AFRIKA TENGAH (Jurnalislam.com) – Setidaknya 470 Muslim dari etnis minoritas Peuhl, terjebak selama beberapa bulan di kota Yaloke, Republik Afrika Tengah, sekitar 200 km dari ibukota Bangui, dan perlu direlokasi sebagai hal yang mendesak, Badan Pengungsi PBB (UNHCR) mengatakan.
Dalia Al Achi, petugas informasi publik untuk UNHCR di Bangui, mengatakan kepada Al Jazeera pada hari Selasa bahwa kelompok etnis Peuhl, yang awalnya melarikan diri dari Bangui pada bulan April 2014, bertambah putus asa karena kondisi hidup mereka memburuk. Dia mengatakan kelompok mereka memerlukan bantuan kemanusiaan mendesak dan harus direlokasi ke wilayah CAR (Republik Afrika Tengah) lainnya atau mungkin ke negara tetangga Kamerun atau Chad.
"Masalah ini sebenarnya cukup sederhana: Sekarang kita memilih kehidupan atau kematian. Apakah kita hanya akan melihat mereka mati, atau kita akan mengambil pelajaran dari apa yang mereka katakan dan mencoba untuk menyelamatkan mereka," kata al-Achi.
Lebih dari 700 Muslim Peuhl lolos dari Bangui setelah milisi Kristen anti-Balaka, yang terdiri dari warga Kristen, mulai menargetkan mereka.
Setelah menghabiskan dua bulan di jalanan, bersembunyi di semak-semak saat mereka berjalan menuju wilayah barat negara itu, dengan harapan mencapai Chad atau Kamerun, rombongan tiba di Yaloke, dan menetap di sana sejak saat itu.
Saat mereka melarikan diri, lebih dari 150 tewas oleh pasukan Kristen anti-Balaka. 42 orang lainnya tewas di Yaloke akibat penyakit dan cedera. UNHCR mengatakan 474 warga yang tersisa menghadapi gizi buruk dan risiko penyakit. Lebih dari 30 persen menderita malaria, sementara sedikitnya enam orang menderita TBC.
42 orang tewas sejak mereka tiba di Yaloke, dan yang lainnya menjadi lemah dari hari ke hari. Ini benar-benar tidak dapat diterima," kata al-Archi.
"Mereka tidak berharap untuk tinggal di sini dalam waktu lama, sehingga nutrisi utama mereka juga telah mengering dengan kematian ternak mereka," kata al-Archi.
PBB mengatakan bahwa kelompok pengungsi itu berjuang untuk berintegrasi ke dalam masyarakat setempat karena ancaman yang ditimbulkan oleh milisi Kristen anti-Balaka di sekitar mereka. Meskipun pasukan internasional telah hadir, kelompok ini masih mengalami ancaman terus-menerus, termasuk agresi fisik, dan penjarahan oleh milisi Kristen anti-Balaka.
Gemma Cortes, petugas informasi publik Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) di Bangui, menggambarkan kebutuhan kemanusiaan di Yolake “sangat besar."
Cortes mengatakan kepada Al Jazeera bahwa pemberian bantuan ke banyak bagian di negara itu sulit karena meningkatnya kekerasan. Dia mengatakan bahwa Yolake hanya salah satu dari banyak tempat yang berada di bawah tekanan, dan etnis minoritas Peuhl, adalah salah satu banyak komunitas yang terancam saat ini.
"Perhatian utama kami adalah akses. Dan karena Yolake berada dalam kekerasan, pekerjaan kami menjadi terhambat," kata Cortes.
PBB mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa pejabat mereka telah mengunjungi kelompok Peuhl pada tanggal 18 Desember untuk menilai situasi mereka.
"Ditemukan bahwa lebih dari 90 persen dari mereka ingin meninggalkan Yolake untuk mencari perlindungan di Kamerun atau Chad. Orang-orang memohon bantuan dengan kendaraan dan keamanan untuk membantu mereka meninggalkan negara itu," kata pernyataan itu.
Pada hari Senin, Human Rights Watch merilis sebuah laporan mengatakan bahwa ratusan pengungsi Muslim kini terjebak di kamp-kamp di bagian barat negara itu, hidup dalam kondisi buruk dan berada di bawah tekanan.
"Mereka terjebak di beberapa wilayah menghadapi pilihan suram: pergi serta menghadapi kemungkinan serangan dari milisi Kristen anti-Balaka, atau tinggal kemudian mati karena kelaparan dan penyakit," Lewis Mudge, peneliti Afrika di Human Rights Watch, mengatakan dalam laporan tersebut.
HRW menuduh bahwa pemerintah dan pasukan penjaga perdamaian PBB telah menghalangi orang yang ingin meninggalkan wilayah-wilayah tersebut.
Deddy | Aljazeera | Jurniscom