WASHINGTON (Jurnalislam.com) – Pemerintahan Obama mengatakan pada hari Jumat (01/06/2016) bahwa antara 64 hingga 116 warga sipil telah tewas oleh pesawat tak berawak dan serangan AS di Pakistan, Yaman dan Afrika sejak Presiden Barack Obama menguasai kantor kepresidenan pada 2009, lansir Al Arabiya News Channel Jumat (01/07/2016).
Perkiraan pemerintahan di depan publik ini menyebutkan korban tewas warga sipil secara signifikan lebih rendah dari perkiraan oleh berbagai kelompok hak asasi manusia yang berkisar hingga 1.100 korban tewas.
Mencari preseden untuk penggantinya, Obama juga menandatangani sebuah perintah eksekutif mengenai detail kebijakan untuk membatasi korban sipil AS dan menjadikan perlindungan warga sipil sebagai elemen sentral dalam perencanaan operasi militer AS.
Perintah eksekutif seperti itu membutuhkan sebuah laporan perkiraan korban tahunan. Ia mengatakan pemerintah harus mencakup pelaporan kredibel dari kelompok non-pemerintah yang mengulas serangan untuk menentukan apakah ada korban tewas di pihak warga sipil.
Tapi perintah eksekutif ini tidak mengikat presiden berikutnya, yang bisa mengubah kebijakan dengan sebuah perintah eksekutif buatannya sendiri.
Walaupun rincian serangan pesawat tak berawak masih sering samar, ruang lingkup program pesawat tak berawak AS telah lama tertutup. Ini adalah alat kunci strategi militer Obama.
Korban sipil yang diungkapkan tidak termasuk serangan udara AS di Afghanistan, Irak atau Suriah, negara-negara yang dianggap daerah pertempuran aktif.
Kelompok hak asasi manusia telah lama mengatakan bahwa pemerintah mengurangi laporan jumlah korban sipil dan informasi baru tidak mungkin memuaskan mereka sepenuhnya.
Biro Jurnalisme Investigasi (Bureau of Investigative Journalism) yang berbasis di London, misalnya, memperkirakan bahwa sekitar 492 hingga 1.100 warga sipil tewas oleh serangan pesawat tak berawak di Pakistan, Yaman dan Somalia sejak tahun 2002.
Federico Borello, direktur eksekutif Center for Civilians in Conflict di Washington, memuji perintah eksekutif Obama tersebut. Dia mengatakan kelompoknya mungkin akan memanggil Kongres untuk memodifikasikannya menjadi undang-undang sehingga presiden masa depan tidak bisa membuangnya keluar.
“Ini adalah sesuatu yang telah kami kerjakan selama 10 tahun,” katanya. “Memiliki perlindungan sipil di jantung perencanaan militer adalah masalah besar.”
Reprieve, sebuah organisasi hak asasi manusia internasional yang berbasis di New York, mengatakan bahwa pernyataan pemerintah sebelumnya tentang program pesawat tak berawak terbukti palsu oleh fakta di lapangan dan dokumen internal pemerintah AS sendiri.
“Tapi yang lebih penting, harus ditanyakan seberapa berartinya angka-angka tersebut jika mereka menghilangkan rincian dasar seperti nama-nama mereka yang tewas dan daerah, bahkan negara, tempat mereka tinggal,” kata Reprieve dalam sebuah pernyataan menjelang pengumuman administrasi ini.
Reprieve mengatakan pemerintah hampir menunjukkan bagaimana mereka bisa menentukan target, mengingat bahwa pemerintah dapat menggeser apapun yang mereka anggap sebagai sipil sedemikian rupa hingga perkiraan apapun menjadi jauh dari kenyataan.