Islam Menjawab Krisis Kesejahteraan Guru

Islam Menjawab Krisis Kesejahteraan Guru

Oleh : Lili Agustiani, S. Pd
Praktisi Pendidikan & Kepala HSG Khoirul Insan

Polemik belum dibayarkannya gaji guru honorer non-database di Kabupaten Berau hingga kini belum menemukan titik terang. Meski anggaran telah disiapkan, persoalan regulasi dan administrasi menjadi kendala utama. Pemerintah daerah belum bisa mencairkan gaji karena belum ada dasar hukum yang jelas. Raperbup sebagai salah satu payung hukum ditolak oleh Pemerintah Provinsi Kaltim. Penolakan ini menyebabkan Pemkab Berau belum memiliki legitimasi resmi untuk membayar guru-guru tersebut.

Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Berau, Mardiatul Idalisah, menyebut bahwa status guru honorer non-database telah dialihkan menjadi Penyedia Jasa Lainnya Perorangan (PJLP). Namun meski pengalihan ini sesuai arahan nasional, pencairan gaji sejak Juni 2025 belum terealisasi karena menunggu terbitnya Peraturan Bupati (Perbup). Ia mengungkapkan bahwa anggaran telah tersedia dalam DPA Disdik Berau, tetapi pembayaran belum bisa dijalankan karena regulasi belum final dan proses harmonisasi masih berlangsung.

Pemkab Berau melalui Bupati Sri Juniarsih menyadari kondisi ini sebagai sorotan publik dan masyarakat pendidikan. Ia menyatakan bahwa pembahasan intensif sedang dilakukan untuk mencari formula pembayaran yang sesuai hukum. Selain itu, Pemkab juga mengusahakan agar 114 guru honorer non-database dapat diangkat menjadi PPPK paruh waktu sebagai alternatif solusi jangka panjang. Namun hingga saat ini, belum ada kepastian kapan pembayaran gaji akan benar-benar dilakukan.

Persoalan gaji guru honorer bukan hanya terjadi di Berau, tetapi hampir merata di seluruh daerah Indonesia. Dari kasus di Kutai Barat hingga Samarinda, ribuan guru honorer menjerit karena gaji yang tak kunjung dibayar, bahkan ada yang rela tetap mengajar tanpa kepastian hak. Pemerintah daerah sering berdalih soal regulasi dan administrasi, sementara pusat melempar tanggung jawab pada daerah. Ketidaksinkronan antar aturan inilah yang memperlihatkan lemahnya tata kelola dalam sistem birokrasi saat ini. Persoalan guru bukan lagi teknis, tetapi struktural dan sistemik.

Dalam sistem kapitalisme, guru dipandang semata sebagai tenaga kerja, bukan pengemban amanah pembentuk peradaban. Penghargaan terhadap guru diukur dari kemampuan ekonomi, bukan peran sosialnya. Akibatnya, profesi guru menjadi kurang bergengsi, kalah pamor dibanding profesi lain yang menghasilkan keuntungan materi. Negara pun tidak memprioritaskan pendidikan dalam anggaran karena orientasi pembangunan lebih condong pada proyek-proyek ekonomi dan infrastruktur. Akhirnya, kesejahteraan guru diperlakukan seperti beban fiskal, bukan investasi masa depan bangsa.

Sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan juga memperparah keadaan. Dalam paradigma ini, pendidikan tidak diarahkan untuk membentuk manusia bertakwa, melainkan sekadar mencetak tenaga kerja yang siap melayani pasar. Guru hanya dijadikan alat produksi sistem pendidikan pragmatis yang berorientasi pada angka kelulusan, bukan pembentukan akhlak dan pemikiran. Maka, wajar jika nasib guru tidak menjadi prioritas. Regulasi terus berubah tanpa arah yang pasti karena tidak berlandaskan nilai-nilai syariat.

Akibatnya, krisis penghargaan terhadap guru menjadi wujud nyata dari rusaknya sistem kapitalisme-sekularisme yang diterapkan. Pemerintah hanya sibuk mencari formula administratif tanpa menyentuh akar masalah: hilangnya peran negara sebagai penanggung jawab pendidikan secara penuh. Gaji guru honorer bergantung pada anggaran daerah yang sering tersendat, sementara hak mereka diperdebatkan di antara tumpukan aturan yang saling bertentangan. Nilai kemanusiaan terkikis oleh logika keuangan.

Islam memiliki pandangan yang berbeda. Dalam sistem Islam, pendidikan adalah kebutuhan pokok masyarakat yang wajib dijamin negara. Guru diperlakukan sebagai penjaga akal umat, bukan buruh pengajar. Negara wajib menanggung gaji mereka dari baitul mal, bukan dari skema proyek atau APBD yang bergantung pada pajak dan pinjaman. Dengan sistem Islam, martabat guru dikembalikan sebagaimana mestinya. Pilar peradaban yang dimuliakan, bukan korban dari kekacauan sistem kapitalisme yang meniadakan nilai ruhiyah dan kemaslahatan manusia.

Dalam pandangan Islam, pendidikan adalah hak dasar rakyat yang wajib dijamin negara. Negara berkewajiban menyelenggarakan pendidikan berkualitas secara gratis bagi seluruh warganya, termasuk menjamin kesejahteraan para guru. Sebab pendidikan dalam Islam bukan sekadar urusan administrasi, tetapi bagian dari amanah kepemimpinan untuk mencetak generasi beriman dan bertakwa. Negara yang menerapkan syariat Islam akan menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama, bukan beban anggaran seperti dalam sistem kapitalis-sekuler saat ini.

Guru dalam Islam memiliki kedudukan yang sangat mulia. Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya aku diutus hanyalah sebagai pengajar (mu’allim)” (HR. Ibnu Majah). Para guru disebut pewaris para nabi karena tugas mereka menyebarkan ilmu dan membentuk akhlak umat. Dalam sejarah Khilafah Islam, para guru mendapatkan penghormatan tinggi dan gaji layak yang diambil dari Baitul Mal, bukan bergantung pada kas daerah atau proyek sementara. Dengan jaminan tersebut, para guru dapat fokus mendidik tanpa dibebani urusan ekonomi.

Islam juga menuntun umat untuk memuliakan guru dan menempatkan mereka sebagai sosok yang dihormati. Imam Ali bin Abi Thalib berkata, “Barang siapa mengajarkan satu huruf kepadaku, maka ia menjadi guruku selamanya.” Ungkapan ini menunjukkan adab Islam terhadap guru dan pentingnya ilmu dalam membangun peradaban. Formula penyelesaian persoalan guru sesungguhnya hanya ada dalam sistem Islam yang menjadikan pendidikan sebagai pilar utama kebangkitan umat. Maka, selama sistem kapitalisme sekuler masih diterapkan, masalah guru tidak akan pernah selesai secara hakiki. Wallahua’lam Bishowab

Bagikan