JAKARTA(Jurnalislam.com) — Wakil Ketua Komisi III DPR, Pangeran Khairul Saleh menyayangkan pernyataan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) soal ciri penceramah radikal. Menurutnya, isu ini hanya membuat kegaduhan baru di masyarakat.
Pernyataan BNPT memang langsung mendapat kritik pedas dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ini bukan kali pertama BNPT membuat gaduh karena sebelumnya pernah menyebutkan ratusan pesantren yang dicap terafiliasi jaringan terorisme.
“Ini menurut saya tidak sepatutnya terjadi. BNPT mestinya tidak lagi terkesan memberikan polemik baru terhadap umat Islam, khususnya dengan isu radikalisme itu,” kata Pangeran dalam keterangan pers, Rabu (9/3/2022).
Pangeran menilai klaim BNPT soal ciri penceramah radikal tidak tepat. Menurutnya, hal ini malah membuat umat Islam menjadi resah. “Mestinya tidak boleh ada pernyataan dipublikasikan tanpa argumentasi faktual menjadi sandarannya, khususnya berkenaan dengan isu dan makna radikalisme atau khalifah dan lain-lainnya itu,” ujar politikus dari PAN itu.
Atas dasar inilah, Pangeran berharap sinergi kerja sama BNPT dan MUI mesti segera diperkuat. Tujuannya tidak saja merumuskan kesepakatan bersama, tetapi untuk menghindari kesalahpahaman.
“Sehingga tercipta formulasi dan strategi yang tepat, bahwa menanggulangi bahaya terorisme itu tidak hanya menjadi tugas BNPT saja, tetapi menjadi tanggungjawab kita semua,” kata Pangeran.
Selain itu, Pangeran mengajak masyarakat bersatu mengantisipasi penetrasi ideologi terorisme. Salah satu caranya mencegah rasa saling curiga mencurigai antar umat beragama. “Tetapi mesti menjadi kewaspadaan bersama bahwa isu radikalisme jangan sampai memutus rantai penguat persatuan kita sendiri melalui stigmatisasi dan distorsi narasi yang dinilai menyudutkan umat Islam,” kata Pangeran.
Pangeran berharap upaya mengajak dan meningkatkan ukhuwah Islamiyah itu tidak hanya menjadi tanggungjawab MUI, tetapi juga menjadi tanggung jawab BNPT. “Dari sinilah tugas bersama memutus rantai radikalisme akan berjalan damai tanpa harus membuat gaduh,” katanya.
Sebelumnya, BNPT merilis setidaknya lima indikator untuk melihat seorang penceramah masuk kategori radikal atau tidak. Pertama, mengajarkan ajaran yang anti-Pancasila dan pro-ideologi khilafah transnasional. Kedua, mengajarkan paham takfiri yang mengkafirkan pihak lain yang berbeda paham maupun berbeda agama.
Ketiga, menanamkan sikap anti pemimpin atau pemerintahan yang sah, dengan sikap membenci dan membangun ketidakpercayaan (distrust) masyarakat terhadap pemerintahan maupun negara melalui propaganda fitnah, adu domba, ujaran kebencian (hate speech), dan sebaran hoaks. Keempat, memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan maupun perubahan serta intoleransi terhadap perbedaan maupun keragaman (pluralitas). Kelima, biasanya memiliki pandangan anti budaya ataupun antikearifaan lokal keagamaan.
Sumber: republika.co.id