AMERIKA SERIKAT (jurnalislam.com)- Amerika Serikat dilaporkan menghentikan operasi militernya di Yaman setelah menghadapi tekanan dari sistem pertahanan udara canggih milik kelompok Houthi. Salah satu insiden yang paling mencolok adalah serangan yang nyaris mengenai jet tempur siluman F-35 milik AS.
Menurut laporan The New York Times pekan ini, kelompok Houthi berhasil menembak jatuh sedikitnya tujuh pesawat nirawak MQ-9 Reaper milik AS masing-masing bernilai sekitar 30 juta dolar AS atau setara Rp480 miliar. Mereka juga hampir mengenai jet tempur F-16 dan F-35, dua aset utama Angkatan Udara AS. Insiden tersebut memicu kekhawatiran serius di internal Komando Pusat AS (CENTCOM) dan mendorong peninjauan ulang strategi keterlibatan militer di kawasan tersebut.
Pada 6 Mei 2025, AS secara resmi mengakhiri operasi pengeboman bernama Operation Rough Rider yang telah berlangsung sejak Maret. Penghentian operasi ini merupakan hasil gencatan senjata yang dimediasi oleh Oman antara AS dan kelompok Houthi.
Gencatan senjata tersebut mencakup komitmen Houthi untuk menghentikan serangan terhadap kapal-kapal AS di Laut Merah, Selat Bab al-Mandab, dan Teluk Aden. Sebelumnya, sejak November 2023, kelompok tersebut melancarkan serangan rudal dan drone terhadap kapal-kapal komersial yang mereka tuduh terkait dengan Israel, sebagai bentuk solidaritas terhadap Palestina di tengah agresi militer Israel di Gaza.
The New York Times juga mengungkapkan bahwa dua jet tempur F/A-18 Super Hornet milik AL AS masing-masing senilai 67 juta dolar AS atau sekitar Rp1,07 triliun jatuh secara tidak sengaja dari kapal induk saat operasi berlangsung. Kerugian besar inilah yang disebut turut mempercepat keputusan Washington untuk mengakhiri keterlibatan militernya.
Di sisi diplomatik, Utusan Timur Tengah AS, Steve Witkoff, dilaporkan melakukan pembicaraan tidak langsung dengan Houthi melalui Oman. Gencatan senjata yang diumumkan secara tiba-tiba ini diklaim sebagai keberhasilan oleh kedua pihak. Gedung Putih menyatakan bahwa operasi militer mereka telah memaksa Houthi menghentikan serangan, sementara Houthi mengklaim bahwa AS gagal mencapai tujuannya dan akhirnya memilih mundur dari konflik.
Laporan itu juga menyinggung bahwa sebagian anggota tim keamanan nasional Presiden Donald Trump saat itu meremehkan kemampuan Houthi. Namun, laporan intelijen kemudian menunjukkan kelompok ini semakin tangguh dan sulit dilumpuhkan, termasuk dalam penggunaan sistem pertahanan udara serta strategi militer bawah tanah.
Selama 30 hari pertama operasi, AS telah menghabiskan lebih dari 1 miliar dolar AS atau sekitar Rp16 triliun, termasuk pengerahan kapal induk, jet tempur B-2, F-35, dan sistem pertahanan lainnya. Penggunaan besar-besaran amunisi presisi juga memicu kekhawatiran akan menipisnya stok senjata strategis AS.
Kepala negosiator Houthi, Mohammed Abdulsalam, menegaskan bahwa kesepakatan gencatan senjata dicapai melalui Oman, dan bahwa pihaknya hanya menghentikan operasi sebagai bentuk respons atas berhentinya serangan udara AS.
Sementara itu, pihak Gedung Putih maupun Presiden Trump belum memberikan tanggapan resmi atas laporan tersebut. (Bahry)
Sumber: TNA