Menyorot Pertahanan Indonesia: Kasus Pelanggaran Kapal Cina di Natuna

Menyorot Pertahanan Indonesia: Kasus Pelanggaran Kapal Cina di Natuna

Rakhmat Abril Kholis*

(Jurnalislam.com)–Ada dua perspektif penting yang harus didudukkan secara proporsional pada isu ini. Pertama, terkait kapal Tiongkok yang memasuki wilayah perairan dan melanggar batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia.

Kedua, klaim sepihak Tiongkok terhadap wilayah perairan Natuna sebagai bagian dari negara Tiongkok berdasarkan pada aspek historis.

Pada bagian pertama, pemerintah Indonesia sebenarnya telah cukup sering menghadapi kapal asing yang melakukan illegal fishing khususnya di wilayah perbatasan.

Beberapa kebijakan seperti mengajukan nota protes diplomatik hingga penenggelaman kapal sebagai bagian deterrence effect dari Indonesia bagi para pelanggar zona perbatasan pun sudah dilakukan.

Terlebih pada kasus Natuna ini, Indonesia pada posisi yang kuat dengan basis Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982) dimana Indonesia dan Tiongkok keduanya ikutserta meratifikasi juga Pengadilan Internasional dalam Kasus PCA No. 2013-19 yang telah menolak klaim sepihak Tiongkok.

Atas dasar ini, seharusnya tidak ada permisif bagi kapal asing dari negara manapun yang melanggar wilayah perairan Natuna untuk ditindak secara tegas oleh pemerintah Indonesia.

Baik dengan cara mengajukan Nota Protes Diplomatik, dan lainnya. Sikap ini harus dilakukan supaya tidak menjadi legacy buruk bagi pemerintah dan seterusnya akan mendatangkan ancaman yang lebih ke depan.

Kedua, dalam aspek klaim sepihak dari Tiongkok. Pemerintah Indonesia harus serius menyikapi klaim sepihak ini. Karena akan menimbulkan efek domino ke depannya khususnya bagi keamanan wilayah perbatasan serta kemungkinan intervensi negara luar untuk ikut campur dalam kasus ini.

Sisi latar historis yang diklaim oleh Tiongkok selayaknya juga dapat direspon oleh para akademisi, sejarawan, serta budayawan Indonesia bahwa imperium kerajaan di Nusantara pun menguasai hampir seluruh bagian wilayah Asia Tenggara.

Jadi, alasan tersebut tidak cukup mampu diterima di tengah adanya hukum internasional yang telah disepakati bersama.

Pada aspek lain, tiap elemen pemerintah harus mempunyai keselarasan sikap atas kasus ini. Jangan sampai perbedaan instrumen kebijakan khususnya antara Menteri Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi celah bagi negara asing untuk mudah mencaplok wilayah perairan kita.

Operasi dan patroli besar-besaran yang dilakukan oleh TNI AL sangat tepat demi memberikan kepastian keamanan dan peringatan dini. Patroli berkala dilengkapi dengan kekuatan alutsista yang memadai di tiap perbatasan wilayah perairan Indonesia adalah hal yang mutlak untuk dilakukan.

Orientasi pertahanan nasional Indonesia harus bergeser dari yang semulanya defense oriented ke deterrence oriented sehingga kasus-kasus seperti ini tidak akan dengan mudah terjadi lagi.

Ke depan, demi mencegah kasus yang serupa dan berkepanjangan, Indonesia dapat mengusulkan adanya patroli bersama yang dilakukan oleh negara-negara ASEAN.

Hal ini menjadi bagian dari spirit Political and Security Community yang seharusnya dapat memperkuat keamanan antar negara-negara ASEAN itu sendiri.

*Analis Hubungan Internasional dan Studi Stratejik, The Westphalian Institute

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.