Oleh: Djumriah Lina Johan
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban
Sudan menjadi topik hangat yang wajib untuk diikuti akhir-akhir ini. Dikutip dari Aljazirah, RSF yang berperang melawan militer Sudan untuk menguasai negara itu, menewaskan sedikitnya 1.500 orang selama tiga hari terakhir, ungkap Jaringan Dokter Sudan pada hari Rabu. Kelompok tersebut, yang memantau perang saudara di Sudan, menggambarkan situasi itu sebagai “genosida yang nyata”.
“Pembantaian yang disaksikan dunia saat ini merupakan perpanjangan dari apa yang terjadi di el-Fasher lebih dari satu setengah tahun lalu, ketika lebih dari 14.000 warga sipil terbunuh akibat pemboman, kelaparan, dan eksekusi di luar hukum,” kata kelompok Jaringan Dokter Sudan.
Serangan dilakukan sebagai bagian dari “kampanye pembunuhan dan pemusnahan yang disengaja dan sistematis”. Pernyataan ini muncul ketika bukti baru pembunuhan massal di wilayah strategis tersebut muncul dari Humanitarian Research Lab (HRL) Yale, yang melaporkan bahwa citra satelit el-Fasher, yang diambil setelah RSF masuk, menunjukkan kumpulan objek yang sesuai dengan ukuran tubuh manusia. Serta area perubahan warna merah yang luas di tanah.
RSF telah terlibat dalam perang saudara berdarah dengan tentara Sudan sejak tahun 2023. Pasukan paramiliter menyerbu el-Fasher, benteng terakhir tentara di Darfur, pada hari Ahad setelah 17 bulan pengepungan.
Analisis
“Seorang pejabat diplomatik pada Kamis kemarin menegaskan bahwa negara-negara Kuartet (AS, Saudi, UEA dan Mesir) akan berkumpul pada hari ini di Washington dengan perwakilan dari Militer Sudan dan Pasukan Dukungan Cepat untuk mendorong kedua pihak ke gencatan senjata kemanusiaan selama tiga bulan. Ia mengatakan bahwa tujuannya adalah “menekan secara bersatu untuk mengokohkan gencatan senjata dan mengizinkan masuknya bantuan-bantuan kemanusiaan ke warga sipil” (al-‘Arabiya, 24/10/2025).
Ini bermakna bahwa bersamaan waktunya penyerbuan al-Fasyir oleh Pasukan Dukungan Cepat dan pengosongan Militer Sudan dari kota tersebut dengan pertemuan di Washington menunjukkan bahwa keputusan penyerahan kota strategis tersebut kepada Pasukan Dukungan Cepat telah diambil di Washington dan kedua belah pihak Sudan segera melaksanakannya.
Al-‘Arabiya pada 12/9/2025 mengutip dari pernyataan yang keluar dari pertemuan itu: “Dinyatakan di dalam pernyataan bersama: “dengan undangan dari Amerika Serikat, para menteri luar negeri Amerika Serikat, Mesir, Saudi dan UEA menggelar konsultasi mendalam mengenai konflik di Sudan, mengingat bahwa konflik tersebut telah menyebabkan krisis kemanusiaan terburuk di dunia dan menimbulkan risiko serius bagi perdamaian dan keamanan regional. Para menteri menegaskan komitmen mereka terhadap seperangkat prinsip bersama untuk mengakhiri konflik di Sudan”.
Poin keempat pernyataan tersebut menyatakan: “Masa depan pemerintahan di Sudan akan ditentukan oleh rakyat Sudan melalui proses transisi yang inklusif dan transparan yang tidak tunduk kepada kendali pihak yang bertikai”.
Salah satu poin pernyataan tersebut juga menyatakan: “Segala upaya akan dilakukan untuk mendukung penyelesaian konflik melalui negosiasi dengan partisipasi efektif Angkatan Bersenjata Sudan dan Pasukan Dukungan Cepat”.
Dari teks pernyataan di atas menunjukkan pengakuan kepada kedua pihak yang bertikai di Sudan dan secara setara dan meminta keduanya untuk berpartisipasi. Artinya bahwa pernyataan tersebut tidak menunjuk kepada Pasukan Dukungan Cepat dengan sifatnya sebagai pasukan separatis dan pemberontak dan tidak menyerunya untuk menghentikan pemberontakannya secara khusus dan bahwa ia membentuk pemerintahan separatis untuk memecah belah Sudan. Hal itu berarti pengakuan Amerika atas kontrol Pasukan Dukungan Cepat dan eksistensi legalnya di wilayah Darfur dan kota terpentingnya, al-Fasyir.
Langkah selanjutnya dari rencana Amerika untuk Sudan, yaitu gencatan senjata, yang berarti menutup jalan sepenuhnya bagi Militer Sudan untuk merebut kembali al-Fasyir dan membuat kontrol Hamidati atas wilayah tersebut menjadi stabil dan tidak terganggu oleh bentrokan apa pun.
Amerika dengan hampir jelas dan tegas, melanjutkan rencananya dan mempercepat langkahnya untuk memecah belah Sudan dan memisahkan wilayah Darfur dari Sudan, sebagaimana sebelumnya telah memisahkan wilayah selatan Sudan.
Sungguh termasuk hal yang menyakitkan, Amerika kafir penjajah mampu mengatur perang yang menewaskan ribuan orang di Sudan dan menggunakan agen-agennya untuk menjalankan hal itu secara terbuka bukan secara rahasia, terangan-terangan bukan tersembunyi.
Al-Burhan dan Hamidati bertarung menggunakan darah warga Sudan bukan untuk apa-apa kecuali untuk melayani kepentingan-kepentingan Amerika yang mana Amerika ingin mengulangi pembagian Sudan seperti yang telah dilakukannya pada pemisahan Sudan selatan dari Sudan. Dan Amerika kafir penjajah sekarang mengerahkan segenap usaha dalam memisahkan Darfur dari Sudan yang masih tersisa.
Upaya yang dilakukan oleh Amerika di atas tidak terlepas dari Sudan yang memiliki signifikansi geopolitik yang sangat besar. Yakni, dibentuk oleh daratannya yang luas, sumber daya alam yang melimpah, dan lokasi di jantung beberapa jalur perdagangan dan politik paling vital di dunia.
Posisi geografis Sudan merupakan salah satu aset strategis terbesarnya. Yaitu, terletak di timur laut Afrika, Sudan berbatasan dengan tujuh negara, yakni Mesir, Libya, Chad, Republik Afrika Tengah, Sudan Selatan, Etiopia, dan Eritrea. Hal ini menjadikannya penghubung utama antara Afrika Utara, wilayah Sahel, dan Afrika Sub-Sahara.
Sudan juga memiliki garis pantai yang signifikan di sepanjang Laut Merah, tepat di seberang Jazirah Arab dan dekat Selat Bab al-Mandeb, salah satu titik kunci maritim paling penting di dunia.
Selat Bab al-Mandeb menghubungkan Laut Merah dengan Teluk Aden dan Laut Arab, menjadikannya koridor vital bagi perdagangan internasional dan pengiriman minyak. Hampir 10% minyak dunia yang diangkut melalui laut melewati jalur sempit ini.
Kedekatan Sudan dengan jalur air ini menjadikannya sebagai lokasi yang strategis dan diinginkan bagi kekuatan-kekuatan global yang ingin menguasai rute laut dan logistik angkatan laut. Kendali atau aliansi dengan Sudan dapat memberikan pengaruh yang signifikan dalam mengelola keamanan Laut Merah dan arus perdagangan antara Asia, Eropa, dan Afrika.
Tidak hanya itu, Sudan kaya akan sumber daya alam (SDA) yang secara signifikan meningkatkan nilai geopolitiknya. Negara ini merupakan salah satu penghasil emas terbesar di Afrika dan kekayaan mineralnya meliputi kromium, mangan, seng, bijih besi, dan uranium.
Dengan demikian, wajarlah bila Amerika sebagai negara adidaya sangat bernafsu ingin menguasai Sudan melalui agen dan antek-anteknya. Dengan watak kapitalisme-nya, Amerika siap mengerahkan segala kekuatan dan dominasinya serta tentu dengan menghalalkan segala cara. Sebagaimana yang selalu ia lakukan, baik di Irak, Afghanistan, Palestina, maupun negara kaum muslimin lainnya.
Solusi Tuntas
Genosida di Darfur membuktikan bahwa sejak diruntuhkannya Khilafah Islam pada 1924, umat Islam terpecah belah menjadi lebih dari 50 negara dan terus menjadi objek kekejaman. Solusi terbaik dan paripurna adalah menegakkan persatuan dan kepemimpinan global di bawah naungan Khilafah.
Khilafah bukan sekadar sistem politik, tapi perisai umat. Dengan khilafah, darah kaum Muslim dilindungi, kehormatan dan harta dijaga, serta hukum Allah ditegakkan secara sempurna.
Sebaliknya tanpa khilafah, negeri-negeri Islam hanyalah seperti tubuh tanpa kepala, seperti hidangan yang diperebutkan oleh kaum yang tamak dan rakus. Tanpa khilafah, umat Islam terus terombang-ambing bagaikan buih di lautan.
Rasulullah Shalallahu alaihi wa Sallam bersabda dalam riwayat Ibnu Majah, “…. Jika para pemimpin mereka tidak memerintah berdasarkan Kitab Allah dan tidak mencari kebaikan dari apa yang diturunkan Allah, niscaya Allah akan menjadikan mereka berperang satu sama lain.” Wallahu a’lam bish shawab.