Pakar: Presiden Tiga Periode Bentuk Pelanggaran Pembatasan Kekuasaan

Pakar: Presiden Tiga Periode Bentuk Pelanggaran Pembatasan Kekuasaan

SLEMAN(Jurnalislam.com)—Pakar politik pemerintahan Universitas Gadjah mada (UGM) Abdul Gaffar Karim menilai masa jabatan presiden tiga periode menjadi bentuk pelanggaran pembatasan kekuasaan.

Menurutnya, dunia demokrasi modern telah sepakat jika penguasa eksekutif cuma boleh dipilih maksimal dua kali. Pembatasan mengacu moral dasar demokarasi yaitu kekuasaan tidak boleh di satu tangan, tapi harus menyebar seluas mungkin.

Gaffar mengingatkan, dalam pengelolaan sebuah negara dibuat mekanisme sirkulasi rutin terkait kekuasaan. Misalnya, melalui pemilihan kepala negara atau pilpres dan pemilihan kepala daerah atau pilkada yang dilakukan berkala. “Pembatasan ini kesepakatan saja, tapi jadi pijakan agar kekuasaan tidak memusat,” Gaffar, Selasa (16/3).

Ada dua jenis pembatasan kekuasaan yakni pembatasan legal dan pembatasan etik. Pembatasan legal dilakukan lewat aturan resmi seperti regulasi dan konstitusi, yakni dengan pemilihan kepala negara dan kepala daerah maksimal dua kali. Sedangkan, pembatasan etik merupakan bentuk pembatasan tidak tertulis dalam hukum tapi harus jadi kesepakatan bersama. Misalnya, penguasa aktif diharap tidak mendorong keluarga dekat untuk meneruskan kekuasaannya.

SLEMAN—Pakar politik pemerintahan Universitas Gadjah mada (UGM) Abdul Gaffar Karim menilai masa jabatan presiden tiga periode menjadi bentuk pelanggaran pembatasan kekuasaan. Menurutnya, dunia demokrasi modern telah sepakat jika penguasa eksekutif cuma boleh dipilih maksimal dua kali. Pembatasan mengacu moral dasar demokarasi yaitu kekuasaan tidak boleh di satu tangan, tapi harus menyebar seluas mungkin.

Gaffar mengingatkan, dalam pengelolaan sebuah negara dibuat mekanisme sirkulasi rutin terkait kekuasaan. Misalnya, melalui pemilihan kepala negara atau pilpres dan pemilihan kepala daerah atau pilkada yang dilakukan berkala. “Pembatasan ini kesepakatan saja, tapi jadi pijakan agar kekuasaan tidak memusat,” Gaffar, Selasa (16/3).

Ada dua jenis pembatasan kekuasaan yakni pembatasan legal dan pembatasan etik. Pembatasan legal dilakukan lewat aturan resmi seperti regulasi dan konstitusi, yakni dengan pemilihan kepala negara dan kepala daerah maksimal dua kali. Sedangkan, pembatasan etik merupakan bentuk pembatasan tidak tertulis dalam hukum tapi harus jadi kesepakatan bersama. Misalnya, penguasa aktif diharap tidak mendorong keluarga dekat untuk meneruskan kekuasaannya.

“Meski itu tidak dilarang atau dibatasi secara hukum, tapi ada batasan secara etika politik. Pembatasan dalam rangka mencegah terjadinya pemusatan kekuasaan yang ditabukan dalam demokrasi yang disepakati demokrasi modern,” ujar Gaffar.

Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, mengaku wacana amendemen kelima UUD 1945 sebenarnya sudah lama didorong banyak kalangan. Alasannya banyak sektor yang memerlukan perbaikan mendasar yang hanya bisa ditempuh lewat jalur ini. Begitu juga halnya dengan masa jabatan presiden, agenda ini kemudian disisipkan dan bergulir menjadi wacana publik yang menuai pro dan kontra.

Pangi mengingatkan, berkaca pada berbagai usulan terkait amendemen yang belum disepakati, tidak mustahil perubahan masa jabatan presiden akan menjadi agenda sisipan. Meskipun nantinya amendemen kelima UUD 1945 tetap dipaksakan berjalan, Pangi mewanti-wanti wacana penambahan masa jabatan presiden tidak layak masuk dalam agenda itu.

“Usulan ini sangat-sangat tidak layak dan bertentangan dengan tujuan reformasi yang menginginkan adanya pembatasan masa jabatan presiden, khitah perjuangan sistem presidensial purifikasi kita adalah membatasi masa jabatan presiden,” ujar Pangi.

Sumber: republika.co.id

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.