Pemerintah Libanon membatalkan kebijakan pintu terbuka terhadap “tetangganya,” (pengungsi Suriah-red) dan menuntut visa masuk untuk pertama kalinya.
LIBANON (Jurnalislam.com) – Setelah beberapa tahun menggelepar atas krisis pengungsi Suriah, kepemimpinan politik Libanon yang mudah goyah telah memicu kemarahan publik dengan keputusan membendung gelombang yang telah membawa 1,5 juta orang pengungsi perang di perbatasan. Di bawah pembatasan yang diberlakukan Senin (5/1/2015), rakyat Suriah mengungsi dari negeri mereka dengan tidak lagi diberi jaminan bebas untuk memasuki Libanon tanpa visa yang sah dan membatalkan kebijakan "pintu terbuka" untuk tetangganya yang telah ada sejak tahun 1943.
Perubahan kebijakan telah lama ada dalam pengambilan keputusan di Libanon, di mana kekhawatiran kian membesar bahwa krisis pengungsi permanen lainnya yang menyerupai eksodus Palestina tahun 1948, bisa terulang. Lebih dari 400.000 warga Palestina masih tinggal di perkemahan kumuh yang dikelola PBB di seluruh negeri. Hampir tujuh dekade lamanya setelah dahulu diusir dari rumah-rumah tempat tinggal mereka yang sekarang dirubah menjadi “negara” Israel.
Dalam beberapa bulan terakhir, tiang Libanon sepertinya mulai melengkung dengan beban tambahan dari "tamu-tamu" Suriah, yang hampir 1 dari 4 orang warga Suriah tinggal di Libanon saat ini. Banyaknya pengungsi telah “menjengkelkan” masyarakat setempat, ketika orang-orang Suriah mengambil beragam pekerjaan berupah rendah, menyesakkan kota, dan terlalu membebani infrastruktur air dan listrik, yang mana Libanon pun merasa sangat kekurangan. Sementara itu, kekerasan yang meluap dari perang Suriah dan laporan-laporan tentang warga Suriah yang bergabung dengan berbagai faksi seperti Al-Qaeda dan kelompok ekstrim yang memusuhinya ISIS, telah mengubah gambaran pengungsi di Libanon "dari korban menjadi ancaman potensial," kata Lina Khatib, direktur Carnegie Middle East Center di Beirut. "Ini menjadi sedemikian rupa sehingga pemerintah tidak mampu untuk mengabaikannya lagi."
Libanon adalah negara tuan rumah terbaru yang memprotes beban pengungsinya, yang telah membengkak disaat bantuan internasional berkurang. Yordania telah meningkatkan penutupan perbatasan utaranya dengan Suriah, menjebak kerumunan calon pengungsi dalam sebuah zona perang, dan baru-baru ini memotong pelayanan kesehatan kepada sekitar 700.000 orang Suriah yang telah ditampung di berbagai kota besar dan kota kecil. Kepadatan-kepadatan serupa telah terjadi pula di sepanjang perbatasan Suriah dengan Turki.
Pemerintahan regional melihat ke Yordania, sebuah mayoritas "negeri pengungsi," Palestina di mana banyak kamp yang dikelola oleh PBB telah lama tumbuh menjadi tempat tinggal permanen disekitar ibukota Amman atau bahkan menjadi kota-kota yang mandiri. Dengan perang Suriah, hal tersebut tumbuh lebih kompleks lagi dibarengi kemunculan ISIS dengan segala sepak terjangnya, maka ketakutan di Libanon kian bertambah.
Itulah salah satu alasan mengapa Libanon menolak untuk menggolongkan pengungsi Suriah sebagai "pengungsi," tapi lebih memilih untuk memanggil mereka naziheen (orang-orang yang berpindah). Mereka sangat kekurangan di kamp pengungsian, warga Suriah di Libanon sering berlindung di gedung-gedung yang ditinggalkan atau perkemahan darurat yang memberikan sedikit perlindungan dari cuaca.
Namun kecemasan paling besar dari Libanon yaitu berhubungan kembali ke perang saudara di negara itu, yang dilatarbelakangi dari ketidakpuasan militerisasi warga Palestina di kamp-kamp pengungsi Libanon, yang mana menjadi sasaran penyerangan Israel serta invasi besar-besaran dan pada akhirnya pembantaian terhadap umat Islam disana.
Pemisahan-pemisahan yang mudah menguap itu telah diperdalam sebagai akibat dari perang di tetangganya itu, dengan kelompok Syiah Hizbullah Libanon yang berpengaruh mengirimkan para milisi untuk bertempur di sisi rezim Bashar al-Assad. Kaum Syiah dan banyak orang Kristen di Libanon khawatir bahwa kaum Sunni (umat Islam-red), yang sebagian besar menentang Assad, bisa memanfaatkan masuknya lebih dari satu juta warga Sunni Suriah untuk mengganggu keseimbangan sektarian halus negara .
Di utara Libanon telah menyaksikan gemuruh hebat dari kekerasan yang tumpah, dibubuhi oleh penembakan membabi buta, penculikan dan adu tembak yang menewaskan puluhan tentara Libanon. Berbagai laporan “bertambahnya” dukungan warga Suriah untuk kelompok-kelompok ekstremis seperti ISIS telah memacu rakyat Libanon untuk menumbuhkan permusuhan, dalam beberapa kasus terjadi tindakan anarkis terhadap warga Suriah yang tinggal di lingkungan mereka, dan kebanyakan pelakunya adalah kaum Syiah.
Dalam timbulnya pergeseran kebijakan minggu ini, beberapa analis mengatakan Libanon telah menjadi korban paranoia (ketakutan yang berlebihan). Dawn Chatty, mantan direktur Pusat Studi Pengungsi Universitas Oxford dan penulis beberapa buku tentang pengungsi di Timur Tengah, menolak anggapan bahwa warga Suriah sedang digunakan sebagai pion dalam sistem politik Libanon. "Mereka tidak memilih, mereka benar-benar tidak memiliki dampak dalam perpolitikan Libanon," katanya. "Anda mendengar jenis kekhawatiran yang sama dijajakan di tahun 70-an, tapi bahkan kemudian perang saudara benar-benar lebih dari sekedar tentang memiskinkan rakyat Libanon. "
Chatty mencatat bahwa pembatasan baru, yang masih akan menyediakan pengobatan medis bagi warga Suriah, visa kerja dan pemilik tanah untuk menyeberang, bisa menyulitkan secara logistic untuk dilaksanakan. Pejabat pemerintah juga menggarisbawahi bahwa masih akan ada pengecualian kemanusiaan terhadap peraturan untuk warga Suriah yang paling rentan, meskipun mereka tidak merincikannya .
Dengan cara apapun, para pengamat mengatakan pengumuman secara luas perubahan ke arah kebijakan garis keras pada pengungsi Suriah mungkin menjadi bumerang. Berlipat-gandanya kesulitan hebat warga Suriah, yang kebanyakan bekerja sebagai buruh harian lepas dengan keterbatasan akses ke pendidikan, lebih mungkin daripada tidak memperburuk ketegangan di dalam masyarakat setempat.
Sebaliknya, ia mendesak koordinasi yang lebih baik antara pemerintah pusat dan daerah, dengan tujuan untuk membendung aliran uang bantuan masuk ke kantong politisi korup, uang yang dimaksudkan untuk pengungsi dan masyarakat tuan rumah mereka.
Tapi sementara harapan untuk mengakhiri perang Suriah tetap suram, membandingkannya dengan krisis Palestina adalah terlalu dini, kata Chatty, yang baru saja kembali dari Libanon beberapa minggu lalu. "Persoalan Palestina, negara mereka menghilang (dirampas Israel), mereka menjadi “tak bernegara” untuk selamanya. Sedangkan Suriah, masih ada harapan yang kuat untuk kembali," ungkapnya.
Diolah dari beragam sumber.
Faris | Jurniscom