ASTANA (Jurnalislam.com) – Pembicaraan damai Suriah putaran ketujuh berakhir tanpa kesepakatan pada hari Selasa (31/10/2017) di ibukota Kazakhstan, Astana, Anadolu Agency melaporkan.
Para pihak yang menghadiri perundingan tersebut gagal mencapai kesepakatan mengenai akses kemanusiaan yang terputus ke daerah-daerah yang diblokade rezim Assad, serta pertukaran tahanan dan tawanan korban penculikan, menurut sumber yang menghadiri pertemuan tersebut.
Negara penjamin – Turki, Rusia dan Iran – setuju untuk terus mengupayakan dua isu tersebut, kata sumber tersebut.
Membaca pernyataan bersama dari ketiga negara tersebut, Menteri Luar Negeri Kazakhstan Kairat Abdrakhmanov mengatakan bahwa mereka menyambut baik kemajuan dalam pelaksanaan memorandum tentang pembentukan daerah de-eskalasi di Suriah yang dicapai pada tanggal 4 Mei.
Negara-negara tersebut menekankan pengurangan kekerasan “signifikan” di wilayah di Suriah sebagai akibat tindakan yang diambil untuk memperkuat dan mempertahankan rezim gencatan senjata, termasuk meluncurkan daerah de-eskalasi dan menciptakan zona keamanan, kata menteri Kazakhstan tersebut.
Perundingan Damai Suriah ke-7 Kembali Digelar di Astana
Negara-negara tersebut menegaskan kembali tekad mereka untuk melakukan semua tindakan yang diperlukan untuk terus memerangi terorisme di dalam dan di luar wilayah de-eskalasi.
Mereka juga sepakat bahwa tidak ada solusi militer untuk masalah Suriah dan harus dipecahkan melalui proses politik.
Abdrakhmanov mengatakan bahwa negara-negara tersebut sepakat membahas usulan Rusia untuk mengadakan “kongres dialog nasional”.
Dia mengatakan bahwa pihak-pihak yang berkepentingan perlu mengambil “langkah-langkah membangun kepercayaan” termasuk pelepasan tahanan / korban penculikan dan penyerahan jenazah serta identifikasi orang hilang, untuk menciptakan kondisi yang lebih baik bagi proses politik dan gencatan senjata yang langgeng.
Ketiga negara juga menggarisbawahi perlunya meningkatkan bantuan kemanusiaan internasional ke Suriah, dan untuk menyediakan akses kemanusiaan yang cepat, aman dan tidak terhalang.
Dalam sebuah konferensi pers setelah perundingan tersebut, Utusan Khusus Rusia untuk Suriah Alexander Lavrentiev mengatakan bahwa Kongres Dialog Nasional akan diadakan di kota Sochi Rusia.
Utusan tersebut mengatakan bahwa pembentukan pemerintah transisi persatuan nasional akan dinegosiasikan pada kongres tersebut, menambahkan bahwa “inisiasi reformasi konstitusional sangat penting untuk dilakukan”.
Lavrentiev mengatakan bahwa isu tersebut juga dibahas dengan Utusan Khusus PBB untuk Suriah Staffan de Mistura. “Mistura juga mengatakan bahwa kita harus fokus pada reformasi konstitusional dan pemilihan.”
Menurut Kementerian Luar Negeri Rusia, kongres tersebut akan digelar pada 18 November.
Mengenai delegasi oposisi Suriah, Lavrentiev mengatakan bahwa mereka tidak menginginkan adanya kondisi (persyaratan) awal.
“Jika mereka menetapkan kondisi awal, dan tidak memiliki sikap konstruktif, maka itu akan membuktikan bahwa mereka menolak untuk membantu. Kami tidak ingin ini terjadi.
“Kami akan terus bekerja dengan oposisi Suriah … Jika pihak oposisi tidak hadir, mereka akan menghadapi risiko besar dan berada di luar proses politik.”
Turki, Rusia dan Iran Gagal Temui Kesepakatan di Astana
Pihak oposisi bersenjata Suriah, di sisi lain, keberatan dengan keputusan kongres Rusia dan mengatakan bahwa Rusia harus pertama-tama menghentikan pembunuhan anak-anak Suriah, mengacu pada serangan baru-baru ini bersama rezim Suriah di pinggiran Damaskus, Ghouta Timur.
Menurut juru bicara Yahya Al-Aridi, kelompok oposisi tersebut ingin mempertahankan perundingan Jenewa dan Astana, tanpa ada perubahan dalam proses tersebut.
Aridi mengatakan, “Bergabung dengan kongres tersebut sebenarnya bukan pilihan.”
“Bukan tentang memilih apakah akan hadir atau tidak. Ada batas-batas yang pasti, diklaim dipimpin oleh PBB, namun nyatanya tidak ada yang bisa memprediksi siapa yang akan bergabung,” katanya.
Babak perundingan Astana berikutnya diperkirakan akan diadakan pada paruh kedua bulan Desember.
Pembicaraan Astana, yang berfokus pada penguatan gencatan senjata yang mulai berlaku pada 30 Desember, ditengahi oleh Turki, yang mendukung oposisi moderat anti-Assad, dan Rusia dan Iran, yang mendukung rezim Syiah Nushairiyah Bashar al-Assad.
Pertemuan dua hari di Astana juga membahas pembebasan tahanan dan sandera, dan aksi kemanusiaan di lading ranjau darat.
Perwakilan rezim Suriah, kelompok oposisi bersenjata, tiga negara penjamin, serta delegasi dari PBB, Yordania, dan AS menghadiri perundingan tersebut.