JAKARTA (Jurnalislam.com)- Rancangan Undang Undang Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja) terus mendapat sorotan dari berbagai pihak. Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah tengah melakukan pembahasan
Rancangan RUU Cipta Kerja yang telah menjadi Program Legislasi Nasional Prioritas di Tahun 2020.
Sebagai Rancangan Undang-Undang yang dibentuk dengan metode Omnibus Law, RUU Cipta Kerja memuat klaster yang sangat luas dengan 11 (sebelas) klaster pembahasan, total 79 Undang-Undang terdampak, dan terdapat 1.244 Pasal.
Dengan demikian, Rancangan Undang-Undang ini akan berdampak sangat sistemik dan masif terhadap berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Oleh sebab itu, sejumlah Koalisi Organisasi Pendidikan yang terdiri dari Majelis Pendidikan Tinggi dan
Penelitian Pengembangan (Diktilitbang) PP Muhammadiyah, Majelis Pendidikan Dasar dan
Menengah (Dikdasmen) PP Muhammadiyah, LP Ma’arif NU PBNU, NU Circle, Rektor
Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta, Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah,
Rektor Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI), Persatuan Keluarga Besar Taman Siswa (PKBTS), Majelis Wali Amanat Universitas Djuanda Bogor, melalui pernyataan ini turut menambahkan sejumlah catatan kritis terhadap RUU Cipta Kerja pada klaster pendidikan yang tertuang sebagai berikut:
- Dalam merumuskan berbagai peraturan dan kebijakan, salah satu prinsip yang tidak
dapat ditinggalkan adalah tujuan negara sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan
UUD Tahun 1945, yang mengamanatkan Negara untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
- Untuk mewujudkan tujuan negara, dalam Pasal 31 ayat (3) UUD Tahun 1945
mengamanatkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan, serta ahlak mulia
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
- Berdasarkan visi negara dan rumusan norma konstitusi, sangat jelas memperlihatkan
bahwa tugas mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan tidak boleh
menempatkan faktor-faktor determinan lain atas pendidikan. Sebagaimana terlihat
dalam RUU Cipta Kerja bahwa ekonomi/bisnis dan dunia usaha menjadi faktor
determinan baru dalam pendidikan, dengan memasukkan materi pendidikan dan
kebudayaan pada rezim hukum ekonomi.
- Pengaturan ketentuan Pendidikan dan Kebudayaan dalam RUU Cipta Kerja masuk
dalam BAB III tentang Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha
menandakan secara paradigmatik menempatkan pendidikan dan kebudayaan masuk
rezim investasi dan kegiatan berusaha. Hal ini telah menggeser politik hukum
pendidikan menjadi rezim perizinan berusaha melalui penggunaan terminologi izin
berusaha pada sektor pendidikan, yang sesungguhnya tidak berorientasi laba.
- Pengaturan pendidikan dan kebudayaan dalam RUU Cipta Kerja akan berimplikasi
hilangnya nilai, karakteristik, pendidikan yang berbasis kebudayaan serta telah
menegasikan peran kebudayaan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Hal itu sangat
bertentangan dengan ketentuan Pasal 32 ayat (1) UUD Tahun 1945 yang
memerintahkan negara untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah
peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
- Berbagai pengaturan dalam RUU Cipta Kerja akan meliberalisasi dan mengkapitalisasi
pendidikan pada jenjang Pendidikan Dasar, Menengah, dan Tinggi dengan
menghilangkan sejumlah syarat dan standar bagi lembaga pendidikan asing yang akan
menyelenggarakan pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Peran penyelenggaraan pendidikan tinggi keagamaan, oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama dihilangkan, sehingga
kementerian urusan Agama tidak akan memiliki kewenangan untuk mengontrol
pendidikan tinggi keagamaan yang diselenggarakan di Indonesia.
- Dihapuskannya standar pendidikan tinggi menjadikan negara kehilangan peran dalam
memastikan terselenggaranya mutu pendidikan yang dicitakan, kondisi ini
menjadikan pemerintah kehilangan ukuran dalam menilai perkembangan pendidikan
tinggi yang pada akhirnya menimbulkan ketidakjelasan politik hukum
penyelenggaraan pendidikan tinggi.
- Dihapuskannya peran pemerintah daerah dalam proses perizinan pembentukan
lembaga pendidikan sebagai akibat dari adanya sentralisasi perizinan pada
Pemerintah Pusat. Kondisi ini bertentangan dengan spirit desentralisasi dan otonomi
daerah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD Tahun
1945.
- Sentralisasi perizinan pada Pemerintah Pusat juga turut menegasikan peran daerah
dalam menghadirkan pendidikan yang menjunjung tinggi kearifan lokal.
- Terjadinya perubahan tata kelola Perguruan Tinggi Swasta yang tidak mewajibkan
adanya Badan Penyelenggara, berimplikasi pada pengelolaan Perguruan Tinggi
Swasta langsung pada pimpinan Perguruan Tinggi Swasta. Tata kelola Perguruan
Tinggi Swasta dikelola sama dengan pengelolaan perseroan terbatas.
- Dihapuskannya sejumlah sanksi administratif dan pidana sebagai akibat dari
penyalahgunaan perizinan penyelenggaraan pendidikan, sertifikat kompetensi, gelar
akademik, profesi, dan/atau vokasi oleh sejumlah orang dapat merugikan orang lain.
Maka berdasarkan pertimbangan dan catatan dari Aliansi Organisasi Pendidikan tersebut, mereka menolak RUU Cipta Kerja Klaster Pendidikan dan Kebudayaan.
“Mendesak Dewan Perwakilan Rakyat RI dan Pemerintah Indonesia untuk
mengeluarkan klaster pendidikan dan kebudayaan dari RUU Cipta Kerja,” terangnya dalam keterangan yang diterima Jurnalislam.com, Selasa, (22/9/2020).
“Mempertegas kebijakan pendidikan nasional berlandaskan filosofi kebudayaan
Indonesia dan menjauhkan dari praktik komersialisasi dan liberalisasi,” pungkasnya.