Washington (Jurnalislam.com) – Aktivis Uighur di AS menandai “hari kemerdekaan” komunitas mereka dengan aksi protes dan pawai di ibukota AS pada hari Selasa (13/11/2018).
Tanggal 12 November adalah ulang tahun ke-74 dan ke-85 dari dua republik Uighur yang hanya berumur pendek, yang dikenal sebagai Turkestan Timur, yang didirikan di wilayah yang kini menjadi bagian dari China.
Mereka yang hadir di acara yang diselenggarakan oleh Gerakan Kebangkitan Nasional Turkistan Timur (the East Turkistan National Awakening Movement) tersebut termasuk Rebiya Kadeer, salah satu warga Uighur terusir yang paling terkenal di dunia dan mantan presiden Kongres Uyghur Dunia (the World Uyghur Congress).
Dengan membawa bendera Amerika Serikat dan Turkestan Timur, para aktivis di luar Gedung Putih meminta AS untuk menekan China agar menghentikan penganiayaan terhadap minoritas Muslim.
Meskipun laporan tentang pelecehan terhadap warga Uighur sudah ada sejak lebih dari satu dekade, penganiayaan terhadap kelompok minoritas berbahasa Turki tersebut tahun lalu semakin intensif.
PBB mengkritik Cina karena menahan sekitar satu juta Muslim di kamp-kamp konsentrasi di mana mereka harus tunduk pada indoktrinasi politik dan budaya. Dalam laporannya dikatakan sekitar dua juta orang telah menjalani kamp-kamp di beberapa titik.
Baca juga:
-
China Tolak Vonis Sanksi AS atas Diskriminasi Muslim Uighur
-
Ribuan Muslim Uighur Disekap di Tempat Penahanan Rahasia China
-
Pemerintah China Paksa Muslim Uighur Mengutuk Islam
-
Takut Penduduk Uighur Bergabung pada Kelompok Bersenjata, China Rencanakan Ini
China juga dilaporkan memaksa orang Uighur untuk melepaskan keyakinan Islam mereka dan menghapuskan budaya yang membuat mereka berbeda dari mayoritas etnis Han di negara itu.
Pihak berwenang China melarang puasa Ramadhan, juga kelas-kelas Al-Quran untuk anak-anak muda.
Warga Amerika-Uighur Aydin Anwar mengatakan kepada Al Jazeera bahwa China berusaha untuk “menghapus” identitas Muslim Uighur.
“China telah menempatkan sedikitnya tiga juta orang di kamp-kamp konsentrasi,” katanya, menambahkan, “Di kamp-kamp ini mereka dipaksa untuk meninggalkan Islam, mengadopsi ateisme, dan berjanji setia kepada negara China.”
Memandang ke kerumunan orang di sekitarnya, Anwar mengatakan semua yang hadir memiliki sedikitnya satu kerabat yang ditahan di kamp.
“Suami bibiku punya lebih dari 70 kerabat di kamp dan penjara, dan salah satu dari mereka benar-benar terbunuh akibat suntikan mematikan di kamp-kamp.
“Bahkan kehidupan di luar kamp-kamp ini juga tidak lebih baik. Mempraktikkan Islam benar-benar dilarang; berdoa, berpuasa, memakai janggut, memakai jilbab … bahkan menamai bayi Anda dengan nama Islam.”
Ketika dimintai komentar, seorang juru bicara Kedutaan Besar China di Washington, DC mengarahkan Al Jazeera untuk mengutip wawancara media negara dengan Shohrat Zakir, ketua pemerintah Xinjiang.
Dalam artikel itu, Zakir berusaha menempatkan perlakuan Tiongkok terhadap orang-orang Uighur sejalan dengan “Perang Internasional Melawan Terorisme” yang lebih luas.
Dia lebih lanjut menggambarkan kamp-kamp tersebut sebagai “lembaga pelatihan kejuruan” yang bertujuan, “mempelajari bahasa umum negara itu, pengetahuan hukum, keterampilan kejuruan, bersama dengan pendidikan de-ekstremasi, sebagai konten utama, dengan meraih pekerjaan sebagai arah utama.”
Bilal Ibrahim Turkistani memperoleh suaka di AS pada tahun 2011 setelah mengamankan visa untuk masuk ke konferensi yang diselenggarakan oleh orang-orang buangan Uighur. Dia mengatakan kepada Al Jazeera bahwa AS adalah salah satu dari beberapa pendukung Uighur dan dia berharap legislator akan meningkatkan dukungan bagi orang-orang Uighur.
“Kami meminta politisi untuk mengambil tindakan di Kongres, untuk tidak meninggalkan kami,” katanya.
Uighur mendapat dukungan dari pejabat senior AS.
Wakil Presiden Mike Pence mengecam Cina atas pelanggarannya terhadap Muslim dan minoritas lainnya, seperti yang dilakukan Nikki Haley, mantan duta besar AS untuk PBB.
Senator Republik Marco Rubio juga melobi Departemen Luar Negeri AS untuk mengambil tindakan terhadap China atas pelanggarannya terhadap orang-orang Uighur dan menggambarkan perilaku Beijing sebagai “sakit”.
Mereka yang hadir pada pertemuan itu mengatakan negara-negara enggan berbicara karena dampak ekonomi China yang ekspansif.
Ada kemarahan tertentu yang ditujukan pada negara-negara berpenduduk Muslim karena respons mereka yang tampak malu-malu terhadap laporan-laporan kebiadaban China terhadap orang-orang Muslim Uighur.
Cendekiawan Muslim Amerika, Omar Suleiman, menggambarkan respon dunia Muslim terhadap keadaan kaum Uighur sebagai “pengabaian total”.
“Mereka disiksa secara ironis oleh China karena dinilai terlalu Muslim sementara dunia Muslim tampaknya tidak melihat mereka sebagai Muslim yang cukup untuk diperjuangkan,” katanya kepada Al Jazeera.
“China bergantung pada perdagangan dan negaranya, termasuk AS, perlu memaksakan tekanan ekonomi yang diperlukan untuk menghentikannya dari melanjutkan penindasan ini.”