Legislator PKS Soroti Masih Adanya Istilah ‘Sexual Consent’ di RUU TPKS

Legislator PKS Soroti Masih Adanya Istilah ‘Sexual Consent’ di RUU TPKS

JAKARTA(Jurnalislam.com) — Anggota Badan Legislasi (Baleg) Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Kurniasih Mufidayati menilai, Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) masih mencantumkan persetujuan seksual atau sexual consent.

Karenya, ia mendorong agar RUU tersebut turut memasukkan tindak kesusilaan yang sudah ada dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

“Jikapun hal tersebut tak dimungkinkan, maka sebaiknya pembahasan dan pengesahan tentang RUU tentang Tindak Kekerasan Seksual ini dilakukan setelah RKUHP disahkan atau setidaknya dilakukan secara bersamaan dengan pembahasan dalam RKUHP,” ujar Kurniasih dalam rapat kerja dengan pemerintah, Kamis (24/3/2022).

Diketahui, dalam Pasal 488 RKUHP mengatur tentang hidup bersama selayaknya suami istri di luar pernikahan yang sah atau kumpul kebo. Pidana penjara pada pasal ini, maksimal satu tahun atau denda sebanyak 50 juta rupiah.

Kemudian, dalam Pasal 495 Ayat 2 mengatur bahwa semua orang dewasa yang diduga melakukan perbuatan cabul sesama jenis baik itu dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, melanggar kesusilaan, publikasi, atau mengandung unsur pornografi, dapat dipidana.

Kurniasih menjelaskan, RUU TPKS dinilainya tak mengatur dua hal tersebut. Padahal, Indonesia adalah negara berketuhanan yang pembentukan perundang-undangannya harus bersumber dari hukum agama dan norma masyarakat.

“UU tentang TPKS hanya berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang mengandung unsur kekerasan saja. Sedangkan perbuatan seksualnya atas perbuatan dasar suka sama suka atau sexual consent yang tidak mengandung kekerasan, meskipun bertentangan dengan hukum agama dan nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat tetap tidak dapat dipidana,” ujar Kurniasih.

Ia menjelaskan, RKUHP merupakan carry over dari DPR periode sebelumnya yang membuat pembahasannya tak perlu dari awal. Penyesuaian RUU TPKS dan RKUHP dinilainya penting untuk tidak menimbulkan tafsir yang berbeda atau menimbulkan kekosongan hukum.

“Perlu untuk memasukkan jenis-jenis tindak pidana kesusilaan secara lengkap, karena materi muatan dalam RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sangat berkaitan erat dengan pengaturan tindak pidana kesusilaan,” ujar Kurniasih.

Dalam rapat tersebut, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga menjelaskan, RUU TPKS mengatur tentang sistem yang komprehensif terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Ia memastikan, materi muatannya tidak akan tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan yang lain.

“Pemerintah memastikan bahwa dalam proses penyusunan DIM (daftar inventarisasi masalah), materi muatan yang diatur tidak tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena telah dilakukan proses harmonisasi,” ujar Bintang.

DIM RUU TPKS milik pemerintah, jelas Bintang, menitikberatkan kepada upaya memberikan yang terbaik bagi korban untuk mendapatkan perlindungan dan pemenuhan atas haknya. Baik secara cepat, tepat, dan komprehensif sesuai dengan kebutuhan korban. “Untuk memastikan hal ini terwujud, maka prinsip penyelenggaraan layanan terpadu melalui mekanisme one stop services menjadi terobosan baru yang akan diperkuat pelaksanaannya. Baik di tingkat pusat, maupun daerah,” ujar Bintang.

Sumber: republika.co.id

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.