LUMAJANG(Jurnalislam.com) – Pagi itu Sabtu 4 Desember 2021, suasana di Kampung Renteng RT06 RW06 Dusun Sumberwuluh Desa Candipuro Kecamatan Candipuro Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, sejuk seperti biasanya. Warga Kampung berpenduduk 15 KK itu pun memulai harinya penuh semangat. Ada yang pergi ke ladang, ke tambang, ada juga yang membuka tokonya mulai berdagang.
Nyanyian burung, riuh angin gunung disertai suara air dari aliran sungai memeriahkan suasana kampung.
Tampak jelas pula di sebelah utara, puncak Pulau Jawa berdiri tegak penuh wibawa. Gunung Semeru menjulang tinggi memanjakan mata.
Kampung Renteng terletak di antara dua aliran sungai lahar dingin Gunung Semeru. Untuk memasuki kampung ini, kita harus melewati jembatan sepanjang 10 meter yang berportal. Setiap harinya puluhan dump truck hilir mudik membawa pasir melewati kampung ini.
Warga Kampung Renteng kebanyakan bekerja sebagai pekerja tambang pasir. Karena memang lokasinya yang berada di aliran lahar dingin Gunung Semeru.
Namun pasca peristiwa Sabtu 4 Desember kelabu itu kampung Renteng membatu. Kampung yang asri itu kini menjadi kampung mati. Banjir pasir dan awan panas meluluhlantakan semua yang ada.
Kebun, sawah, rumah, semua hancur diterjang banjir pasir bercampur lumpur. Beku membatu. Nyaris tak ada yang tersisa selain asa.
Hanya ada satu rumah yang nyaris tak tersentuh amukan Semeru kala itu. Banjir lahar tak menampar satu pun ubin rumahnya, awan panas tak membakar sehelai pun daun pepohonan di halaman rumahnya.
Rumah itu milik Pak Wagiman, pria paruh baya yang telah tinggal di Kampung Renteng puluhan tahun lamanya.
Rumah berukuran 14×8 m2 itu tetap utuh di tengah puing-puing dan muntahan lahar.
Kondisi tersebut membuat siapapun yang melihatnya takjub. Belum ada alasan ilmiah yang bisa menjelaskan fenomena tersebut.
Profil Pak Roh
Pak Wagiman (55) adalah warga asal Madura yang sejak kecil sudah dibawa merantau ke Lumajang oleh orangtuanya.
Pak Wagiman juga merupakan warga pertama kali mendirikan rumah di wilayah RT06 RW06 Kampung Renteng. Sayang, Pak Wagiman tak terlalu mengingat tahun tepatnya. Informasi ini didapat dari anaknya dan dibenarkan oleh warga lainnya.
“Iya betul mas, dulu disini itu masih dipenuhi alang-alang, belum ada rumah sama sekali,” katanya saat ditemui Jurnislam di rumahnya.
Semula Pak Wagiman tinggal di Kampung Kebunagung, hanya terpaut 1km dari rumahnya sekarang. Tetapi ia terpaksa harus pindah karena ada konflik yang tak mau ia jelaskan.
“Iya dulu saya pernah diusir, tapi biarlah ndak perlu saya jelaskan, lalu saya membeli tanah disini,” tuturnya.
Berbekal modal seadanya, ia membeli sepetak tanah di dekat aliran sungai lahar dingin Gunung Semeru yang sekarang menjadi RT06 Kampung Renteng.
“Dulu rumah saya ini hanya 4×4 meter, saya bangun sendiri, bahannya dari bambu dan tinggal bertiga sama anak istri saya,” kenangnya.
Sejak itu, Pak Wagiman bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Pak Wagiman selalu memulai harinya dengan penuh semangat. Setelah doa terpanjat, ia mulai memanjat. Pria yang karib disapa Pak Roh itu sehari-hari mencari kelapa untuk dibuat gula. Kabupaten Lumajang juga dikenal dengan produsen gula nira kelapanya yang khas.
“Ya seperti biasalah, pagi-pagi sekitar jam 9 itu saya naik (pohon kelapa) sampai dzuhur, lalu sholat dan istirahat,” kata Pak Roh kepada Jurnalislam saat ditemui di rumahnya, Senin (13/12/2021).
“Nanti sore jam 3-an saya naik lagi. Jadi sehari itu saya naik dua kali, pagi sama sore” sambungnya.
Setelah tiga hari mencari kelapa dan mengumpulkannya, kemudian dia akan mengolahnya menjadi gula. Di hari keempat baru Pak Roh menjual gula buatannya.
Pak Roh tidak memiliki karyawan, ia hanya dibantu istri dan anaknya untuk memproduksi gula.
“Dari dulu memang saya ndak punya karyawan, bikinnya (gula) yaa sama istri dan anak saya saja,” ujarnya.
Sekali produksi, pak Roh bisa menghasilkan 30 hingga 40 kg gula merah bulat. Lalu ia jual ke pengepul.
“Yaa lumayan mas, sekali jual saya bisa dapat uang 800 ribu, jadi selama 4 hari itu keitung 200 ribu lah per hari, alhamdulillah,” kata Pak Roh.
Pak Roh memiliki 1 anak perempuan dan dua cucu. Semuanya tinggal satu rumah bersama Pak Roh di Kampung Renteng RT06 Dusun Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro. Anak semata wayangnya bernama Rohmah, dari situlah asal mula dia dipanggil Pak Roh.
“Jadi disini itu kebiasaannya gitu, nama anaknya dipakein jadi nama bapaknya. Nama anak saya kan Rohmah, saya jadi dipanggilnya Pak Rohmah atau Pak Roh,” jelasnya.
Dari hasil bisnis gulanya yang telah ia geluti selama 25 tahun itu, sekarang Pak Roh bisa membuat rumah dan membeli ladang seluas dua hektar yang ia tanami kopi, cengkeh dan pohon-pohon kayu sengon.
“Saya disini itu sudah sekitar 25 tahunan lebih lah. Yaa alhamdulillah, pelan-pelan saya kumpulkan uang, alhamdulillah saya bisa bangun rumah ini. Saya juga pelihara kambing, terakhir ada 16 ekor,” paparnya.
Kesaksian
Hari itu Sabtu (4/14), Pak Roh menjalani rutinitas seperti biasanya. Pagi-pagi dia metik kelapa dan pergi ke kebunnya hingga dzuhur.
Setelah sholat dan istirahat, sebelum Ashar Pak Roh kembali mencari pohon kelapa. Namun pada hari itu, Pak Roh memilih naik pohom kelapa di dekat rumahnya.
Ketika sedang berada diatas pohon kelapa, dia melihat ada asap tebal tebal dari arah utara. Dari atas pohon itu Pak Roh berteri sejadi-jadinya meminta warga untuk lari menjauh dari kampung.
“Waktu itu jam tiga, saya lagi diatas pohon, lalu melihat kok asapnya makin dekat, saya langsung minta warga untuk lari, Lari! Lari!,” teriak Pak Roh.
Ia pun turun dan mengajak istri dan keluarganya menyelamatkan diri. Laju asap yang sangat cepat membuat Pak Roh tak sempat menghindar lagi.
“Itu sekitar jam tiga, sudah gelap, saya langsung membawa istri saya menyelamatkan diri,” ungkapnya.
Kejadian itu berlangsung sangat cepat. Pak Roh dan semua keluarganya berhasil selamat. Ia lari ke arah timur menuju jalan raya.
“Alhamdulillah, 8 orang selamat semua,” kata Pak Roh.
Dua jam kemudian ia kembali ke kampung untuk melihat kondisi rumah. Tapi ketika masuk kampung, dia menyaksikan pemandangan mengerikan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
“Astagfirullohaladzim…, melihat kampung saya sudah hancur, itu nangis saya. Jadi kaya gunung, saya juga dengar banyak orang minta tolong dimana-mana,” kenangnya.
Dalam perjalanannya ke rumah, Pak Roh bersama warga lainnya turut membantu beberapa korban yang masih hidup.
“Sebelum masuk kampung, saya injak-injak dulu tanah (pasir) karena takut terperosok, itu masih anget tanahnya,” kata Pak Roh.
Namun ada satu orang yang tak mau dia tolong karena tidak tega. Pak Roh mendengar sahutan orang minta tolong dari atas pohon dengan kondisi kedua kakinya sudah hancur terkena lahar.
“Tolong… toloong… terus saya jawab kamu dimana, kamu dimana? Begitu saya lihat ternyata dia diatas pohon, saya tidak tega melihatnya, kakinya hancur dua-duanya, saya minta kawan-kawan saya untuk menurunkan,” paparnya.
Pak Roh juga membantu seorang sopir yang truknya terjebak lahar setinggi 2 meter. Foto kedua truk berwarna kuning yang terjebak lahar itu sudah viral di sosial media.
Setibanya di rumah, Pak Roh tak kuasa menahan airmata. Ia terkesima melihat kondisi rumahnya yang utuh seperti tidak terjadi apa-apa.
“Ya Alloh,” kata Pak Roh menangis sambil bersujud.
Bagaimana tidak, seluruh rumah di RT06 Kampung Renteng hancur sementara hanya rumahnya sendiri yang utuh.
Tidak hanya rumah, kandang dan kambing-kambing Pak Roh juga selamat dari terjangan lahar.
“Alhamdulillah kandang kambing saya juga utuh, 16 ekor kambing saya juga selamat semua hanya kena luka-luka bakar sedikit,” katanya.
Kambing-kambing itu sekarang sudah terjual. Ia titipkan kepada temannya penjual kambing.
“Saya jual dak peduli berapa harganya. Saya cuma dapat 12juta, kalau sehat saya bisa dapat 25 jutaan lah dari 16 ekor itu. Tapi biar lah dak apa-apa karena kambingnya juga banyak yang luka,” ungkap Pak Roh.
Saat menuturkan pengalamannya kepada saya, Pak Roh tak berhenti meneteskan airmata. Sembari sesekali tangan kirinya mengusap pipinya yang basah. Tatapannya kosong menatap langit dari jendela rumahnya.
Kendati demikian, Pak Roh khawatir muncul rasa ujub di dalam hatinya atas apa yang Allah anugerahkan kepadanya melalui peristiwa tersebut.
“Segala sesuatu itu milik Allah, semua akan kembali kepadaNya,” tuturnya.
Ketika ditanyakan tentang amalan harian apa yang suka dilakukan, Pak Roh diam kebingungan.
“Gak tahu saya, saya hanya menjalankan apa yang saya tahu saja. Sholat lima waktu, saya juga suka berdzikir setiap habis magrib,” ujarnya.
“Intinya mungkin banyak-banyak bertaubat, dan kalau berbuat baik itu gak usah diungkit-ungkit,” tutur Pak Roh.
Menurut penuturan anaknya, Rohmah (25), Pak Roh adalah orang yang senang memberi. Ia tak pernah perhitungan dalam urusan membantu oranglain.
“Kalau tetangga perlu apa, selagi ada pasti Bapak kasih. Gula misalnya, tetangga sini dak pernah membeli gula ke Bapak. Bapak kasih gitu aja. Ambil aja kalo mau, gitu katanya,” kata Rohmah kepada Jurnalislam.
“Bapak itu gak tegaan orangnya mas. Dulu waktu diusir saja dia gak dendam sama sekali, malah rumah orang yang ngusir itu dia beli dan rumahnya dia kasihkan lagi,” kenang Rohmah.
Warga sekitar pun mengenal sifat baik Pak Roh yang gemar bersedekah. Seperti dikatakan Pak Yogi, warga kampung Kebunagung.
“Iya warga sini kenal semua dengan Pak Roh, beliau memang orang baik. Beliau suka membantu orang jika membutuhkan,” ujarnya.
Pak Rohmah bersama keluarganya untuk saat ini tinggal di rumah saudaranya di Kampung Kebunagung. Tapi setiap hari dia selalu mendatangi rumahnya di Kampung Renteng. Anak dan menantunya pun masih bolak-balik membawa barang-barang dari dalam rumah.
Bahkan rumah Pak Roh kini menjadi tempat istirahat para relawan selama masa evakuasi.
Meskipun rumahnya masih sangat layak untuk ditempati lagi, tetapi Pak Roh akan mengikuti anjuran pemerintah seandainya Kampung Renteng harus direlokasi.
“Yaa saya manut saja kepada Bapak Pemerentah, tapi kalau diizinkan, saya akan memilih untuk tinggal di rumah ini saja, meskipun harus kembali memulai sendiri,” ungkapnya.
Secara materi, Pak Roh tidak mendapat kerugian yang berarti. Semua asetnya masih utuh.
“Hanya kebon saja yang di gunung sana sekarang tinggal separuhnya (1 hk),” ujarnya.
Dulu rumah Pak Roh ini adalah rumah pertama di Kampung Renteng, kini rumah Pak Roh juga menjadi satu-satunya rumah yang tersisa setelah diterjang lahar Semeru.
Penulis: Ali M Abduh