi. Jika negara terlalu intervensi, maka hak-hak dan kebebasan yang diatur di dalamnya akan dilanggar oleh negara. Negara-negara pihak yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak tersebut, akan mendapatkan kecaman sebagai negara yang telah melakukan pelanggaran serius terhadap Hak
Asasi Manusia (gross violation of human rights).

Kita ketahui, bahwa tingkat (eskalasi) ancaman atau ketercelaan dari berbagai ragam pebuatan adalah berbeda-beda, begitu pula tingkat ancaman terhadap keselamatan dan kewibawaan pemerintah. Bagaimana mungkin kita harus menilai suatu perbuatan (actus reus) dan terlebih lagi sikap batin (mens rea) dari tiap-tiap perbuatan seseorang dengan cepat dikatakan sebagai perbuatan makar, padahal kenyataannya nuansa dan konteksnya begitu beragam, termasuk People Power. Tidaklah dapat dibenarkan pernyataan yang mengatakan bahwa People Powerterindikasi makar, pernyataan tersebut menunjukkan adanya kesesatan berpikir dalam memahami premis mayor (in abstracto). Dengan demikian, pemerintah khususnya aparat penegak hukum harus berhati-hati menerapkan pasal-pasal yang berkenaan dengan makar dan tidak menjadi alat untuk membungkam kebebasan menyampaikan pendapat dalam Negara hukum yang demokratis.

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.