JAKARTA (Jurnalislam.com) – Pemerhati Timur Tengah, Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi mengatakan, pemindahan kedutaan AS ke Al Quds sekaligus menjadikannya ibukota baru Israel sudah sejak lama direncanakan.
“Dari Clinton, George Bush dan Obama terakhir itu masih berpikir ulang akan dinamika politik global di Timur Tengah kalau sampai dipindahkan,” kata Ketua Divisi Kajian Global Centre for Islamic and Global Studies (CIGS) itu kepada Jurnalislam.com, Kamis (7/12/2017).
Namun di tangan Donald Trump rencana itu akhirnya diwujudkan. Menurut Pizaro, salah satu alasannya adalah balas budi Trump kepada Israel atas kemenangannya menjadi Presiden Amerika ke 45 dalam pemilu 2016 lalu. Partai Republik yang merupakan partai pengusung Donald Trump dikenal mempunyai hubungan dekat dengan Israel.
“Nah ini mungkin salah satu utang yang dibayar Donald Trump dengan memindahakan kedutaan dari Tel Aviv ke Yerusalem, ini sebenarnya hanya langkah awal pengakuan akan eksitensi Yerusalem sebagai ibukota Israel jadi ada semacam hutang budi gitu,” papar Pizaro yang juga menjabat Sekjen Jurnalis Islam Bersatu (JITU) itu.
Lemahnya tekanan negara-negara Muslim juga dinilai Pizaro sebagai salah satu sebab Israel semakin berani bertindak. Arab Saudi misalnya, dalam beberapa hal Saudi justru sejalan dengan kepentingan Israel seperti ketika Saudi menetapkan Hamas sebagai organisasi teror.
“Ketika saudi menetapkan Hamas sebagai teroris itu disambut baik oleh Israel, diaplause, dan menganggap ini sebagai bukti bahwa Saudi dan Israel tidak ada apa-apa. Jadi Israel juga melihat kelemahan beberapa negara-negara muslim tidak punya kekuatan berhadapan dengan Israel,” imbuhnya.
Kecam Presiden AS, PBNU: Yerussalem Ibukota Palestina

Adapun negara-negara yang dinilai paling depan membela rakyat Palestina seperti Turki dan Qatar pun terus dilemahkan. Turki tidak bisa jalan sendiri tanpa dukungan negara-negara yang tergabung di OKI. Begitu juga Qatar yang justru diboikot oleh negara-negara muslim lainnya seperti Bahrain, Uni Emirat Arab, Mesir dan Arab Saudi.
“Disinilah Israel muncul tampil berani di tengah tercerai-berainya bangsa-bangsa arab dan negara teluk yang seharusnya menjadi penyangga paling depan terhadap perjuangan bangsa Palestina,” kata Pizaro.
Lebih lanjut Pizzaro menjelaskan, pengakuan Al Quds sebagai ibukota Israel harus direspon cepat oleh umat Islam. Sebab, kata dia, Al Quds merupakan kota suci tiga agama Islam, Kristen dan Yahudi dan Resolusi 476 DK PBB tahun 1980 telah menetapkan bahwa daerah itu harus disterilkan dari pendudukan Israel.
Dengan pengakuan Trump tersebut, lanjut Pizaro, Al Quds akan berubah menjadi kota politik dan menjadi milik kaum Yahudi sepenuhnya.
“Nah ini seharusnya kaum muslimin sudah bergerak melakukan gerakan massa, melakukan aksi, tuntutan, menggiring opini, hingga Israel dan AS itu mencabut keputusannya sebagaimana dulu umat Islam melakukan aksi massa menolak blokade Al Aqsha dan Israel mendapat tekanan kuat dari berbagai negara dan dia mencabut blokadenya,” tutupnya.