Pancasila dan SKB 3 Menteri

Pancasila dan SKB 3 Menteri

Oleh: Muhammad Syafi’ie el-Bantanie (Direktur Dompet Dhuafa Pendidikan)

 

Pancasila, bagi Negara Indonesia, sejatinya menempati posisi staatsfundamentalnorm sebagai sumber dari segala sumber hukum negara. Hal ini sebagaimana ditegaskan pula dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, yaitu Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara.

 

Mengacu pada teori norma Hans Nawiasky, die Stuferordnung der Rechtnormen (teori hirarki hukum), terdapat jenis dan tingkatan suatu aturan, yaitu pertama, staatsfundamentalnorm (Norma fundamental negara/abstrak/sumber hukum, contoh: Pancasila); kedua, staatsgrundgesetz (Aturan dasar/aturan pokok negara/konstitusi/UUD); ketiga, formell gesetz (Undang-undang); keempat, verordnung & utonome satzung (Aturan pelaksana/Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah).

 

Karena Pancasila menempati posisi staatsfundamentalnorm, maka setiap produk hukum yang dihasilkan negara tidak boleh bertentangan dengan nilai dasar Pancasila. Setiap sila Pancasila merupakan nilai dasar atau prinsip, sedangkan hukum adalah nilai instrumental atau penjabaran dari nilai dasar. Karenanya, dalam merumuskan hukum dan peraturan negara mesti bernafaskan pada sila-sila dalam Pancasila.

 

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa harus menjadi acuan dalam merumuskan hukum dan peraturan negara yang berhubungan dengan kehidupan beragama. Melalui perangkat hukum, negara harus mengarahkan warganya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Taat menjalankan ajaran agamanya. Saling menghormati antara pemeluk agama yang satu dengan yang lainnya.

 

Sila pertama Pancasila memberikan makna bahwa negara Indonesia adalah negara relijius, bukan negara sekular. Karenanya, prinsip dasar ini ditegaskan kembali pada batang tubuh Undang-undang Dasar (UUD) 1945 pasal 29 ayat 1, Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

 

Sebagai konsekuensi dari pasal 29 ayat 1, maka pada pasal 29 ayat 2 ditegaskan, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.

 

Karena itulah, dalam konteks pendidikan, UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) merupakan pengejawantahan dan penjabaran dari sila pertama Pancasila dan pasal 29 ayat 1 UUD 1945. Hal ini jelas tercermin pada tujuan pendidikan nasional yang senafas dengan sila pertama Pancasila.

 

Tujuan pendidikan nasional, sebagaimana termaktub dalam pasal 3 UU Sisdiknas, adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

 

Tujuan pendidikan di atas jelas sekali menyebutkan arah atau titik yang dituju dan mesti dicapai dari seluruh aktivitas pembinaan pendidikan dalam setiap jenjangnya, yaitu untuk melahirkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia.

 

Artinya, setiap upaya pembinaan dalam lingkungan pendidikan yang mengarah pada pembentukan peserta didik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia, mesti didukung oleh segenap pemangku kepentingan pendidikan, termasuk negara.

 

Karenanya, SKB 3 Menteri terkait pakaian seragam dan atribut keagamaan di lingkungan sekolah perlu ditinjau kembali. Jangan sampai keberadaannya malah menimbulkan kontraproduktif bagi tercapainya tujuan pendidikan nasional. Selain itu, juga ironis jika tidak senafas dengan sila pertama Pancasila dan pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945.

 

Mengenakan pakaian seragam dan atribut keagamaan sesuai dengan agamanya masing-masing di lingkungan sekolah merupakan pengamalan dari Pancasila sila pertama dan pasal 29 ayat 1 dan 2. Terlebih jika dikaitkan dengan lembaga pendidikan. Tentu saja nilai-nilai akhlak dan sopan santun mesti lebih diutamakan lagi.

 

Dalam konteks inilah, setiap lembaga pendidikan memiliki rasa tanggung jawab untuk mendidik dan mengondisikan peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan agar bisa berpakaian sesuai dengan perintah agama yang dianutnya sebagai bagian dari pendidikan itu sendiri.

 

Hari ini pendidikan kita masih memiliki banyak pekerjaan rumah, terkait kualitas lulusan pendidikan yang dihasilkan, termasuk kualitas akhlak dan kepribadiannya. Karenanya, akan lebih produktif jika pemerintah, dalam hal ini Kemdikbud, justru fokus merancang sistem dan budaya sekolah yang mendukung tercapaianya kualitas lulusan pendidikan sebagaimana dicita-citakan dalam tujuan pendidikan nasional.

 

Selain itu, negara juga perlu memerhatikan kearifan lokal bangsa Indonesia yang beragam. Bagi masyarakat Minang misalnya, berpakaian sesuai ajaran agama Islam adalah prinsip kehidupan. Masyarakat Minang memiliki kearifan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Sebuah konsensus masyarakat Minang yang bermula dari piagam Bukik Marapalam yang disebut juga sumpah sati Bukik Marapalam.

 

Karena itulah, diperlukan kearifan dan keluasan pandangan para pemimpin untuk bisa menjadi teladan dan pengayom seluruh elemen bangsa ini. Jangan sampai SKB 3 Menteri justru berpotensi memicu ketidakharmonisan antara pemerintah dan umat Islam. Maka dari itu, SKB 3 Menteri sebaiknya direvisi dan disesuaikan agar senafas dan seirama dengan Pancasila, UUD 1945, dan UU Sisdiknas.

 

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.