Kisah Imam Masjid Al-Mujahidin Saat Tsunami Menerjang Desa Wani

Kisah Imam Masjid Al-Mujahidin Saat Tsunami Menerjang Desa Wani
“Tinggi, tinggi sekali itu pak, warnanya hitam, seperti ular kobra rupanya,” kata kakek 5 cucu itu menggambarkan ombak besar yang melaju cepat dan terus mendekat.

DONGGALA (Jurnalislam.com) – Waktu shalat magrib kan segera tiba, Tanwir Haji Mursaid (60), bersiap menuju masjid Al-Mujahidin, Pelabuhan Wani II, Kecamatan Tanatopea, Kabupaten Donggala. Ia adalah imam di sana.

Masjid Al-Mujahidin terletak persis dekat dermaga Pelabuhan Wani II. Jamaah shalat magrib masjid seluas 10 x 15 m2 itu biasanya sekitar 3 sampai 4 baris. Begitu kata Pak Tanwir.

Saat itu, tidak ada kekhawatiran sedikitpun, Pak Tanwir yang sudah rapih dengan sarung tenun dan batiknya, berjalan tenang menuju masjid terbesar di kecamatan Tanatopea.

Bapa Tanwir Haji Mursaid, Imam Masjid Al-Mujahidin. Foto: Ally/Jurniscom

Waktu magrib pun tiba, Pak Tanwir meminta sang muazin untuk mengumandangkan azan. Namun tak tiba-tiba bumi berguncang, masjid bergoyang-goyang seperti ditimang-timang.

“Prak, prak, prak” suara bangunan berjatuhan, Pak Tanwir sempat terjatuh berkali-kali di dalam masjid, kemudian berlari menyelamatkan diri.

Ternyata, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengumumkan Sulawesi Tengah berduka. Gempa 7,4 SR diikuti tsunami dan likuifaksi (pencairan tanah) melanda beberapa wilayah di titik di Kota Palu, Kabupaten Donggala dan Kabupaten Sigi, beberapa saat sebelum maghrib, Jumat (28/9/2018).

Kekagetan Pak Tanwir bertambah saat berada di luar masjid yang menghadap pantai itu, ia diperlihatkan sosok hitam tingginya melebihi Kapal Sabuk Nusantara 39 yang sedang bersandar di dermaga Pelabuhan Wani.

Kapal Sabuk Nusantara 39 yang terseret tsunami. Foto: Ally/Jurniscom

“Tinggi, tinggi sekali itu pak, warnanya hitam, seperti ular kobra rupanya,” kata kakek 5 cucu itu menggambarkan ombak besar yang melaju cepat dan terus mendekat.

Tak Tanwir menjelaskan, berdasarkan penuturan warga desa Wani yang selamat dari terjangan tsunami, ombak hitam itu bukan air laut, melainkan semburan lumpur dari dalam tanah bawah laut yang terbelah ketika gempa terjadi.

Warga itu bernama Ambo, saat ini Ambo tengah dirawat di Puskesmas. Pak Tanwir mengisahkan, saat kejadian Ambo sedang berada di kapal pengangkut barang yang bersandar di dermaga untuk memindahkan pupuk ke dalam gudang kapal.

Ambo sempat terseret jauh oleh tsunami, beruntung dia selamat dan hanya terluka di bagian punggung saja.

Melihat ombak hitam nan tinggi itu, Pak Tanwir berlari menuju rumah untuk menyelamatkan sang istri.

Mereka bersama warga pelabuhan Wani lainnya berlari sejauh 5 km menjauhi pantai. Hampir tidak mungkin bagi kakek 60 tahun berlari tanpa henti dengan jarak sejauh itu. Tapi itulah yang dialami Pak Tanwir saat tsunami menerjang pesisir Wani.

“Saya bawa lari istri dan cucu saya, saya terus lari jauh-jauh dari pantai, kira-kira 5 km,” tutur Pak Tanwir mengisahkan.

“Sa (saya-red) juga heran kenapa saya bisa kuat lari sejauh itu,” sambungnya.

Beruntung, Pak Tanwir bersama seluruh anggota keluarganya selamat dari tsunami yang juga menerjang beberapa daerah lainnya seperti Kota Palu dan Kabupaten Donggala. Tapi rumah Pak Tanwir beserta isinya tak terselamatkan lagi. Rumahnya hancur terseret puluhan meter dari lokasi asalnya.

“Rumah kami sudah tidak ada pak, hancur kena tsunami,” tutur Pak Tanwir lirih.

Tak hanya rumah Pak Tanwir, pemukiman penduduk di sekitar Pelabuhan Wani II juga hancur digusur tsunami. Tsunami menyapu bersih semua bangunan yang dilewatinya.

Kondisi Dewa Wani, Kecamatan Tanatovea, Kab Donggala, Sulteng. Foto: Ally/jurniscom

Tsunami meninggalkan pemandangan suram yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Desa Wani II, tempat ia lahir dan dibesarkan kini luluh lantak. Kayu dan batu-batu dermaga berserakan dimana-mana. Kapal Sabuk Nusantara 39 sebesar itupun terseret hingga “mendarat” di tengah-tengah pemukiman warga.

Belum lagi nyawa yang hilang. Hanya delapan jenazah warga Pelabuhan Wani II yang berhasil ditemukan, sementara puluhan lainnya dinyatakan hilang. Mereka yang selamat pun tak luput dari luka-luka. Termasuk istri Pak Tanwir yang sempat dirawat karena luka di bagian kaki akibat terjatuh beberapa kali saat menyelamatkan diri.

Namun semua warga terkejut ketika Masjid Al-Mujahidin yang posisinya tepat di bibir pantai, tidak mengalami kerusakan berarti. Allah Subhanahu wa Ta’ala menunjukkan kuasa-Nya pada masjid berkubah hijau ini.

Padahal nyaris tak ada yang penghalang antara masjid dengan laut. Meski bangunan di sekelilingnya hancur berkeping-keping, tapi ia tetap kokoh berdiri. Beberapa bagian masjid memang retak-retak, tapi masjid berwarna hijau itu masih layak dipakai.

Ia dikelilingi kayu-kayu dari rumah-rumah yang hancur dan material yang dibawa tsunami dari laut. Sebuah kapal nelayan bersandar tepat di halaman depannya.

“Masjid itu masih utuh pak, tak ada rusak,” kata seorang warga.

Menatap Laut. Bapa Tanwir Haji Mursaid, Imam Masjid Al-Mujahidin. Foto: Ally/Jurniscom

Sore itu, Selasa (9/10/2018) Pak Tanwir sedang berdiri termenung di atas dermaga samping Kapal Sabuk Nusantara 39 yang mendarat.

Tatapannya tajam melihat ke arah laut lepas, seolah melemparkan tanya, kenapa engkau menjadi begitu buas.

Namun Pak Tanwir paham betul soal hikmah di balik musibah.

Ia yakin ada pesan Tuhan di balik bencana yang dialami manusia. Karena mutiara akan berserakan di pantai saat badai usai dan pelangi tiba ketika hujan mereda.

“Ini peringatan sudah, peringatan ini, semoga cepat sadar semua orang ini,” tutur Pak Tanwir.

Lantunan ayat suci mulai diperdengarkan dari Masjid Al-Mujahidin. Itu tandanya Pak Tanwir harus segera pulang untuk bersiap menunaikan panggilan-Nya.

Sebagai imam masjid, Pak Tanwir kerap mengingatkan warganya untuk bergegas menyambut panggilan shalat.

Di akhir perbincangan, Pak Tanwir sedikit menyinggung musabab musibah hari Jumat itu terjadi.

Salah satunya adalah kesyirikan yang ada dalam ritual adat Palu Nomoni.

Meskipun Pak Tanwir tak menjelaskan secara terperinci, tapi ia dengan tegas menolak tradisi tersebut.

Menurutnya, ritual itu sudah tidak perlu dilakukan lagi karena ada unsur syirik di dalamnya.

“Waktu Palu Nomoni pertama kali diadakan lagi, itu ada angin kencang, petir. Tak perlu lagi itu Palu Nomoni, itu syirik,” tegasnya.

Beberapa warga Palu yang sempat diwawancarai tim Jurnalislam.com memang tidak setuju dengan ritual Palu Nomoni. Alasan mereka seragam. “Itu syirik”.

Penulis: Ally Muhammad Abduh

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.