GAZA (Jurnalislam.com) – Pemimpin politik Hamas Ismail Haniyeh telah berjanji untuk melancarkan protes terhadap penjajahan Israel selama puluhan tahun di Tepi Barat dan di luar negeri.
Sejak 30 Maret, warga Palestina telah melakukan aksi protes di sepanjang perbatasan Jalur Gaza menuntut kembalinya para pengungsi ke kota-kota dan desa-desa mereka di Palestina (The Great March of Return) yang bersejarah dimana mereka diusir oleh pasukan Yahudi pada tahun 1948 untuk membuat jalan bagi negara baru Israel.
Unjuk rasa itu merupakan bagian dari protes enam pekan yang akan mencapai puncaknya pada 15 Mei. Hari itu akan menandai ulang tahun ke-70 pendirian Israel – sebuah acara yang oleh orang Palestina disebut sebagai “Nakba” atau “Malapetaka.”
“Aksi demo akan pindah ke Tepi Barat dan akan bergabung dengan warga kami di luar negeri,” kata Haniyeh pada pertemuan yang diselenggarakan oleh Kementerian Wakaf dan Urusan Agama di Jalur Gaza pada hari Rabu (25/4/2018), lansir Anadolu Agency.
Otoritas Tolak Rencana Pembentukan Negara Palestina Tanpa Yerusalem
Dia mengatakan warga Palestina “akan bangkit melawan penjajahan Israel dalam perlawanan rakyat yang dimulai dari Gaza”.
“The Great March of Return akan menjadi gerakan rakyat Palestina terhadap penjajahan,” katanya, mengacu pada demonstrasi anti-pendudukan zionis Yahudi.
Haniyeh mengatakan protes anti-penjajahan, yang sekarang memasuki pekan kelima, telah mencapai tujuan, terutama dengan kembalinya lagi para pejuangan Palestina ke garis depan.
Sedikitnya 41 penduduk Palestina telah tewas dan ratusan lainnya terluka oleh tembakan Israel sejak protes dimulai bulan lalu.
Sudah 2 Wartawan Palestina Gugur saat Meliput “Great March of Return”
Para pengamat yakin bahwa unjuk rasa bertujuan untuk mematahkan pengepungan Israel selama satu dekade di Jalur Gaza, serta untuk menggagalkan “Kesepakatan Abad Ini” yang diusulkan AS – yang seolah-olah ditujukan untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Rencana perdamaian dilaporkan menyerukan pengakuan Arab di seluruh dunia atas Yerusalem sebagai ibukota Israel dan mengakui aneksasi Israel atas blok permukiman yahudi illegal terbesar di Tepi Barat. Sebagai imbalannya, Israel diharapkan akan mundur bertahap dari sebagian besar wilayah Palestina yang kini berada di bawah kekuatan penjajah.
Sejauh ini, kepemimpinan Palestina telah menyuarakan penolakannya terhadap ketentuan inisiatif dari AS.
Desember lalu, Presiden AS Donald Trump Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, memicu kecaman dunia dan protes di seluruh wilayah Palestina.