Dampak dan Konsep Pernikahan dalam Islam Saat Pandemi Covid-19

Dampak dan Konsep Pernikahan dalam Islam Saat Pandemi Covid-19

 

Oleh: Moh. Hakim Nur rosyid

Mahasiswa Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan TafsiFakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah IAIN Pekalongan

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep pernikahan dalam Islam ditinjau dari segi fenomenologis penundaan pernikahan dikarenakan adanya wabah pandemi Covid-19, meskipun hukum asal menikah adalah sunnah akan tetapi ketika disuatu daerah terjadi wabah maka menunda pernikahan merupakan hal yang mulia karena mematuhi peraturan pemerintah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsep pernikahan dalam Islam dan penundaan pernikahan dalam Islam dikarenakan adanya pandemi, Hasil penelitian ini adalah menunda pernikahan dikarenakan adanya wabah Covid-19 merupakan salah satu bentuk pencegakan yang mana bila tetap dilaksanakan akan berdampak pada menyebarnya virus tersebut, Akan tetapi dengan adanya wabah yang membahayakan juga anjuran pemerintah untuk mengurangi penyebaran wabah tersebut, maka dengan menunda perkawinan yang telah direncanakan juga merupakan keputusan yang sangat mulia, karena selain mentaati pemerintah juga membantu malakukan melindungi sesama dengan mengurangi penyebaran wabah Covid-19 karena mematuhi peraturan pemerintah merupakan hal yang wajib.

 

  1. PENDAHULUAN
  2. Latar Belakang

Syariat Islam yang pertama kali diturunkan adalah pernikahan, dimana belum diturukannya syariat sholat, puasa, zakat dan haji tapi syariat pernikahan sudah ada sejak dalam surga lantas siapa yang pertama kali menikah? Jawabannya yaitu nabiyullah Adam As. Dengan siti hawa pada waktu itu belum disyariatkan sholat, puasa, zakat dan haji akan tetapi sudah ada pernikahan yang mana Allah Swt. yang menikahkan keduanya dan malaikat jibril yang menjadi saksi atas pernikahan nabiyullah Adam As. Dengan siti hawa, sejarah tersebut menjadi dasar bahwa pernikahan merupakan syariat mutaqoddimatun (Syariat pertama).

Pernikahan merupakan syariat yang penting dalam Islam sehingga di dalam Al-Qur‟an terdapat beberapa ayat yang berbicara mengenai pernikahan salah satunya adalah ayat yang menjelaskan konsep sakinnah, mawaddah wa rohmah yang tertuang dalam QS. Al-Rum : 21:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Artinya; Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

Agar terbentuknya pernikahan yang diinginkan yang sesuai dengan konsep sakinnah, mawaddah wa rohmah maka dibutuhkan pasangan suami istri yang saling membutuhkan satu dengan lainnya dan mau saling menerima kekurangan masing-masing pasangan, dan calon mempelai laki-laki setelah keduanya sah menikah dia akan mengemban amanah besar yaitu menjadi pemimpin dalam rumah tangganya, menjadi suritauladan bagi keturunan keturunannya.

  1. PEMBAHASAN
  2. Konsep Pernikahan dalam Islam

Istilah nikah berasal dari bahasa Arab, yaitu ( نكاحا ), adapula yang mengatakan perkawinan menurut istilah fiqh dipakai perkataan nikah dan perkataan zawaj.[1] Sedangkan menurut istilah Indonesia adalah perkawinan. Dewasa ini kerap kali dibedakan antara pernikahan dan perkawinan, akan tetapi pada prinsipnya perkawinan dan pernikahan hanya berbeda menarik akar katanya saja. Perkawinan adalah:

Sebuah ungkapan tentang akad yang sangat jelas dan terangkum atas rukun-rukun dan syarat-syarat.[2]

Para ulama fiqh pengikut mazhab yang empat (Syafi’I, Hanafi, Maliki, dan Hanbali) pada umumnya mereka mendifinisikan perkawinan pada:

Akad yang membawa kebolehan (bagi seorang laki-laki untuk berhubungan badan dengan seorang perempuan) dengan ( diawali dalam akad )lafadz nikah atau kawin, atau makna yang serupa dengan kedua kata tersebut.[3]

Dalam kompilasi hokum islam dijelaskan bahwa perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang kuat atau mitsaqon ghalizhah untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Dari beberapa terminologi yang telah dikemukakan Nampak jelas sekali terlihat behwa perkawinan adalah fitrah ilahi.

Dalam pandangan Al-Qur’an, salah satu tujuan pernikahan adalah untuk menciptakan sakinah, mawaddah, dan rahmah antara suami, istri, dan anak-anaknya. Hal ini ditegaskan dalam QS. Ar-Rum: 21. Yang artinya: Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasanganpasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir (Ismatulloh, 2015)

  1. Syarat dan Rukun Pernikahan

Rukun adalah bagian dari hakikat sesuatu. Rukun masuk di dalam substansinya. Adanya sesuatu karena adanya rukun, dan tidak adanya karena tidak ada rukun. Berbeda dengan syarat, ia tidak masuk ke dalam substansi dan hakikat sesuatu, sekalipun sesuatu itu tetap ada tanpa syarat, namun ekstensinya tidak diperhitungkan. Akad nikah juga mempunyai beberapa syarat yang terbagi kepada beberapa syarat, yaitu syarat jadi, syarat sah, syarat terlaksana, dan syarat wajib.[4]

Syarat terjadinya akad nikah adalah sesuatu yang harus ada pada saatnya, baik berupa rukun akad itu sendiri maupun dasar-dasar rukun sehingga jika tertinggal sedikit bagian dari syarat maka rukun dianggap tidak terpenuhi. Pengaruh tertinggalnya sesuatu dalam syarat disebut batal. Akad batal jika terjadi cacat pada satu rukun dari beberapa rukun atau pada satu dasar dari beberapa dasar rukun.[5]

Imam asy-Syafi‟i menyebutkan bahwa rukun nikah itu ada lima, yaitu calon suami, calon istri, wali, dua orang saksi dan sigat. Menurut Imam Malik rukun nikah itu adalah wali, mahar calon suami, calon istri, sigat. Mahar/ mas kawin adalah hak wanita (Faridl, 2004). Karena dengan menerima mahar, artinya ia suka dan rela dipimpin oleh laki-laki yang baru saja mengawininya. Mempermahal mahal adalah suatu hal yang dibenci Islam, karena akan mempersulit hubungan pernikahan di antara sesama manusia. Dalam hal pemberian mahar ini, pada dasarnya hanya sekedar perbuatan yang terpuji (istishab) saja, walaupun menjadi syarat sahnya nikah. Sebagaimana saksi menjadi syarat sahnya nikah menurut Imam asy-syafi‟i. As-Sayyid Sabiq dalam hal ini berpendapat, bahwa Ahmad Atabik dan Khoridatul Mudhiiah akad nikah merupakan ijab qabul yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut (Nizar, 2019):

  1. Pihak yang melakukan akad itu memiliki kecakapan, yaitu berakal, balig, dan merdeka.
  2. Masing-masing pihak memiliki wewenang yang penuh untuk melakukan akad.
  3. Qabul tidak boleh menyalahi ijab, kecuali kalau wali itu menguntungkan pihak yang berijab.
  4. Hendaknya kedua belah pihak yang berakad berada dalam satu majlis dan saling memahami ucapan lawan.

Di Indonesia, para ahli hukum Islam sepakat bahwa akad nikah itu baru terjadi setelah dipenuhinya rukun-rukun dan syarat-syarat nikah, yaitu:

  1. Calon pengantin itu kedua-duanya sudah dewasa dan berakal (akil balig).
  2. Harus ada wali bagi calon pengantin perempuan.
  3. Harus ada mahar (mas kawin) dari calon pengantin laki-laki yang diberikan setelah resmi menjadi suami istri kepada istrinya.
  4. Harus dihadiri sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang adil dan lakilaki Islam merdeka.
  5. Harus ada upacara ijab qabul, ijab ialah penawaran dari pihak calon istri atau walinya atau wakilnya dan qabul penerimaan oleh calon suami dengan menyebutkan besarnya mahar (mas kawin) yang diberikan.
  6. Sebagai tanda bahwa telah resmi terjadinya akad nikah (pernikahan) maka hendaknya diadakan walimah (pesta pernikahan).
  7. Sebagai bukti otentik terjadinya pernikahan, sesuai dengan analogi surat Ali-Imran ayat 282 harus diadakani i‟lan an-nikah (pendaftaran nikah), kepada Pejabat Pencatat Nikah, sesuai pula dengan UU No. 22 Tahun 1946 jo UU No.32 Tahun 1954 jo UU No.1 Tahun 1974 (lihat juga Pasal 7 KHI Instruksi Presiden RI No.1 Tahun 1991).
  8. Penundaan Pernikahan di Masa Pandemi

Wabah Covid-19 yang melanda dunia terutama di Indonesia menimbulkan banyak permasalahan baik dari segi ekonomi, sosial dan lain lain, begitu juga dalam ranah pernikahan, prosesi pernikahan yang jauh sebelumnya telah dipersiapkan oleh calon maupun keluarga pengantin dengan terpaksa tidak bisa dilaksanakan, melalui surat edaran yang ditujukan keberbagai instansi seperti kantor urusan agama (KUA) tentang penundaan pernikahan oleh kementrian agama, aturan pemerintah yang menganjurkan masyarakat untuk menunda pernikahan dalam masa merebahnya virus corona, karena munculnya aturan tersebut maka masyarakat yang sudah mempersiapkan pernikahan terpaksa membatalkan atau ada sebagian yang melanggar peraturan tersebut dengan tetap melaksanakan pernikahan secara sirri, sedangkan secara hukum yang berlaku di Indonesia pernikahan sirri dianggap tidak sah oleh negara walaupun sebagian ulama tetap menghukumi sebagai pernikahan yang sah secara agama. Maka peraturan pemerintah tentang penundaan pernikahan ini akan menimbulkan banyak dampak yang negatif, terutama bagi masyarakat yang menganggap bahwa peraturan tersebut tidaklah penting untuk dilaksanakan (Muttaqin, 2019).

Dalam literatur hukum fiqh menunjukkan bahwa hukum asal menikah adalah dapat disesuaikan dengan kondisi dan lingkungannya masing-masing individu. Kondisi-kondisi ini dapat timbul karena beberapa hal antara lain: problem bekal mental yang dirasa belum memadai atau belum siap menikah secara mental, problem bekal material dan masalah studi, hal ini membuat seseorang enggan untuk menikah karena menganggap dirinya belum cukup mampu menafkahi keluarga secara materi, alasan yang lain adalah sulitnya memperoleh pasangan, hal ini disebabkan oleh banyak faktor diantaranya menganggap pasangan yang belum tepat atau menentukan kriteria pasangan yang terlalu ketat dalam memilih calon pasangan hidup. Beberapa hal di atas adalah alasan-alasan untuk menunda perkawinan selain karena adanya wabah yang sedang melanda dunia (Jannah, 2020).

Meskipun tidak ada pelarangan melangsungkan pernikahan pada masa pandemi Covid-19 selain surat edaran yang menganjurkan untuk memerintah untuk menundanya. Namun kebijakan tersebut belum tentu dipatuhi oleh seluruh masyarakat Indonesia, sehingga beberapa masyarakat bahkan dari kalangan publik figur juga melangsung pernikahan sirri, artinya pernikahan tersebut sah secara agama namun belum disahkan secara hukum.

Pada konteks ini menikah memang merupakan sunnatullah yang bernilai ibadah akan tetapi menunda pernikahan dikarenakan adanya wabah Covid-19 merupakan salah satu bentuk pencegakan yang mana bila tetap dilaksanakan akan berdampak pada menyebarnya virus tersebut, Akan tetapi dengan adanya wabah yang membahayakan juga anjuran pemerintah untuk mengurangi penyebaran wabah tersebut, maka dengan menunda perkawinan yang telah direncanakan juga merupakan keputusan yang sangat mulia, karena selain mentaati pemerintah juga membantu malakukan melindungi sesama dengan mengurangi penyebaran wabah Covid-19 karena mematuhi peraturan pemerintah merupakan hal yang wajib.

  1. PENUTUP
  2. Kesimpulan

Menikah memang merupakan sunnatullah yang bernilai ibadah akan tetapi menunda pernikahan dikarenakan adanya wabah Covid-19 merupakan salah satu bentuk pencegakan yang mana bila tetap dilaksanakan akan berdampak pada menyebarnya virus tersebut, Akan tetapi dengan adanya wabah yang membahayakan juga anjuran pemerintah untuk mengurangi penyebaran wabah tersebut, maka dengan menunda perkawinan yang telah direncanakan juga merupakan keputusan yang sangat mulia, karena selain mentaati pemerintah juga membantu malakukan melindungi sesama dengan mengurangi penyebaran wabah Covid-19 karena mematuhi peraturan pemerintah merupakan hal yang wajib.

  1. Daftar Pustaka

Kamal, Mukhtar. 1974. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang

Al-Imam Taqi al-Din Abi Bakr Bin Muhammad al-Husaini al-Damsyiqi al-Syafi’i. tanpa tahun. Kifayah al-Akhyar fi halli ghayat al- Ikhtishar. Semarang: Usaha Keluarga.

Al-Jaziri, Abdurrahman. 1986. Al-fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah. Beirut: Dar al-fikr.

Abdul Aziz Muhammad Azam dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas. 2011.  Fiqh Munakahat: Khitbah, Nikah dan Talak, Jakarta; amzah

Abdurrahman Taj, Al-Ahkam asy-Syari’ah Al-Islamiyah

 

[1] Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, hlm.79

[2] Al-Imam taqi al-Din Abi Bakr bin Muhammad Al-Husain al-Damsyiqi al-Syafi’I, Kifayah al-akhyar fi halli Ghayat al-Ikhtisar, Semarang: usaha keluarga, t.th.,Juz 2, hlm 36

[3] Abdurrahman Al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-arba’ah, Beirut: Dar al Fikr, 1986, Jilid IV, hlm. 212.

[4] Abdul aziz Muhammad Azam dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat: Khitbah, Nikah, dan Talak, Jakarta; Amzah, 2001, h59

[5] Abdurrahman Taj, Al-Ahkam asy-Syari’ah Al-Islamiyah, h.30

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.