JENEWA (Jurnalislam.com) – Pengungsi Muslim Rohingya masih belum diizinkan untuk kembali ke Myanmar, komisaris tinggi PBB untuk pengungsi mengatakan kepada Dewan Keamanan PBB.
Menurut Filippo Grandi, “kondisi di Myanmar belum kondusif” bagi 668.000 Rohingya untuk kembali ke rumah, lansir Aljazeera Selasa (13/2/2018).
Para pengungsi tersebut melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh setelah pihak berwenang Myanmar melancarkan tindakan brutal di negara bagian Rakhine utara Agustus lalu.
“Penyebab mereka pergi belum ditangani, dan kami belum melihat kemajuan substantif dalam menangani pengecualian dan penolakan hak yang mendalam selama beberapa dekade terakhir, berakar pada kurangnya hak kewarganegaraan mereka disana,” katanya.
Pemerintah Myanmar Hanya Hukum 10 Aparat atas Pembantaian Muslim Rohingya
Grandi juga mengatakan bahwa kantor UNHCR tidak memiliki akses ke Rakhine, di mana ratusan desa telah dibakar oleh militer Budha Myanmar.
“Akses kemanusiaan, seperti yang Anda dengar, tetap sangat terbatas. UNHCR tidak memiliki akses ke wilayah-wilayah yang terkena dampak di bagian utara negara bagian Rakhine, di luar kota Maungdaw, sejak Agustus 2017, dan akses kami di pusat Rakhine juga telah dibatasi,” kata dia.
“Kehadiran dan akses UNHCR di seluruh negara sangat penting untuk memantau kondisi perlindungan, memberikan informasi independen kepada para pengungsi, dan menemani mereka kembali dan kapan mereka bisa kembali.”
Grandi mengakui upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dan rakyat Bangladesh untuk menampung pengungsi Rohingya, namun memperingatkan bahwa kondisi tersebut harus diperbaiki demi menopang ratusan ribu pengungsi terutama dengan musim hujan mulai bulan Maret.
Inilah Hasil Penyidikan Kekerasan Seksual atas Muslimah Rohingya oleh Pasukan Myanmar
“Kami sedang berlomba melawan waktu. Kami memperkirakan bahwa lebih dari 100.000 pengungsi tinggal di daerah yang rawan banjir atau tanah longsor. Puluhan ribu pengungsi yang sangat rentan harus segera dipindahkan,” kata Grandi.
“Hidup mereka menghadapi resiko besar.”
Setelah Grandi memberikan rekomendasinya ke Dewan Keamanan, Nikki Haley, duta besar AS untuk PBB, mengecam bahwa PBB sejauh ini gagal dalam menanggapi krisis di Myanmar.
Walaupun Haley juga mengkritik pemimpin Myanmar dan peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi karena gagal menghentikan kekerasan terhadap Rohingya.
“Dewan ini harus menahan militer melakukan tindakan dan menekan Aung San Suu Kyi untuk mengakui tindakan mengerikan yang terjadi di negaranya,” kata Haley.
“Tidak ada lagi alasan.”
“Duta Besar Haley melanjutkan dengan mengatakan bahwa tujuan pemerintah Myanmar adalah menyalahkan media atas apa yang terjadi,” Editor Diplomat Al Jazeera James Bays, yang melaporkan dari New York City, mengatakan.
Haley dan beberapa duta besar PBB lainnya khususnya merujuk pada penangkapan dua wartawan dari kantor berita internasional Reuters.
Bongkar Rahasia Pembantaian Muslim Rohingya, Wartawan Reuters Ini Hadapi Pengadilan Myanmar
Para jurnalis ditangkap saat menyelidiki sebuah cerita tentang kuburan massal di Rakhine.
“Menurut pemerintah Myanmar, duta besar mereka mengatakan bahwa negara tersebut menghormati kebebasan pers. Mereka mengatakan bahwa para wartawan itu ditangkap karena melanggar undang-undang kerahasiaan negara,” kata koresponden kami.
Hampir 690.000 Rohingya telah melarikan diri dari Rakhine dan menyeberang ke selatan Bangladesh sejak Agustus, saat serangan balasan terhadap pos militer oleh pejuang memicu sebuah tindakan brutal militer yang menurut PBB bisa dianggap sebagai genosida.
Pemerintah Myanmar berkelit lalu membantah tuduhan tersebut.
Korban Tewas Muslim Rohingya, Dikuburkan Massal di 5 Tempat oleh Tentara Myanmar
Sejak Agustus, jumlah pengungsi yang melarikan diri ke Bangladash telah turun, dan hingga 1.500 orang tiba pada bulan lalu, menurut PBB.
Bulan lalu, Bangladesh mengumumkan akan menunda pemulangan ratusan ribu pengungsi Rohingya karena khawatir akan keamanan mereka begitu mereka kembali.