Aksi Bela Islam dalam Tinjauan Syariat

Aksi Bela Islam dalam Tinjauan Syariat

Oleh : Ustadz Muzayyin Marzuqi[1]

Bismillah wal hamdulillah wa lahaula wala quwwata illa billah wa ba’d

Tujuh puluh satu tahun kemerdekan negara kita Republik Indonesia telah berlalu, namun, adakah kita umat Islam bangsa Indonesia telah dapat menikamati dan mensyukuri kemerdekaan tersebut dengan sesungguh-sungguhnya, atau bahkan sebaliknya.

Bila dibandingkan dengan kehidupan bangsa Indonesia pada era penjajahan Belanda yang konon berlalu selama tiga setengah abad dan juga penjajahan Jepang atas negara kita yang berjalan tiga setengah tahun lamanya, maka kemerdekan atau hidup terbebas dari penjajahan adalah sebuah nikmat dan karunia yang sangat luar biasa. Sehingga sangat wajarlah bila umat Islam Bangsa Indonesia kala itu meyakini dan menyatakannya sebagai berkah dan rahmat dari Allah yang Maha Kuasa.[2]

Persoalannya adalah, apakah umat Islam yang berdasarkan dokumentasi sejarah sekaligus UUD Negara tersebut, yang telah mengakui bahwa kemerdekaan adalah sebuah berkah dan rahmat dari Allah, telah benar-benar mensyukuri karunia tersebut, dalam pengertian memanfaatkan nikmat kemerdekaan untuk lebih meningkatkan kualitas penghambaan (ibadah) kepada Allah, atau justru mengingkari (mengkufuri) nikmat kemerdekaan tersebut, dalam pengertian mengurangi kualitas ibadah atau menghambat usaha peningkatan ibadah umat Islam bangsa Indonesia sebagai warga negara mayoritas.

Bila fenomena yang terjadi adalah sebuah bentuk kesyukuran umat Islam Bangsa Indonesia secara kolektif kepada Allah, maka keyakinan kita mengatakan bahwa apa yang terjadi selama 71 th merdeka adalah melimpahnya karunia Allah dalam berbagai lini dan sektor kepada kita.[3] Namun bila realitas yang terjadi sepanjang perjalanan kemerdekaan negara kita, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari tahun 1945 hingga kini (th 2016) adalah bentuk kekufuran terhadap nikmat Allah yang bernama “Kemerdekaan” maka kiranya, apa yang terjadi selama ini lebih layak untuk disebut sebagai azab dari Allah, yang merambah di seluruh lini kehidupan “Ipoleksosbudmil ip tek” (Ideologi, ekonomi, sosial, budaya, militer, ilmu pengetahuan dan teknologi)[4].

Membedah 71 th kemerdekaan NKRI dengan pisau “Dakwah”

Berdakwah dalam pengertian mengajak kepada ajaran Tauhid (meng-Esa-kan Alloh)[5] atau mengajak untuk kembali kepada agama Allah (Islam) dalam segala aspek kehidupan adalah kewajiban seluruh umat Islam tanpa memandang tingkatan keimanan, ilmu dan kesholehan seseorang. Dan juga tanpa melihat profesi dan skill apapun yang dimiliki seseorang muslim.[6]

Aktifitas dakwah dalam makna menyeru seluruh umat manusia secara umum dan umat Islam bangsa Indonesia secara khusus agar kembali kepada agama Allah (syariah Islam) dalam menata seluruh lini kehidupan Ipoleksosbudmil ip tek ( Ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, militer, ilmu pengetahuan dan teknologi) adalah aktifitas yang sangat mulia dan sangat baik yang kiranya tidak mudah untuk dipadankan dengan kegiatan (wicara) apapun dalam kehidupan seseorang.[7]

Persoalannya adalah, apakah di era kemerdekan negara kita yang telah berlalu 71 th dan telah melalui tiga zaman/orde/rezim (Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi) umat Islam dalam seluruh stratanya telah benar-benar melaksanakan kewajiban “Dakwah”(?) secara maksimal dan telah dapat menjamah serta mewarnai seluruh lini kehidupan? Hanya Allah yang mengetahui sebenarnya.

Namun kiranya kita perlu mengevaluasi dan melihat kembali perjalanan dakwah dan perjalan kita dalam berbangsa dan bernegara sepanjang era kemerdekan yang telah kita lalui sejak hari Jum’at tanggal 17 Agustus 1945 sekurang-kurang hingga hari Jum’at 2 Desember (212) tahun 2016 yang sangat fenomenal beberapa saat yang lalu.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah berlalu lebih dari tujuh dasawarsa semenjak hengkangnya penjajah Belanda dan Jepang dari wilayah NKRI, yang telah menghabiskan anggaran negara (uang rakyat) yang jumlahnya tidak terhingga, dapatkah kita menyaksikan tampilnya/munculnya para ideolog, sosiolog serta budayawan bangsa yang betul-betul komitmen dan loyal kepada syari’ah Allah?

Dapatkah kita menyaksikan hadirnya ilmuwan-ilmuwan bangsa, tehnokrat-tehnokrat bangsa, birokrat-birokrat bangsa, politikus-politikus bangsa serta para perwira-perwira bangsa yang benar-benar memahami dan setia kepada kitab suci (al-Qur’an) disamping memahami dan setia kepada konstisusi?

Bila hal-hal diatas dapat dengan mudah kita jumpai dalam jumlah yang memadai, kiranya sepanjang era kemerdekaan kita, yang telah berlalu lebih dari tujuh dasa warsa, tidaklah kita akan mengalami krisis kepemimpinan, krisis keadilan, krisis kemanusiaan, krisi ekonomi, bahkan kita juga tidak akan menghadapi krisis toleransi maupun krisis kebhinekaan.

Namun bila yang terjadi sebaliknya, bahwa kita kesulitan untuk menemukan orang-orang sholeh yang “kapabel” dari kalangan birokrat, politisi, tehnokrat, akademisi, pengusaha dan juga TNI dan Polri, ini kiranya menunjukkan bahwa sistem pendidikan nasional kita selama era kemerdekaan belum menunjukkan hasil yang layak dibanggakan atau bahkan sangat memprihatinkan.

Hal ini juga menunjukkan bahwa kegiatan dakwah dan pendidikan seluruh umat Islam baik secara individu maupun lembaga perlu mendapatkan “koreksi total” baik dari sisi materi, metode pendekatan maupun sasaran. Karena dalam rentang masa 71 tahun belum tampak melahirkan pemimpin-pemimpin yang sholeh, akademisi, tehnisi yang sholeh dan juga belum tampak melahirkan birokrat dan aparat negara yang sholeh dengan prosentase yang memadai.

Bila pola hidup berbangsa dan bernegara yang telah berjalan selama ini dipertahankan dan tidak dibenahi, dan juga bila sistem pendidikan nasional kita tidak ditinjau kembali, demikian juga bila kegiatan dakwah dan sistem kaderisasi umat tidak juga direvisi, sangat dihawatirkan, kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara pada hari-hari depan akan semakin mengundang berbagai krisis dan musibah yang kian menjadi-jadi.[8]

Maka, peristiwa fenomenal yang terjadi pada 2 Desember 2016 (212) yang dikenal dengan nama Jum’ah Kubro, dimana 7 juta lebih umat Islam yang datang dari seluruh penjuru tanah air melaksanakan sholat Ju’mah berjamaah di lapangan Monumen Nasional (Monas) dan juga disebut sebagai Aksi Super Damai Bela Islam III, layak dipandang sebagai peringatan dari Allah bagi bangsa ini agar mengoreksi kembali pola hidupnya dalam berbangsa dan bernegara setelah berlau 7 dasa warsa dg 7 presiden yang berbeda-beda.

Bagi umat Islam sebagai warga negara mayoritas, hendaknya memandangnya fenomena 212 sebagai langkah awal untuk menuju hidup baru berbangasa dan bernegara yang lebih berkah, santun, damai, kuat dan bersyari’ah.

Jihadul Ummah 4 November dan 2 Desember

Aksi Damai 411/ Aksi Bela Islam II

Aksi damai yang terjadi pada tanggal 4 November yang dilakukan oleh umat Islam dari seluruh penjuru Nusantara yang diprakarsai oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF MUI)[9] yang dipimpin oleh Ustadz Bahtiar Nasir dan Habib Rizieq Syihab sebagai penasehatnya adalah sebuah peristiwa fenomenal yang kiranya mengejutkan banyak pihak baik bagi yang ikut berpartisipasi maupun yang sekedar memperhati.

Aksi damai 411 yang dihadiri oleh lebih dari dua juta umat Islam dari seluruh penjuru tanah air itu mendapatkan apresiasi dari banyak pihak, termasuk dari Panglima TNI Bapak Jendral Gatot Nurmantiyo. Pasalnya, aksi yang dihadiri oleh lebih dari dua juta peserta yang kiranya dapat diprediksi akan menimbulkan kekacauan atau kerusuhan (chaos) luar biasa, ternyata hanya terjadi sedikit kericuan, itupun terjadi satu atau dua jam setelah izin aksi berakhir.

Akibat aksi tersebut seratus lebih sedikit dari peserta terluka atau sakit baik dari pihak peserta aksi maupun pihak keamanan (Polri/TNI) yang secara umum disebabkan oleh semprotan gas air mata, atau berdesak-desakan atau yang yang lain. Dan dua orang dari peserta aksi meninggal dunia (semoga terhitung syahid) karena sesak terkena gas air mata.

Korban aksi, baik yang sakit sesak atau terluka atau meninggal dunia, prosentasenya sangat sangat sedikit bila dibandingkan dengan jumlah peserta yang lebih dari dua juta orang. Apalagi bila dibandingkan dengan aksi-aksi yang serupa yang terjadi diluar negeri seperti di Tunisia, Yaman, dan Mesir misalnya. Berapa korban jiwa dan harta yang harus dibayarkan dalam aksi-aksi di Timur Tengah yang dikenal dengan “Arab Spring” dan apa hasilnya yang mereka petik kini? Berapa pula korban jiwa, tenaga dan harta yang telah dibayarkan dalam aksi damai 411, dan apakah hasil sementara yang dapat dibaca?

Aksi Super Damai 212/Aksi Bela Islam III

Alhasil, Aksi damai 411 yang luar biasa itu ternyata diikuti dengan aksi lanjutan yang jauh lebih dahsyat yang dikenal dengan nama “Aksi Super Damai 212”

Dalam aksi 212 ini, tantangan bagi siapapun yang akan menyertainya terasa semakin berta dibanding aksi damai 411, karena pihak Polri mengeluarkan larangan/himbauan bagi warga di daerah-daerah untuk tidak mengikutinya. Disamping adanya ultimatum mencabut “izin trayek” bagi perusahaan-perusahaan angkutan yang menyediakan jasa angkutannya untuk keperluan aksi.

Namun sambutan massa aksi sungguh di luar dugaan, mereka siap berangkat menuju ibu kota untuk mengikuti Aksi Super Damai 212 dari daerah masing-masing meskipun harus menggunakan kendaraan sepeda motor. Bahkan para Mujahid dari Ciamis bersedia berjalan kaki menuju ibu kota guna mengikuti Aksi Super Damai yang juga dikenal dengan Jum’ah Kubro tersebut.

Pada awalnya Jum’ah Kubro (Sholat jama’ah Jum’ah dalam jumlah besar) direncanakan akan diadakan disekitar bundaran HI, namun pihak Polri tidak memberikan izin, dan fatwa yang menyatakan ketidakabsahan sholat jum’ah yang akan dilaksanakan dijalan pun berseliweran datang dari sana-sini.

Akhirnya dilakukan kesepakatan antara pihak Polri dan pihak GNPF MUI yang dimediasi oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat yang menghasilkan kesepakatan diantaranya Polri mengizinkan untuk dilakukan sholat Jum’ah di Lapangan Monas, dan Polri tidak akan melarang peserta aksi yang datang dari berbgai daerah dan tidak akan pula melarang perusahaan-perusahaan angkutan untuk menyediakan jasa angkutannya.

Hasilnya, tujuh juta lebih peserta aksi membanjiri lapangan Monas hingga “luber” sampai ke jalan-jalan di sekitarnya termasuk bundaran HI dan sekitarnya.

Kegiatan dimulai dengan sholat subuh berjamaah, kemudian para peserta berdatangan, bersamaan dengan itu, dilakukan doa, dzikir, baca sholawat, taushiyah bergantian disampaikan oleh para Masyayihk, ulama maupun Habaib, hingga menjelang sholat Jum’ah.

Suasana redup, haru dan khusus mewarnai kegiatan aksi meski sewaktu-waktu menggema suara takbir dan yel-yel yang menuntut agar Ahok si Penista Al Qur’an segera dipenjarakan.

Apa arti sebuah nama

Dalam menyebut dua aksi di atas, umat Islam Indonesia berbeda-beda dalam memberi nama. Habib Rizieq misalnya menyebutnya sebagai “Jihad Konsitusional,” sementara Dr Zaitun Rasmin sebagai salah satu dari wakil ketua GNPF MUI menyebutnya sebagai “Jihadul Kalimah.”[10]

Ada juga yang memberi nama aksi tersebut dengan demo atau demontrasi lantas menjatuhkan hukum terhadap aktifitas tersebut dengan vonis “bid’ah”, karena dalam kegiatan tersebut tersirat makna “Khuruj” yang berarti keluar atau memberontak terhadap pemerintahan yang sah.

Bahkan ada yang menilai kegiatan Aksi Damai Bela Islam II dan Aksi Super Damai Bela Islam III sebagai perbuatan Riddah atau Murtad, karena dalam aksi tersebut terkandung maksud menuntut agar penista Al Qur’an diadili berdasarkan hukum yang berlaku. (Hukum Thoghut menurut versi kelompok ini).

Lebih dahsyat lagi, ada yang memandang aksi-aksi tersebut sebagai sebuah usaha “kudeta” yang ingin menggulingkan pemerintahan yang konstitusional.

‘Ala kuli hal, masing-masing pihak menyampaikan “printing penilaian” sesuai dengan ilmu dan motif yang ter “install” dan tersimpan mendalam di benak masing-masing.

Jihadul Ummah 4 November dan 2 Desember 2016 yang penuh berkah.

Perkataan Jihad sudah disebutkan dalam Al Qur’an sejak Rasulullah SAW dan para sahabat RA masih di Makkah dalam suasana perjuangan Dakwah Ilallah, sebagaimana firman Allah SWT yang artinya: ”Maka janganlah engkau taati orang-orang kafir dan berjihadlah/berjuanglah untuk menghadapi mereka dengannya (Al Qur’an) Jihad yang besar.[11]

Dr. Abdullah Azzam, seorang ulama Mujahid yang ikut serta bersama para Mujahidin Afganistan dalam mengusir penjajah komunis Uni Soviet (Rusia) dari bumi Khurosan (Afganistan) memberikan definisi Jihad sebagai berikut[12]:

Kata Jihad secara bahasa mengandung arti : “Mengerahkan kemampuan dan kekuatan guna mendapatkan sesuatu yang disukainya, atau guna menolak sesuatu yang tidak disukainya” (استفراغ الوسع والطاقة لنيل محبوب او لدفع مكروه)

Sementara dalam pengertian terminologis/istilah beliau menyebutkan yang maknanya : “Telah bersepakat Imam-imam yang empat bahwa Jihad adalah Perang/qital dan memberikan pertolongan untuk hal tersebut.”

(اتفق الائمة الاربعة الجهاد هو القتال والعون فيه)

Ini berarti bahwa kata jihad menurut bahasa mengandung makna berjuang atau berusaha bersungguh-sungguh untuk meraih suatu tujuan-tujuan tertentu. Tujuan-tujuan yang hendak dicapai bisa jadi sesuatu yang diinginkan dan bisa jadi sesuatu ingin dihindari.

Namun ketika kata Jihad sudah menjadi kata baku/istilah dalam fiqih maka pengertiannya dibatasi kepada “setiap usaha/kesungguhan/pengerahan kemampuan yang dilakukan dalam kerangka perang di jalan Allah disebut dengan jihad”, sementara pengerahan kemampuan itu di luar bingkai perang di jalan Allah tidak disebut dengan Jihad. Wallohu a’lam.

Bingkai “Perang di Jalan Allah” atau Jihad fi sabilillah

Mari kita cermati pengertian dan maksud qital (perang) di jalan Allah secara lebih luas yang pengertian tersebut pada waktunya nanti (fase kehidupan Rasulullah di Madinah) sering disebut dengan Jihad fi sabilillah dan para pelakunya disebut dengan Mujahid-mujahid (Mujahidun) fi sabilillah sementara yang tidak mengikutinya disebut “Qo’idun”[13]

Contoh ayat yang menyebut kata Jihad yang berarti perang sebagaimana yang termaktub dalam surat At-Tawbah ayat 41 yang artinya: ”Berangkatlah kalian baik dalam keadaan ringan maupun berat dan berjihadlah dengan harta kalian dan jiwa kalian di jalan Alloh, hal itulebih baik bagi kalian, apabila kalian mengetahui”

Kontek ayat ini berkaitan dengan Perang Tabuk yang terjadi pada th 9 H, di mana Rasulullah dan para sahabat yang berangkat dari Madinah menuju Tabuk harus menempuh jalan lebih kurang 700 km dan perjalanan perang tersebut secara keseluruhan memakan waktu 50 hari.

Perlu dicermati juga bahwa peperangan pada zaman Rasulullah selama sepuluh tahun di Madinah berjumlah antara 82 kali atau 83 kali. Bila peperangan tersebut diikuti langsung oleh Rasulullah maka disebut dengan Ghozwah, yang secara keseluruhan berjumlah 27 kali. Sementara apa bila Rasulullah tidak mengikutinya dan cukup dengan mengirim pasukan beserta komandannya atau panglimanya maka disebut dengan “Sariyah”.

Namun dalam kenyataannya tidak setiap perjalanan perang baik yang disebut dengan “Sariyah” maupun “Ghozwah” terjadi kontak fisik atau kontak senjata, atau bunuh-membunuh. Bahkan cukup banyak operasi peperangan baik ghozwah maupun sariyah yang di dalamnya tidak terjadi bentrok fisik, tidak terjadi atau tidak sempat terjadi bunuh-membunuh.

Meski demikian, peperangan tersebut tetap disebut dengan ghozwah atau sariyah dan tetap disebut dengan perang di jalan Allah dan tetap disebut dengan Jihad fi sabilillah.

Lantas dalam realitasnya seperti apakah yang disebut dengan perang di jalan Allah atau Jihad fi sabillah ?

Ayat di dalam kitab suci Al-Qur’an yang dikenal sebagai ayat yang pertama turun yang membahas tentang Jihad adalah surat al Haj ayat 39 yang berbunyi:”

“أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ “

Artinya : “Telah diizinkan bagi orang-orang yang diperangi untuk (membalas memerangi) karena mereka telah didzolimi dan sungguh Alloh maha mampu untuk menolong mereka.”

Ayat ini menggambarkan bahwa sikap kaum Quraisy dalam menghambat dan memusuhi dakwah pada fase Makkah baik dengan menistakan Rasulullah, menistakan Al-Qur’an, menghina, mencela sampai kepada menindas dan menyiksa sebagian sahabat, disebut sebagai “ memerangi “ kaum muslimin. Meskipun secara umum bisa dikatakan tidak terjadi kontak senjata atau bunuh-membunuh antara kaum muslimin dan kaum musyrikin.

Ini berarti bahwa perang yang dimaksud dalam ayat di atas adalah berbagai usaha kaum musyrikin dalam rangka mengalahkan Islam (Dakwah Islam) dan kaum muslimin.

Sebaliknya apabila berbagai aktifitas atau usaha itu dilakukan oleh kaum muslimin dengan tujuan untuk mengalahkan kekufuran dan orang-orang kafir, maka layak juga disebut sebagai “Perang di jalan Allah” atau “Jihada fi sabilillah,” meskipun tidak terjadi kontak senjata dan tidak ada yang terbunuh, sebagaimana perkataan: Perang melawan hawa nafsu, perang melawan kemiskinan, perang melawan kebodohan dan perang melawan ketidakadilan, maka tidak mesti ada yang terbunuh dan tidak harus terjadi bunuh-membunuh.

Maka wajarlah jika Rasulullah menyebut perlawanan atau perjuangan untuk menghadapi berbagai penyimpangan dari “Syari’ah” dengan kata “JAAHADA” yang berarti “berjihad.”

Sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang berbunyi:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَا مِنْ نَبِىٍّ بَعَثَهُ اللَّهُ فِى أُمَّةٍ قَبْلِى إِلاَّ كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لاَ يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لاَ يُؤْمَرُونَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ الإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ »

Artinya : Dari Abdullah bin Mas’ud bahwa Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada seorang nabipun yang diutus kepada suatu umat sebelumku kecuali ia mempunyi pembela-pembela dan sahabat-sahabat dari kalangan umatnya, mereka itu mengambil sunnahnya dan mengikuti perintahnya, kemudian datang setelah mereka pengganti-pengganti (generasi) yang mereka itu mengatakan apa-apa yang mereka tidak lakukan dan melakukan apa-apa yang tidak diperintahkan. Maka siapapun yang berjihad menghadapi/melawan mereka dengan tangannya maka ia mukmin, dan siapa yang berjihad melawan mereka dengan lidahnya, maka ia mukmin, dan siapa yang berjihad melawan mereka dengan hatinya maka ia mukmin. Dan di balik itu tidak ada keimanan meskipun sebiji sawi.

Berarti, berdasarkan hadis ini, berbagai aksi yang dilakukan oleh umat Islam terutama Aksi Damai 411 atau Aksi Bela Islam II dan juga Aksi 212 atau Aksi Super Damai Bela Islam III dan yang semisalnya yang tujuannya untuk memerangi kedzaliman dan melawan ketidakadilan serta meluruskan berbagai penyimpangan dari Syari’ah, sangat tepat untuk disebut sebagai Jihad di jalan Allah.

Dan bagus kiranya kita umat Islam bangsa Indonesia sebagi warga negara mayoritas untuk lebih akrab dengan kata-kata atau istilah-istilah yang merupakan bagian dari produk peradaban Islam seperti : berinfak di jalan Allah, berjihad di jalan Allah, mencari ridho Allah, mati syahid di jalan Allah, dengan niat li i’lai kalimatillah dst.

Demikian wallohu a’lamu bis showab wal hamdulillah bini’matihi tatimus sholihat.

Ngruki, 16 Desember 2016

(Penulis adalah Qoid Mahkamah Syariah Jamaah Ansharusy Syariah)

 

[1] Koordinator Majlis Kiyai Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki Sukoarjo Surakarta

[2] Pembukaan UUD 45 alenea ketiga

[3] “Kalau penduduk suatu kampun beriman dan bertakwa niscaya kami bukakan bagi mereka berkah dari langit dan bumi……..” al A’rof 96

[4] “……….Sungguh jika kalian bersyukur pasti Aku tambahkan (nikmatKu) dan jika kalian kufur, sungguh adzabKu itu amat pedih” Ibrohim 7

[5] Hal ini sejalan dengan Pembukaan UUD 45 alenea ke 4

[6] “Katakanlah ini jalanku, aku menyeru kembali kepada Alloh berdasarkan ilmu dan keyakinan, Aku dan siapapun yang mengikutiku……..” Yusuf 108.

[7] “Dan siapa yang lebih baik pembicaraannya dibanding dengan orang yang menyeru untuk kembali kepada agama Alloh…….” Fushilat 33

[8] “Dan berikan keputusan antara mereka berdasarkan apa yang Alloh turunkan dan jangan mengikuti hawa nafsu mereka, dan waspadalah terhadap mereka yang akan menfitnah/menyimpangkanpun dari sebagain apa yang Alloh turunkan, Maka apabila mereka berpaling, ketahuilah bahwa Alloh akan menimpakan kepada mereka “mushibah” yg disebabkan oleh sebagian dosa mereka……..” al Maidah 49

[9] Majlis Ulama sebagai sebagai piha yang mempunyai “otoritas” fatwanya mengikat umat Islam untuk mengikutinya. Firman Alloh :”Maka bertanyalah kepada Ahlu dziki jika kalian tidak tahu…”

[10] Dalam sebuah pertemuan konsolidasi yang dilakukan oleh Kenap (Komite Nasional Anti Pemortadan) pada tgl 1 Nov 2016 , Dr Zaitun Rasmin datang sebagai salah satu Nara sumber menyebutkan bahwa aksi 4 Nov adalah Jihad, Jihadul Kalaimah, kemudian beliu membacakan hadis :”افض الجهاد كلمة حق عند سلطان جائر”

(penulis hadir sebegai peserta undangan dalam pertemuan tsb)

[11]فَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا (52)””

[12] Penulis adalah murid/mahasiswa beliau di tahun antara 1986 s.d 1990 an.

[13] “Tidak sama orang-orang yang duduk (tidak ikut berangkat berperang) tanpa udzur dari kalangan orang-oarang yang beriman dengan para Mujahidin fi sabilillah…….” An Nisa’ 95

Bagikan