Ikatan Pernikahan yang Rapuh Berujung Perceraian, Haruskah?

Ikatan Pernikahan yang Rapuh Berujung Perceraian, Haruskah?

Oleh : Herliana Tri M

Pernikahan adalah gerbang membangun keluarga untuk mencetak generasi bangsa. Prahara pernikahan yang sangat berat sering kali harus berakhir pada perceraian. Dikutip dari laman cnbcindonesia.com ,26/10/2025 mengungkapkan tentang tingkat
perceraian di Indonesia. Melansir dari BPS sepanjang 2024 terdapat 399.921 kasus perceraian, di atas angka pra-pandemi 2020 yang hanya 291.677 kasus. Tren ini menandakan bahwa stabilitas rumah tangga di Indonesia belum sepenuhnya pulih meski pandemi telah berakhir.

Sementara itu, jumlah pernikahan justru mengalami kemerosotan. Dari 1,78 juta pernikahan pada 2020, menyusut menjadi hanya 1,47 juta pada 2024.

Artinya, pada saat pasangan yang menikah mengalami penurunan, tingkat perceraian tetap tinggi. Ini mengindikasikan bahwa ketahanan pernikahan masyarakat Indonesia mengalami tekanan dari berbagai sisi sosial

Rapuhnya Ikatan Suami-Istri

Jika ditelusuri lebih dalam, perselisihan dan pertengkaran terus menerus menjadi penyebab utama perceraian, dengan 251.125 kasus, setara 63% dari total perceraian nasional 2024. Seolah memberikan gambaran, untuk seia sekata bagi pasangan suami istri sebagai kondisi yang “mahal” untuk diraih. Padahal kondisi pernikahan saat ini tak seperti kisah “Siti Nurbaya”, hasil perjodohan orang tua.

Rata- rata pernikahan terwujud hasil pilihannya sendiri, yang dilandasi faktor cinta dan sayang serta sesuai kriteria yang telah ditetapkannya. Namun, fakta yang terjadi, meski kriteria tersebut sudah disiapkan sedemikian rupa, tak menjadikan pernikahan seindah pernikahan “cinderella” yang penuh dengan fantasi menyenangkan.

Faktor ekonomi menempati urutan kedua dengan 100.198 kasus, menggambarkan rapuhnya fondasi finansial dalam rumah tangga. Apalagi ekonomi bangsa yang tak baik-baik saja, angka pengangguran semakin besar, daya saing dalam dunia kerja semakin ketat, menjadikan permasalahan ekonomi menambah deretan problem rumah tangga.

Sementara itu, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tercatat 7.243 kasus, menunjukkan isu yang masih signifikan. Ketidakmampuan menguasai emosi, mudah tersulut amarahnya untuk perkara- perkara yang terkadang terkesan sepele. Ketidakmampuan pasangan menguasai emosi dapat berujung pada KDRT bahkan sampai penghilangan nyawa pendamping hidup yang seharusya disayang sepenuh jiwa.

Secara data statistik, tingkat perceraian yang tinggi menunjukkan, provinsi-provinsi di Pulau Jawa masih menjadi episentrum perceraian nasional. Jawa Barat menempati posisi teratas dengan 88.985 kasus, disusul Jawa Timur (79.293 kasus) dan Jawa Tengah (64.937 kasus). Ketiganya menggambarkan angka lebih dari separuh total perceraian nasional. Sementara di luar Jawa, Sumatera Utara (15.955 kasus) dan Lampung (14.603 kasus) mencatat angka tertinggi. Hal tersebut memperlihatkan korelasi antara kepadatan penduduk dan tingginya angka perceraian.

Cinta Saja Tak.Cukup

Apabila keputusan menikah hanya sebatas “suka, cinta dan sayang”, maka modal ini tak cukup untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Menyatukan dua karakter yang berbeda harus dijembatani oleh modal yang sama yakni pemahaman agama yang kuat. Standart agama menjadikan perbedaan bisa disikapi dengan bijak, apalagi dengan kuatnya pemahaman ini menjadikan suami dan istri dapat menempatkan hak dan kewajiban secara tepat. Menjadi masalah besar saat kedua belah pihak sama- sama menuntut hak terlebih dahulu, sehingga akan memunculkan tuntutan, dan berakhir kekecewaan saat merasa pasangannya tak sesuai ekspektasi atau harapannya.

Ikatan Suci Pernikahan

Pernikahan bagi seorang muslim adalah ikatan suci karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah berfirman dalam QS. an Nisa’ 21 dengan menggambarkan pernikahan sebagai mitsaqan ghalizan yakni janji komitmen antara suami dan istri dalam ikatan pernikahan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Oleh karena itu, ikatan pernikahan ini tak selayaknya hanya dipandang sebagai ikatan duniawi semata, ikatan sebatas manfaat dan pemenuhan syahwat saja.

Laki-laki dan perempuan saat berazam untuk melangkah dalam ikatan mulia ini harus memiliki bekal agama yang kuat sehingga nantinya mampu melewati “badai kehidupan” berlandaskan panduan tsaqofah yang dimilikinya. Setiap keputusan apalagi untuk berpisah atau bercerai akan dipertimbangkan secara matang, karena tak hanya menyangkut hubungan dua belah pihak, namun berpengaruh pada psikis anak, hasil buah hati mereka. Anak membutuhkan kasih sayang ayah dan bundanya, sebagai kasih sayang utuh memenuhi kebutuhan kasih sayang yang lengkap, bukan sebuah pilihan antara ayah atau bunda saja.

Tingginya angka perceraian membutuhkan peran negara untuk turut andil menyelesaikan permasalahan ini. Keluarga adalah benteng terakhir bagi generasi penerus mendapatkan pendidikan terbaiknya. Oleh karena itu, hadirnya negara dalam menyelesaikan tingginya angka perceraian tak bisa diabaikan. Negara dengan seperangkat kebijakannya hadir untuk memastikan pemahaman yang cukup bagi pasangan suami istri. Tak hanya itu, negara juga hadir dengan mekanisme kebijakan menyangkut sistem ekonominya agar tiap- tiap individu rakyat tercukupi kebutuhan pokoknya secara layak. Membuka lapangan pekerjaan yang dibutuhkan rakyatnya juga berbagai kemudahan akses lainnya agar rakyat dapat hidup sejahtera.

Berbagai mekanisme dibutuhkan untuk mendukung terwujudnya keluarga sakinah sesuai tuntunan syariah. Dengan berbagai kondisi yang terwujud, diharapkan mampu menurunkan angka perceraian secara signifikan dan generasi unggul dapat diraih dari ikatan suci yang terbentuk karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Bagikan