Hutan Lindung di Aceh Dibabat untuk Suplai Minyak Sawit ke Nestlé dan Unilever

Hutan Lindung di Aceh Dibabat untuk Suplai Minyak Sawit ke Nestlé dan Unilever

JAKARTA (jurnalislam.com)— Sebuah laporan investigasi terbaru oleh Rainforest Action Network (RAN) menunjukkan bahwa sejumlah merek konsumen besar seperti Nestlé, Unilever, Mondelēz, General Mills, Kellogg’s, Mars, dan Hershey mendapatkan sebagian minyak sawit mereka dari buah kelapa sawit yang berasal dari perkebunan ilegal di dalam hutan lindung, tepatnya di Cagar Alam Rawa Singkil, Aceh, yang merupakan rumah bagi populasi orangutan Sumatera (Pongo abelii) yang terancam punah dengan kepadatan tertinggi di dunia.

Laporan RAN ini dirilis pada 10 November 2024, berdasarkan investigasi lapangan, wawancara, dan analisis transaksi, serta risiko pelanggaran terhadap komitmen “Tidak Ada Deforestasi, Tidak Ada Lahan Gambut, Tidak Ada Eksploitasi” (NDPE) yang telah diadopsi para pedagang dan merek tersebut.

Menurut laporan, para perantara lokal membeli buah sawit dari pohon sawit yang ditanam secara ilegal di dalam Cagar Alam Rawa Singkil yang dilindungi secara nasional di Provinsi Aceh, kemudian memasoknya ke pabrik pengolahan yang terletak tepat di sebelah area penebangan ilegal di Ekosistem Leuser. Dari pabrik-pabrik ini, minyak sawit olahan masuk ke jaringan pedagang global seperti Golden Agri-Resources (GAR) dan Musim Mas Group sebelum akhirnya masuk ke rantai pasok sejumlah merek konsumen besar.

Para pedagang minyak sawit serta merek global tersebut sebenarnya memiliki kebijakan NDPE dalam pengadaannya. Namun, laporan RAN mengungkapkan bahwa pabrik-pabrik pengolahan tempat buah sawit ini diproses tidak memiliki sistem ketertelusuran yang memadai untuk memastikan bahwa minyak sawit yang dibeli benar-benar bebas dari praktik ilegal di hutan lindung Aceh.

Investigasi RAN juga mengecam sejumlah bank global termasuk Mitsubishi UFJ Financial Group (Jepang), ABN Amro (Belanda), dan OCBC (Singapura) karena terus membiayai pedagang minyak sawit utama seperti GAR, meskipun ada indikasi kuat bahwa pasokan mereka terkait dengan motor penggerak deforestasi dan kerusakan habitat.

Dalam keterangannya, RAN menuntut agar perusahaan-perusahaan yang terbukti berkontribusi terhadap kerusakan hutan ini berhenti membeli minyak sawit yang berasal dari pabrik nakal, atau membiayai pelaku yang memproses dan mengirimkan minyak sawit ilegal ke pasar global sampai sistem pemantauan, ketertelusuran, dan kepatuhan yang transparan dan dapat diverifikasi diterapkan.

Golden Agri-Resources mengonfirmasi bahwa enam dari pabrik pemasoknya berada di dekat Cagar Alam Rawa Singkil, dan lima di antaranya belum menetapkan ketertelusuran sampai ke perkebunan asal buah sawit tersebut. GAR menargetkan agar pabrik-pabriknya mencapai ketertelusuran penuh pada akhir tahun 2020, namun sejauh ini belum terealisasi sepenuhnya.

Cagar Alam Rawa Singkil sendiri merupakan kawasan penting di pantai barat laut Pulau Sumatera yang tidak hanya memiliki lebih dari 75.000 hektar hutan gambut yang tersisa tetapi juga menjadi habitat penting bagi spesies yang terancam punah. Namun, konservasionis mencatat bahwa batas kawasan lindung telah menyusut dari sekitar 102.400 hektar menjadi 80.000 hektar sejak pendiriannya pada tahun 1998, sementara lebih dari 3.000 hektar habitat hutan dataran rendah telah dibersihkan dalam 10 tahun terakhir, sebagian besar untuk perluasan perkebunan kelapa sawit.

Sumber: RAN, mongabay

Bagikan