Oleh: Rulian Haryadi (Founder Boomboxzine).
Banyak dari kita yang menyayangkan jatuhnya imperium Islam dan tidak sedikit juga yang menyalahkan tokoh-tokoh perusak dari luar seperti Zionisme, Turki Muda, Pemberontakan Nasionalis, Imperial Prancis-Inggris, dan reformasi Tanzimat. Kemunduran Turki Utsmani dicap oleh Barat sebagai The Sick Man (orang sakit di Eropa). Cap tersebut kita bisa lihat dari kebijakan luar negeri Turki Utsmani yang sudah mulai lunglai seperti Perjanjian Balta Limani 1813 yang memberikan Inggris untuk masuk membeli tanah dan mengirimkan barang dagangan.
Di Barat pada abad ke-18 dan 19 terjadi lonjakan yang luar biasa dalam segi keilmuan, meski bercorak sangat liberal tetapi Barat berhasil menangkap kekosongan zaman yang selama ini dipimpin oleh umat Islam telah terjadi stagnasi.
Pada saat kekhilafahan telah menyusut turun sejak abad ke-18 pemerintah Turki silau akan gemerlap dunia Barat kita bisa lihat bagaimana alasan Istana Dolmabache berdiri. Para intelektual mulai meracuni Sultan dengan ide reformasi yang tidak tepat seperti Maklumat Tanzimat 1844. Pada saat pelaksanaan reformasi ini beberapa syariat dienyahkan seperti hukuman mati bagi orang yang murtad, dihapuskannya jizyah, dan penyeragaman hukum bagi Muslimin untuk meninggalkan syari’at. Hasilnya banyak orang-orang fasik dan orang kafir yang menduduki kursi strategis pemerintahan dan kematian hukum syari’at sudah menunggu waktunya.
Padahal kalua kita cek lagi akar sebenarnya yang bermasalah bukan pada kebijakan politik, bukan pada miter, bukan pula pada ekonomi lebih jauh dari itu umat Islam telah meninggalkan perintah pertamanya yaitu Iqra (kesadaran membaca). Terbukti dalam produksi kitab bertema politik yang masyhur kita bisa hitung dengan jari padahal pada masa awal Islam bertaburan kitab dalam berbagai bidang keilmuan tidak melulu berkutat pada aqidah, fiqh, hadits, dan Bahasa Arab.
Pada awal abad ke-18 sebenarnya Turki Utsmani telah menghadirkan mesin cetak sebagai respon mendongkrak intelektualitas Muslim. Namun mesin cetak itu mendapat kecaman dari para penyalin kitab tradisional tidak kurang antara 80-90.000 penyalin naskah turun ke Istanbul membentuk perlawanan terhadap percetakan karena dianggap ancaman ekonomi bagi masyarakat. padahal pada masa itu pertikaian antara penyalin naskah tradisional dengan pengusaha percetakan adalah masalah transisi zaman saja tak lebih seperti halnya dizaman kita antara ojek pangkalan dengan ojek online. Prancis berhasil melewati masa-masa transisi itu hanya waktu 12 tahun saja.
Pada tahun 1720-an setelah berjihad melawan Austria Wazir agung (sekelas perdana Menteri) saat itu Ibrahim Pasha menyebut periode Tulip. Periode ini Ibrahim Pasha mendatangkan seorang pengusaha sekaligus diplomat ulung Turki seorang mualaf asal Hungaria bernama Ibrahim Muteferrika. Gerakan pencetakan masal buku-buku di Turki dimulai pada 1729. Pada 1745 terdapat 17 judul dan kira-kira 12.000 buku telah dicetak. Pada periode 1746-1802 mesin cetak ini hanya menghasilkan 28 judul dengan kira-kira 50.000 buku telah dicetak.
Sedikitnya buku yang dihasilkan di zaman Khilafah Turki Utsmani ini dinilai Ahmet Kuru karena dua faktor pertama, kaum borjuis tidak ada yang menggunakannya secara efektid. Kedua, kurangnya atmosfer intelektual yang hidup, sehingga belum banyak buku-buku baru dari pembaca. Pada 1897 data perpustakaan Turki Utsmani yang ditulis hanya 193.000 buku (74.000 naskah tertulis, 49.000 buku cetak dan sisanya tidak dirinci). Sementara Prancis pada masa yang sama menembus angka 7.298.000 buku di 505 perpustakaan pada 1880. Menyedihkan melihat data ini padahal dizaman Ibnul Jauzi perpustakaan Prancis hanya memuat 40.000 buku sementara Ibnul Jauzi telah melahap 200.000 buku (ini belum dihitung jumlah ditiap perpustakaan zaman Abbasiyah).
Pada tahun 1730-an Syah Waliullah seorang ulama India menulis terjemahan Qur’an dalam Bahasa Persia berbentuk interlinear di Delhi dan mendapat penolakan dari ulama setempat sampai akhirnya naskah itu baru di cetak pada 1866. Namun pada tahun-tahun setelahnya Syaikhul Islam (semacam Menteri Agama) membatas penerbitan terjemahan Qur’an. Sementara pada 1727 pencetakan buku-buku non-agama diizinkan berdasarkan keputusan Sultan dan fatwa Syaikhul Islam. Dibeberapa tempat Muslimin mesin percetakan agak terlambat seperti di Tabriz, Iran 1817, Lakhnau, India 1819, Kairo, Mesir 1844, Kazak 1844, Surabaya, Jawa 1853.
Dari sini kita bisa melihat bom waktu yang meledak menjadi kelemahan total pada tubuh Turki Utsmani, lambatnya pemerataan mesin cetak yang sebenarnya pada saat itu menjadi media informasi yang paling cepat pada zamanya, terlalu mengekang karya para ulama Islam sementara karya dari Barat untuk dicetak menjadi buku dibiarkan, dan kurangnya para orang kaya menginvestasikan hartanya kepada hal yang baru (modern). Tak heran berlarut-larut dua abad menyebabkan Islam tertinggal oleh Barat dan kejumudan umat semakin membengkak. Dari sini juga kita harus sudah mulai peka akan pentingnya membaca dan mendiskusikan ilmu sebagaimana perintah di Quran Surah Al-‘Alaq [96] :1 untuk membaca dan An-Nahl [16] : 43 untuk berdikusi pada para ahli ilmu (ulama).
Referensi :
- Ahmet T. Kuru, Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan; Perbandingan Lintas Zaman dan Kawasan di Dunia Muslim, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia 2021)
- Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, (Jakarta, Indonesia: Al-Kautsar 2017)
- Deden A. Herdiansyah, Di Balik Runtuhnya Turki Utsmani, (Yogyakarta, Indonesia: Pro U Media 2016)
- Eugene Rogan, The Fall of Khilafah, (Jakarta, Indonesia: Serambi 2018)
- Jared Rubin, Rulers, Religion, and Riches: Why the West Got Rich and the Middle East Did Not, (New York: Cambridge University Press 2017)
- Jonatahan Bloom, Paper before Print; The History and Impact of Paper in the Islamic World, (Yale University: 2001)
- Brett Wilson, Translating the Quran in an Age of Nationalism; Print Culture and Modern Islam in Turkey, (New York : Oxford University Press 2014)