Shalat Gerhana: Hukum, Waktu dan Tata Caranya

Shalat Gerhana: Hukum, Waktu dan Tata Caranya

JURNALISLAM.COM – Gerhana matahari dan bulan merupakan fenomena alam yang tidak seperti biasanya, maka Allah Ta’ala mensyariatkan atas kita melalui lisan Nabi-Nya Shallallahu Alaihi Wasallam untuk melaksanakan shalat gerhana. Pada gerhana matahari biasanya disebut dengan shalat kusuf, sedangkan pada gerhana bulan dengan shalat khusuf. Namun terkadang kedua nama tersebut memiliki arti yang sama. Artinya kusuf bisa digunakan untuk gerhana matahari dan bulan, begitu juga khusuf.

Hukum Shalat Gerhana

Para ulama sepakat bahwa shalat gerhana, termasuk shalat gerhana matahari (kusuf) adalah sunnah muakad (sangat dianjurkan), baik untuk laki-laki maupun perempuan.

Waktu Shalat Gerhana

Waktu untuk mengerjakan shalat gerhana adalah antara sejak mulainya gerhana hingga gerhana berakhir (matahari/bulan kembali ke kondisi semula)

Tata Cara Shalat Gerhana

Shalat gerhana, baik gerhana bulan maupun matahari, lebih utama dikerjakan secara berjamaah, meskipun menunaikannya secara berjamaah bukan termasuk syarat utama syahnya shalat tersebut. Ketika menjelang pelaksanaan shalat gerhana, hendaklah muadzin mengumandangkan lafazh “Ash shalaatu jaami’ah”.

Jumhur ulama mengatakan bahwa shalat gerhana dilakukan sebanyak dua rakaat. Setiap rakaat harus dilakukan dua kali ruku’. Tidak ada perselisihan di antara ulama, shalat gerhana dikerjakan dua rakaat. Dan pendapat yang masyhur dari pelaksanaannya adalah pada setiap rakaatnya dua kali berdiri, dua kali bacaan, dua kali ruku’, dan dua kali sujud. Ini adalah pendapat Imam Malik, Imam al-Syafi’i, dan Imam Ahmad rahimahumullah.

خَسَفَتِ الشَّمْسُ فِى حَيَاةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِلَى الْمَسْجِدِ فَقَامَ وَكَبَّرَ وَصَفَّ النَّاسُ وَرَاءَهُ فَاقْتَرَأَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قِرَاءَةً طَوِيلَةً ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ. ثُمَّ قَامَ فَاقْتَرَأَ قِرَاءَةً طَوِيلَةً هِىَ أَدْنَى مِنَ الْقِرَاءَةِ الأُولَى ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً هُوَ أَدْنَى مِنَ الرُّكُوعِ الأَوَّلِ ثُمَّ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ. ثُمَّ سَجَدَ – وَلَمْ يَذْكُرْ أَبُو الطَّاهِرِ ثُمَّ سَجَدَ – ثُمَّ فَعَلَ فِى الرَّكْعَةِ الأُخْرَى مِثْلَ ذَلِكَ حَتَّى اسْتَكْمَلَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ وَأَرْبَعَ سَجَدَاتٍ وَانْجَلَتِ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَنْصَرِفَ ثُمَّ قَامَ فَخَطَبَ النَّاسَ فَأَثْنَى عَلَى اللَّهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ قَالَ إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لاَ يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهَا فَافْزَعُوا لِلصَّلاَةِ

Pada saat Nabi hidup, terjadi gerhana matahari. Rasulullah keluar ke masjid, berdiri dan membaca takbir. Orang-orang pun berdatangan dan berbaris di belakang beliau. Beliau membaca surat yang panjang. Selanjutnya beliau bertakbir dan ruku’. Beliau memanjangkan waktu ruku’ hampir menyerupai waktu berdiri. Selanjutnya beliau mengangkat kepala dan membaca “Sami’allaahu liman hamidah, rabbanaa walakal hamdu”. Lalu berdiri lagi dan membaca surat yang panjang, tapi lebih pendek daripada bacaan surat yang pertama. Kemudian beliau bertakbir dan ruku’. Waktu ruku’ ini lebih pendek daripada ruku’ pertama. Setelah itu beliau sujud. Pada rakaat berikutnya, beliau melakukan perbuatan yang sama hingga sempurnalah empat ruku’ dan empat sujud. Setelah itu matahari muncul seperti biasanya, yaitu sebelum beliau pulang ke rumah. Beliau terus berdiri dan menyampaikan khutbah, memuji Allah dengan puji-pujian yang layak bagi-Nya. Tak lama kemudian, beliau bersabda, “Sesungguhnya matahari dan bulan merupakan dua tanda kekuasaan Allah Azza wa Jalla. Terjadinya gerhana matahari atau bulan itu bukanlah karena kematian seseorang atau kehidupannya. Oleh karena itu, jika kau menyaksikan gerhana bergegaslah untuk mengerjakan shalat.” (HR. Muslim)

Ibnu Abbas juga meriwayatkan hadits shalat gerhana sebagaimana dicantumkan Imam Al Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab shahih beliau:

عنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ انْخَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – ، فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – ، فَقَامَ قِيَامًا طَوِيلاً نَحْوًا مِنْ قِرَاءَةِ سُورَةِ الْبَقَرَةِ ، ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً ، ثُمَّ رَفَعَ فَقَامَ قِيَامًا طَوِيلاً ، وَهْوَ دُونَ الْقِيَامِ الأَوَّلِ ، ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً ، وَهْوَ دُونَ الرُّكُوعِ الأَوَّلِ ، ثُمَّ سَجَدَ ، ثُمَّ قَامَ قِيَامًا طَوِيلاً وَهْوَ دُونَ الْقِيَامِ الأَوَّلِ ، ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً ، وَهْوَ دُونَ الرُّكُوعِ الأَوَّلِ ، ثُمَّ رَفَعَ فَقَامَ قِيَامًا طَوِيلاً ، وَهْوَ دُونَ الْقِيَامِ الأَوَّلِ ، ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً ، وَهْوَ دُونَ الرُّكُوعِ الأَوَّلِ ، ثُمَّ سَجَدَ ، ثُمَّ انْصَرَفَ وَقَدْ تَجَلَّتِ الشَّمْسُ ، فَقَالَ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ

Dari Abdullah bin Abbas, bahwa pada suatu hari terjadi gerhana matahari. Lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berdiri untuk mengerjakan shalat. Beliau berdiri lama sekali, kira-kira sepanjang bacaan surat Al-Baqarah, kemudian beliau ruku’ juga sangat lama. Lalu berdiri kembali dengan waktu yang sangat lama, tetapi lebih pendek dibandingkan dengan waktu berdiri yang pertama tadi. Kemudian beliau ruku’ lagi yang lamanya lebih pendek daripada ruku’ pertama. Lalu beliau sujud. Selanjutnya beliau berdiri lagi dan waktu berdirinya sangat lama hingga hampir menyamai rakaat pertama. Setelah itu beliau ruku’ dan lamanya hampir sama dengan ruku’ yang pertama. Lalu berdiri lagi, tetapi lebih pendek dibanding dengan berdiri yang pertama. Kemudian ruku’ lagi yang lamanya lebih pendek daripada ruku’ pertama, dan kemudian sujud. Setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat, matahari telah kembali normal seperti biasa. Beliau bersabda, “Sesungguhnya matahari dan bulan itu adalah dua tanda kekuasaan Allah. Terjadinya gerhana matahari dan bulan itu bukanlah karena kematian atau kehidupan seeorang. Maka jika engkau melihatnya, ingatlah dan berzikirlah kepada Allah” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibnu Abdil Barr mengatakan, “dua hadits di atas adalah hadits paling shahih mengenai shalat gerhana.”

Ibnu Qayyim mengatakan, “Hadits yang shahih, sharih, dan dapat dipakai sebagai pegangan dalam masalah shalat gerhana adalah dengan mengulangi ruku’ setiap rakaat, berdasarkan hadits Aisyah, Ibnu Abbas, Jabir, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Amr bin Ash, dan Abu Musa Al Atsari. Semua meriwayatkan hadits dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bahwa ruku’nya diulang dua kali dalam tiap raka’at. Para perawi yang meriwayatkan berulangnya ruku’ itu lebih banyak jumlahnya, lebih dapat dipercaya, dan lebih erat hubungannya dengan Rasulullah jika dibandingkan dengan perawi-perawi yang mengatakan tidak perlu melakukan ruku’ secara berulang-ulang. Begitu pula pendapat mazhab Maliki, Syafi’i, dan Ahmad. Tetapi Abu Hanifah berpendapat bahwa shalat gerhana itu adalah dua rakaat dan mengerjakannya seperti shalat Hari Raya atau Shalat Jum’at.
Jadi dapat diringkas dari tata cara pelaksanaan shalat gerhana sebagai berikut:

  1. Bertakbir, membaca istiftah, Isti’adzah, al-Fatihah, kemudian membaca surat yang panjang, setara surat Al-Baqarah.
  2. Ruku’ dengan ruku’ yang panjang (lama).
  3. Bangkit dari ruku’ dengan mengucapkan Sami’Allahu LIman Hamidah, Rabbanaa wa Lakal Hamd.
  4. Tidak langsung sujud, tetapi membaca kembali surat Al-Fatihah dan surat dari Al-Qur’an namun tidak sepanjang pada bacaan sebelumnya.
  5. Ruku’ kembali dengan ruku’ yang panjang tapi tidak sepanjang yang pertama.
  6. Bangkit dari ruku’ dengan mengucapkan, Sami’Allahu LIman Hamidah, Rabbanaa wa Lakal Hamd.
  7. Sujud, lalu duduk di antara dua sujud, kemudian sujud kembali.
  8. Kemudian berdiri untuk rakaat kedua, dan caranya seperti pada rakaat pertama tadi.

Catatan:

* Disunnahkan pelaksanaan shalat gerhana di masjid, tidak ada azan atau iqomah sebelumnya, hanya panggilan “Al-Shalatul Jami’ah.”

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, “Bahwa telah terjadi gerhana matahari di zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam lalu beliau mengutus seorang untuk menyeru “Al-Shalatul Jami’ah,” maka mereka berkumpul dan beliau maju bertakbir dan shalat dua rakaat dengan empat ruku’ dan empat sujud.” (HR. Muslim)

Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr, ia mengatakan: “Ketika terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, diserukan “Al-Shalatul Jami’ah”. (HR. Al-Bukhari)

* Disunnahkan Imam untuk memberikan nasihat kepada manusia dengan berkhutbah setelah shalat, memperingatkan mereka agar tidak lalai dan memerintahkan mereka supaya memperbanyak doa, istighfar, dan amal shalih. Hal ini didasarkan pada hadits ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, “Ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sudah selesai dari shalat, beliau berdiri dan berkhutbah kepada jama’ah. Beliau memuji Allah dan menyanjungnya. Kemudian beliau mengatakan,

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا ثُمَّ قَالَ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ وَاللَّهِ مَا مِنْ أَحَدٍ أَغْيَرُ مِنْ اللَّهِ أَنْ يَزْنِيَ عَبْدُهُ أَوْ تَزْنِيَ أَمَتُهُ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ وَاللَّهِ لَوْ تَعْلَمُونَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيلًا وَلبَكَيْتُمْ كَثِيرًا

Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang dan tidak pula karena hidupnya seseorang. Maka jika kalian melihatnya bersegeralah berdoa kepada Allah, bertakbirlah, shalat dan bersedekahlah. Kemudian beliau bersabda: Wahai Umat Muhammad, demi allah, tidak ada seorangpun yang lebih pencemburu daripada Allah. (Dia cemburu) hamba sahaya laki-laki dan hamba sahaya perampuan-Nya berzina. Wahai umat Muhammad, demi Allah kalau saja kalian tahu apa yang aku ketahui niscaya kalian sedikti tertawa dan banyak menangis.” (HR. Al-Bukhari)

Demikian, pembahasan shalat gerhana, baik hukum, waktu maupun tata caranya, Wallahu alam bishowab.

 

Sumber : Fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq , Ibnul Hajar dalam Fath al-Baari, Bab Shadaqah fi al-Kusuf.

Bagikan