Mempertanyakan Korelasi Kebijakan Impor dengan KUR Pertanian

Mempertanyakan Korelasi Kebijakan Impor dengan KUR Pertanian

Oleh : Djumriah Lina Johan

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengingatkan petani, khususnya yang tergabung dalam Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) untuk memanfaatkan program kredit usaha rakyat (KUR) dalam menjalankan usaha mereka. Fasilitas itu bisa dijadikan modal bagi petani menggarap perkebunan. Jokowi menjelaskan pemerintah menyiapkan dana Rp50 triliun untuk KUR di sektor pertanian pada 2020 ini. Angka itu naik dari serapan KUR sektor pertanian tahun lalu yang hanya Rp30 triliun. “Pembiayaan KUR kami siapkan khusus hanya pertanian itu Rp50 triliun. Itu manfaatkan,” kata Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Kamis (12/3). (CNNIndonesia.com, Kamis, 12/3/2020)

Syarat mendapat KUR pertanian cukup mudah. Petani hanya diharuskan memiliki lahan garapan produktif, rancangan pembiayaan anggaran, dan sejumlah syarat untuk kepentingan BI Checking. “Jika penyaluran KUR bekerja sama dengan bank milik BUMN, bunganya hanya 6 persen,” kata Indah Megawati, Direktur Pembiayaan Pertanian Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana (PSP) Kementerian Pertanian (Kementan).

Meski begitu Indah mengingatkan, KUR bukanlah bantuan atau subsidi pemerintah. Oleh karena itu, nasabah KUR pertanian harus tetap membayar pinjamannya.

Sementara itu, ketua Tim Percepatan Penyaluran KUR Gus Rohim mengatakan, percepatan penyaluran KUR akan mempercepat produksi komoditi pertanian. Nah kalau itu terwujud, Gus Rohim meyakini tidak sampai 5 tahun ke depan, Indonesia akan mampu mengekspor komoditas pertanian. “Kalau KUR dipercepat, tidak sampai 2045 ekspor akan menguat,” kata Gus Rohim.

Gus Rohim menambahkan, ketahanan pangan adalah benteng Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pasalnya, petani Indonesia telah menjamin pangan warga negara. “Petani telah memberi makan 250 juta rakyat Indonesia,” kata Gus Rohim.

(Kompas.com, Senin, 9/3/2020)

Sejujurnya, melihat dua berita di atas akan membuat pembaca yang kritis meringis. Tak lain karena adanya indikasi inkonsistensi Pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan. Bahkan bukan hanya inkonsisten tetapi juga saling bertentangan antara kebijakan yang satu dengan kebijakan yang lain. Sebagaimana kebijakan impor dengan upaya menggenjot pertanian melalui KUR.

Dulu mengumbar janji swasembada pangan. Tepatnya Desember 2014, Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan pidatonya dalam kuliah umum di Balai Senat Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM). Jokowi berjanji menjadikan RI swasembada pangan dalam waktu tiga tahun. Sekarang, Maret 2020, bukannya terealisasi justru impor pangan merajalela mulai dari garam, gula, beras, daging, bawang putih, dan masih banyak lagi.

Maka wajar jika kita bertanya, di mana letak korelasi antara kebijakan impor dan peningkatan dana KUR di sektor pertanian? Tentu tak ada. Sebab, keduanya saling bertentangan. Dengan demikian, muncul pertanyaan baru, untuk apa dana KUR digelontorkan?

Sebagaimana perkataan Indah di atas bahwa KUR bukanlah bantuan atau subsidi pemerintah. Sehingga nasabah KUR pertanian harus tetap membayar pinjamannya dengan bunganya sebesar 6 persen. Maka, bisa kita simpulkan bahwa Pemerintah sedang berusaha menjadi pihak yang mencari keuntungan dalam kesempitan.

Penguasa sedang berkamuflase menjadi pengusaha. Melihat rakyat dengan pandangan untung rugi. Sehingga bukan memberikan subsidi atau bantuan tanpa pamrih malah memberikan pinjaman berikut bunganya. Walhasil, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Hidup sudah sulit ditambah beban utang ribawi, semakin sulit dan tak berkah pula.

Inilah akibat berkiblat kepada sistem kapitalisme sekuler. Periayahan rakyat dijadikan lahan bisnis. Sistem ribawi dihalalkan demi keuntungan duniawi. Lupa jika Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban kelak akan amanah kepemimpinan hari ini.

Sistem hari ini sangat kontras dengan sistem Islam. Islam memandang kepemimpinan adalah amanah yang langsung dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Maka, penguasa wajib menjalankan pengurusan urusan rakyat dengan sebaik-baiknya sesuai hukum syara’. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Imam adalah ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya (rakyatnya).” (HR. Muslim)

Islam tidak mengenal KUR. Namun, Islam memiliki pandangan yang khas mengenai subsidi. Islam memandang subsidi dari perspektif syariah, yaitu kapan subsidi boleh dan kapan subsidi wajib dilakukan oleh negara. Jika subsidi diartikan sebagai bantuan keuangan yang dibayar oleh negara maka Islam mengakui adanya subsidi dalam pengertian ini.

Subsidi dapat dianggap salah satu mekanisme yang boleh dilakukan negara, karena termasuk pemberian harta milik negara kepada individu rakyat yang menjadi hak Khalifah. Atas dasar itu, boleh negara memberikan subsidi kepada individu rakyat yang bertindak sebagai produsen, seperti subsidi pupuk dan benih bagi petani, atau subsidi bahan baku kedelai bagi perajin tahu dan tempe, dan sebagainya.  Boleh juga negara memberikan subsidi kepada individu rakyat yang bertindak sebagai konsumen, seperti subsidi pangan (sembako murah), atau subsidi minyak goreng, dan sebagainya.

Subsidi boleh juga diberikan negara untuk sektor pelayanan publik (al-marafiq al-’ammah) yang dilaksanakan oleh negara, misalnya: (1) jasa telekomunikasi (al-khidmat al-baridiyah) seperti telepon, pos, fax, internet; (2) jasa perbankan syariah (al-khidmat al-mashrifiyah) seperti transfer, simpanan, dan penukaran valuta asing; dan (3) jasa transportasi umum (al-muwashalat al-’ammah) seperti kereta api, kapal laut, dan pesawat terbang. (Zallum, 2004: 104)

Subsidi untuk sektor energi (seperti BBM dan listrik) dapat juga diberikan negara kepada rakyat. Namun perlu dicatat, bahwa BBM dan listrik dalam Islam termasuk barang milik umum (milkiyah ‘ammah). Dalam distribusinya kepada rakyat, Khalifah tidak terikat dengan satu cara tertentu.

Khalifah dapat memberikannya secara gratis, atau menjual kepada rakyat dengan harga sesuai ongkos produksi, atau sesuai harga pasar, atau memberikan kepada rakyat dalam bentuk uang tunai sebagai keuntungan penjualannya, dan sebagainya. Di sinilah subsidi dapat juga diberikan agar BBM dan listrik yang didistribusikan itu harganya semakin murah dan bahkan gratis jika memungkinkan. (Zallum, 2004: 83).

Semua subsidi yang dicontohkan di atas hukum asalnya boleh, karena hukum asal negara memberikan hartanya kepada individu rakyat adalah boleh. Pemberian ini merupakan hak Khalifah dalam mengelola harta milik negara (milkiyah al-dawlah). Khalifah boleh memberikan harta kepada satu golongan dan tidak kepada yang lain; boleh pula Khalifah mengkhususkan pemberian untuk satu sektor (misal pertanian), dan tidak untuk sektor lainnya. Semua ini adalah hak Khalifah berdasarkan pertimbangan syariah sesuai dengan pendapat dan ijtihadnya demi kemaslahatan rakyat. (An-Nabhani, 2004: 224)

Namun, dalam kondisi terjadinya ketimpangan ekonomi, pemberian subsidi yang asalnya boleh ini menjadi wajib hukumnya, karena mengikuti kewajiban syariah untuk mewujudkan keseimbangan ekonomi (at-tawazun al-iqtishadi). (Thabib, 2004:318; Syauman, t.t.: 73)

Hal ini karena Islam telah mewajibkan beredarnya harta di antara seluruh individu dan mencegah beredarnya harta hanya pada golongan tertentu. Sebagaimana firman Allah SWT, “Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian.” (TQS. al-Hasyr : 7)

Nabi saw telah membagikan fai‘ Bani Nadhir (harta milik negara) hanya kepada kaum Muhajirin, tidak kepada kaum Anshar, karena Nabi saw melihat ketimpangan ekonomi antara Muhajirin dan Anshar. (An-Nabhani, 2004: 249)

Dengan demikian, dari paparan di atas terlihat jelas bagaimana Islam menjamin periayahan umat yang tepat sasaran. Tidak seperti sekarang. Rakyat hidup menderita, penguasa dan pengusaha hidup bergelimang harta. Maka, sudah saatnya kapitalisme mati dan Islam bangkit menuju kemenangan yang hakiki. Wallahu a’lam bish shawab.

*(Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Sosial Ekonomi Islam)

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.