Oleh: Binti Mutammimah
Pada bulan Desember 2019, wabah pneumonia yang disebabkan oleh virus corona terjadi di Wuhan, provinsi Hubei, dan telah menyebar dengan cepat ke seluruh Cina, dan berisiko menjadi pandemi yang berkelanjutan (Wang et al., 2020). Setelah identifikasi dan isolasi, virus patogen yang menyebabkan pneumonia ini awalnya disebut novel corona virus 2019 (2019-nCoV) tetapi kemudian secara resmi dinamai sindrom pernafasan akut coronavirus 2 (SARS-CoV-2) oleh WHO (Zhou et al., 2020).
Pada 30 Januari 2020, WHO menyatakan wabah SARS-CoV-2 sebagai situasi darurat kesehatan global. Dibandingkan dengan SARS-CoV yang menyebabkan wabah SARS pada tahun 2003, SARS-CoV-2 memiliki kota transmisi yang lebih kuat. Peningkatan kasus terkonfirmasi yang berjalan dengan cepat membuat pencegahan dan pengendalian COVID-19 sangat serius. Meskipun manifestasi klinis COVID-19 didominasi oleh gejala pernapasan, beberapa pasien memiliki kerusakan kardio vaskular yang parah.
Selain itu, beberapa pasien dengan penyakit jantung memiliki risiko kematian yang lebih tinggi (Huang et al., 2020). Oleh karena itu, memahami kerusakan yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 pada sistem kardio vaskular dan mekanisme yang mendasarinya sangatlah penting, sehingga pengobatan pasien ini dapat tepat waktu dan efektif dan mortalitas berkurang.
Khusus di Indonesia, pemerintah telah menetapkan Wabah Covid-19 sebagai Bencana Nasional sejak tanggal 14 Maret 2020 oleh Prisiden Jokowi melalui Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo di Gedung BNPB.
Hal ini sesuai dengan undang-undang bencana nomor 24/2007 yang menyatakan bahwa terdapat 3 jenis bencana, yaitu bencana social, bencana alam, dan bencana non-alam. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, pasal 1 ayat 5, bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
Langkah-langkah yang telah dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan kasus ini adalah dengan mensosialisasikan gerakan physical distancing (pembatasan fisik). Upaya pembatasan jarak dengan orang lain sebelumnya dikenal dengan istilah social distancing, yang kemudian WHO menganjurkan untuk mengganti istilah tersebut dengan istilah physical distancing. Hal ini dikarenakan penggunaan istilah social distancing disalahartikan dengan memutus komunikasi atau interaksi dengan keluarga dan kerabat. Konsep physical distancing ini menganjurkan masyarakat untuk tidak berpergian ke tempat ramai, membatasi kontak langsung, seperti berjabat tangan, dan menjaga jarak aman minimal 1 meter ketika berinteraksi dengan orang lain.
Physical distancing dalam berinteraksi sosial memiliki peranan penting dalam menghadapi pandemi Covid-19. Menjaga komunikasi dengan orang lain, dapat saling memberi kabar dan semangat, sehingga tidak merasa kesepian, sedih, ataupun terasing, yang menimbulkan perasaan-perasaan negatif dimana dapat memicu stress dan depresi, serta melemahkan daya tahan tubuh. Selain itu, masyarakat juga dapat saling bertukar informasi terkait dengan cara mencegahan virus dan situasi terbaru di luar rumah.
Namun, hilir mudik informasi yang ada membuat masyarakat rentan mengkonsumsi informasi yang tidak valid. Menteri komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate menyatakan bahwa terdapat 554 berita atau informasi bohong (hoax) mengenai Covid-19 yang tersebar di 1.209 platform, sebanyak 893 info hoax telah di takedown baik dari facebook, Instagram, twitter, ataupun yotube (https://www.cnbcindonesia.com/tech/).
Hoax merupakan informasi atau berita yang berisi hal-hal yang belum pasti atau bukan merupakan fakta yang terjadi (Juditha, 2018). Menurut survey Mastel (2019) yang diikuti 941 responden, mengungkapkan bahwa 34,60% diantaranya menerima berita hoax setiap hari jumlah ini menurun 9,7% dari tahun 2017 yang berjumlah 44,3%, dan 14,7% diantaranya menerima berita hoax lebih dari satu kali perhari. Bahkan media utama yang diandalkan sebagai media yang dapat dipercaya pun ikut terkontaminasi menyebar berita hoax, seperti televisi/radio sebesar 8,10% dan media sebesar 6,40% (https://mastel.id/hasil-survey-wabah-hoax-nasional-2019/). Hoax terbanyak beredar di masyarakat melalui media social. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga survey Mastel (2019) mengatakan bahwa 87,50% berita hoax berasal dari media social. Sementara itu, Kementrian Komunikasi dan Informatika menyebutkan bahwa terdapat 800.000 situs penyebar hoax dan ujaran kebencian di Indonesia.
Media social merupakan wadah yang sangat rentan dan sering digunakan untuk menyebarkan berita hoax. Banyaknya pengguna aktif atau bahkan dapat dikatakan sebagai penggila media social di Indonesia menjadi salah satu faktor yang memudahkan pihak penyebar hoax untuk menjalankan aksinya. Berdasarkan penelitian tentang ‘Fenomena Penyesatan Berita di Media Social’ dikatakan bahwa pengaruh perkembangan teknologi dapat menjadi ancaman global termasuk Indonesia, khususnya terkait dengan penyebaran berita bohong atau hoax (Rosmalinda, 2017). Kurangnya penyaringan berita di media social mempermudah pihak-pihak penyebar hoax, sehingga berita apapun yang di-posting oleh seseorang dapat menyebar dengan mudah. Hadirnya media social memberikan dampak positif dan dampak negative. Di Indonesia sendiri, kehadiran media social juga memberikan pengaruh terhadap perubahan politik, social, budaya, dan juga eknomi terutama pada bencana wabah Covid-19 seperti saat ini. Lewat media social bahkan seorang warga negara biasa dapat mengkritik dan berkomunikasi secara langsung dengan Presidennya hanya dengan mengirim mention pada akun yang dimiliki oleh Presidennya melalui Instagram (Ahyad, 2017). Informasi yang tidak bermutu seperti hoax, fitnah, dan hujatan dapat menyebar secara masif tanpa adanya verifikasi dan konfirmasi. Oleh karena itu, saya tertarik untuk membahas tentang fenomena penyebaran berita hoax yang sedang terjadi selama masa bencana pandemic Covid-19 ini terjadi, sehingga menyebabkan keresahan dan kegaduhan masyarakat Indonesia.
Hoax atau berita bohong didalam al-Qur’an dapat diidentifikasi dari kata al-Ifk yang berarti keterbalikan (seperti gempa yang membalikkan negeri), yang dimaksud dari ‘seperti gempa yang membalikkan negeri ini adalah sebuah kebohongan besar, yang mana sebuah kebohongan dapat memutar-balikkan sebuah fakta. Sedangkan munculnya hoax (sebuah kebohongan) disebabkan oleh orang-orang pembangkang. Dalam hal ini, Alquran mengistilahkannya dengan ‘usbah (عصبة). Kata ‘usbah diambil dari kata ‘asaba (عصب) yang pada mulanya berarti mengikat dengan keras. Dari asal kata ini lahir kata muta’assib yakni fanatik. Kata ini dipahami dalam arti kelompok yang terjalin kuat oleh satu ide, dalam hal ini menebarkan isu negatif, untuk mencemarkan nama baik (Quraish Shihab, 2002).
Didalam al-quran sendiri fenomena adanya berita bohong dijelaskan dalam surah An-Nur ayat 11.
إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ ۚ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ ۖ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۚ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ ۚ وَالَّذِي تَوَلَّىٰ كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar (Q.S. An-Nur:11).
Surah ini muncul karena adanya tuduhan zina yang ditujukan kepada Aisyah ketika ia akan pulang menuju Madinah bersama pasukan Muslimin. Kemudian di sebuah perjalanan, Aisyah merasa kehilangan kalungnya, Namun, saat Aisyah mencari kalung yang hilang tersebut, pasukan Muslim malah meninggalkannya dan mengira Asiyah sudah bersama mereka. Pada saat itulah Aisyah merasa tertinggal.
Ia kemudian kebingungan. Aisyah pun tertidur akibat rasa kantuknya. Setelah beberapa lama, kemudian seorang sahabat bernama Safwan bin al-Mu’attal Al-Sulami Al-Dhakwani melihatnya. Ia melihat istri Nabi SAW. tersebut. Safwan mengucap lafal innalillahi dan kemudian mengantarkan Aisyah hingga sampai kepada rombongan kaum Muslim.
Namun, setelah terjadinya peristiwa ini, beberapa dari umat Islam malah ramai-ramai membicarakan dan menyebarkan berita bohong tentang Asiyah. Hingga selama sebulan Aisyah merasakan ada yang beda dari Rasulullah SAW. dalam menyikapinya, bahkan hendak mendiskusikan untuk meceraikan Aisyah atas hal ini. Aisyah terus mengeluh dan mengadu kepada Allah tentang apa yang telah terjadi, hingga turunlah QS. An-Nur 24:11 yang menjawab kegelisahannya (https://tafsirq.com/24-an-nur/ayat-11).
Dari ayat diatas dapat diambil sebuah pelajaran bahwa kasus hoax atau berita bohong yang berkembang dengan pesat di Indonesia saat ini bukanlah sesuatu yang baru. Pada masa Nabi Muhammad pun sudah beredar berita yang serupa dengan hoax, bahkan keluarga Nabi Muhammad sendiri yang mengalaminya.
Perkembangan Hoax atau berita bohong di Indonesia semakin banyak beredar melalui internet. Kementrian Kominfo (2019) merilis hasil temuan tentang hoax selama tujuh bulan sejak Agustus 2018 hingga Februari 2019, terdapat 771 hoax yang teridentifikasi. Jumlah hoax yang beredar di media social dan website ini terus meningkat setiap bulannya.
Berdasarkan fenomena penyebaran berita hoax terkait dengan pandemi Covid-19 yang terjadi di Indonesia ini kita dapat mengambil beberapa pelajaran didalamnya, sekaligus sebagai antisipasi dalam penyebaran hoax, diantaranya:
- Membiasakan diri untuk selalu berkata benar
Sejarah islam mencatat, bahwa fenomena hoax atau berita bohong seringkali merugikan umat islam. Al-quran telah memberikan penjelasan kepada manusia agar selalu berkata benar, terutama dalam menyampaikan berita. Hal ini dikarenakan didalam sebuah berita yang benar, dapat menjaga kemurnian ajaran agama islam dan melahirkan keharmonisan dalam pergaulan. Didalam Al-quran, keharusan menyampaikan kebenaran dijelaskan dalam Q.S. Al-Ahzab ayat 70-71.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَقُولُوا۟ قَوْلًا سَدِيدًا
يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَٰلَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan sampai- kanlah perkataan yang benar. Allah akan memperbaiki bagi amalan-amalanmu dan mengampuni bagi dosa-dosamu. Dan barang siapa yang mematuhi Allah dan Rasul-Nya maka ia akan memperoleh kesuksesan yang besar. (QS. Al-Ahzab:70-71).
Menurut Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur’an / Ustadz Marwan Hadidi bin Musa, M.Pd.I yang dimaksud dari ayat ini adalah Allah lantas meminta orang yang beriman agar berkata benar. Wahai orang-orang yang beriman! bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar dan tepat sasaran. Jika kamu melakukan hal tersebut, niscaya Allah akan memperbaiki amal-amalmu dengan mempermudah jalanmu untuk berbuat baik dan bertobat, dan mengampuni dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan rasul-Nya, maka sungguh dia menang dengan kemenangan yang agung. Dia akan memperoleh ampunan Allah dan mendapatkan surga.
- Ber-tabayyun atau mengklarifikasi sertiap berita yang diterima
Tuntutan umat islam agar melakukan klarifikasi dalam menerima berita ini dijelaskan didalam Al-Quran Surah Al-Hujurat ayat 6.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa megetahui keadaan yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu (QS. Al-Hujurat:6).
Ayat ini merupakan peringatan kepada umat Islam agar melakukan konfirmasi dan berhati-hati akan datangnya berita dari orang-orang fasik yang bermaksud menyesatkan umat Islam. Sehingga, umat Islam dituntut untuk mencapai derajat kebenaran faktualitas dengan melakukan upaya check-recheck, konfirmasi, dan akurasi. Hal ini untuk menghindari terjadinya defamation (pencemaran nama baik), baik berupa libel (hasutan) maupun slander (fitnah).
- Mengecam dengan kereas adanya penyebaran berita bohong (hoax)
Terdapat beberapa sanksi hukum yang dapat menjerat pelaku penyebar berita bohong (hoax), diantaranya UU ITE pasal 28 ayat 1, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan UU Penghapusan Deskriminasi Ras Etnis. Dalam kitab suci Al-Quran pun Adikatakan bahwa Allah sangat mengecam orang-orang yang ikut andil dalam menyebarkan ataupun tanpa sadar menyebarkan berita bohong (hoax). Hal ini dijelaskan dalam Q.S. An-Nur ayat 14-15.
وَلَوْلَا فَضْلُ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُۥ فِى ٱلدُّنْيَا وَٱلْءَاخِرَةِ لَمَسَّكُمْ فِى مَآ أَفَضْتُمْ فِيهِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
إِذْ تَلَقَّوْنَهُۥ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُم مَّا لَيْسَ لَكُم بِهِۦ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُۥ هَيِّنًا وَهُوَ عِندَ ٱللَّهِ عَظِيمٌ
Artinya:
Dan seandainya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu di dunia dan akhirat, niscaya kamu akan ditimpa azab yang besar, disebabkan oleh pembicaraanmu tentang (berita bohong) itu, ingatlah ketika kamu menerima (berita bohong) itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dari mulutmu itu apa yang tidak kamu ketahui sedikitpun, dan kamu menganggapnya remeh, padahal dalam pandangan Allah itu suatu perkara yang besar (QS. An-Nur:14-15).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah tidak akan memberikan karunia dan rahmat kepada orang-orang yang turut ikut andil dalam penyebaran berita bohong, termasuk dalam konteks saat ini adalah hoax. Jika mereka tidak segera untuk bertaubat dan mengakui kesalahannya, maka Allah akan memberikan azab yang besar kepada orang-orang tersebut. Allah menegaskan, apakah kamu menganggap ringan perbuatan yang kamu lakukan dengan menyebar berita-berita bohong tersebut? Jika kamu menganggapnya perkara yang ringan, maka Allah menganggapnya sebagai urusan yang besar, karena penyebarannya dapat merugikan berbagai pihak (Maulana, 2017).
Peristiwa penyebaran berita hoax yang sedang marak terjadi di Indonesia menyebabkan keresahan di masyarakat. Hal ini dapat di sikapi oleh para pengguna media sosial agar menjadi netter yang cerdas dan lebih selektif serta berhati-hati akan segala berita atau pun informasi yang tersebar. Diharapkan pula untuk tidak langsung percaya dari berita atau informasi yang diterima. Cari tahu darimana sumber berita tersebut dan menggali informasi lebih jauh dari berita atau informasi yang didapat. Jangan mudah terprovokasi dengan menyebarluaskan kembali berita atau informasi yang belum jelas benar atau tidaknya.
Sumber:
https://www.cnbcindonesia.com/tech/
https://tafsirq.com/24-an-nur/ayat-11
https://mastel.id/hasil-survey-wabah-hoax-nasional-2019/
Ahyad, M. R. M. (2017). Analisa Penyebaran Berita Hoax Di Indonesia. Jurnal, 16. Retrieved from file:///C:/Users/USER~1.LAB/AppData/Local/Temp/ANALISIS PENYEBARAN BERITA HOAX DI INDONESIA.pdf
Huang, C., Wang, Y., Li, X., Ren, L., Zhao, J., Hu, Y., … Cao, B. (2020). Clinical features of patients infected with 2019 novel coronavirus in Wuhan, China. The Lancet, 395(10223), 497–506. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(20)30183-5
Maulana, L. (2017). Kitab Suci dan Hoax: Pandangan Alquran dalam Menyikapi Berita Bohong. Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial Budaya, 2(2), 209–222. https://doi.org/10.15575/jw.v2i2.1678
Rosmalinda, R. (2017). Fenomena Penyesatan Berita di Media Sosial. 1–10.
Shihab, M. Quraish. (2002).Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran vol.9. Jakarta: Lentera Hati.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007
Wang, D., Hu, B., Hu, C., Zhu, F., Liu, X., Zhang, J., … Peng, Z. (2020). Clinical Characteristics of 138 Hospitalized Patients with 2019 Novel Coronavirus-Infected Pneumonia in Wuhan, China. JAMA – Journal of the American Medical Association, 323(11), 1061–1069. https://doi.org/10.1001/jama.2020.1585
Zhou, P., Yang, X. Lou, Wang, X. G., Hu, B., Zhang, L., Zhang, W., … Shi, Z. L. (2020). A pneumonia outbreak associated with a new coronavirus of probable bat origin. Nature, 579(7798), 270–273. https://doi.org/10.1038/s41586-020-2012-7