Wisata Ruhani Hijrah Fest

Wisata Ruhani Hijrah Fest

Oleh : Rizki Lesus, Anggota Jurnalis Islam Bersatu (JITU)

“Sungguh sejauh apapun kehidupan menyesatkan, segelap apapun hitamnya jalan yang kutempuh, Tuhan selalu memanggil kami untuk pulang,”

Seorang artis kesohor, selebritas negeri ini tak kuasa menyembunyikan keharuannya. Matanya berkaca-kaca menyaksikan apa yang dilihatnya. Di hadapan ribuan orang, ia menahan agar air matanya tak tumpah.

Dirinya tak pernah menyangka, helatan bertema ‘hijrah’ ini mampu menyedot antusiasme dari para muda-mudi yang membanjiri Ibu Kota. Ada rasa yang sulit diungkapkan, sesuatu yang menggedor-gedor jiwanya. Perasaan yang mungkin dulu sangat sulit ia ungkapkan.

“Saya bahagia,” lirihnya singkat. Diusapnya air mata, dilanjutkannya berjalan-jalan – ditemani panitia bertopi hitam dan berompi bertulisan Protocol. Apa gerangan yang membuat sang artis begitu bahagia?

Jawaban ini boleh jadi kita temukan ketika kita merasakan sendiri suasana Hijrah Fest 2018 selama tiga hari (9-11/11/2018). Ribuan orang ini datang entah dari mana, berbaris rapi, melewati pintu yang dipisahkan antara lelaki dan perempuan.

Dibukanya alas kaki kita -laiknya masuk ke masjid-, hingga diberi tas cool sebelum kita masuk hall Jakarta Convention Center (JCC). Di dalamnya, beragam stand tentang feysen, NGO (baik kemanusiaan, lembaga zakat, wakaf, dll), produk halal – seperti kulkas halal, deterjen halal dan tentunya makanan-, dan masih banyak lainnya.

Ketika azan menggantung di langit-langit, beringsut took mini tersebut harus setop aktivitas dulu. Pernah, saking penuhnya, lorong-lorong stand tersebut dipakai juga sebagai tempat shalat- disamping tempat utama shalat di Hall B, ruang besar di depan panggung utama.

Pemandangan janggal di dalam sebuah ruang pertemuan umum.  Pertanyaan tentu kita lontarkan, apa sebenarnya yang membuat muda mudi ini datang? Acara ini bukan helatan seperti bioskop, konser atau semacam acara hiburan.

“Saya merasa tenang di sini,” kata seorang mantan personel band yang duduk di ruang besar hall B, menanti kajian dari para ustaz dan dai seperti Ustaz Abdul Somad, Ustaz Bachtiar Nasir, Ustaz Yusuf Mansur, ustaz Adi Hidayat, dan masih banyak lainnya.

Apakah karena ustaz mereka datang? Tampaknya tidak juga – bahkan ada yang datang karena ingin bisa bersua komunitas hijrah lainnya-. Agaknya memang sedikit membingungkan, membayangkan generasi milenial mengantre, berebut tiket dengan harga dua kali lipat bioskop.

“Saya dapat info tiket sudah habis. Tapi Alhamdulillah, tadi ada dermawan yang mebagikan gratis,” kata seorang wanita berjilbab stylish. Generasi milenial muslim- yang berusia antara 18 -34 ini- datang berduyun-duyun, ada sesuatu yang membuat mereka rasakan.

Seperti mantan personel band tadi, ada harapan akan ketenangan di tempat ini, selain tentunya kegembiraan yang sulit digambarkan laiknya artis kita tadi yang kembali ingin meneguhkan komitmennya untuk hijrah dengan materi-materi dari para guru mereka.

Belum lagi, ia bersua dengan pelbagai komunitas hijrah. Berkomunitas digital hingga offline adalah salah satu ciri khas generasi milenial. Melalui komunitas ini, gaung acara ini begitu cepat tersebar di dunia digital.

Saya yakin, seandainya tiket itu lebih mahal, bagi orang-orang yang ingin menemukan sebuah value, ia pasti akan datang. Hijrah fest, seperti menjadi sebuah tempat wisata baru, wisata ruhani.

“Mereka mencari spiritual value. Menariknya konsumen muslim Indonesia, semakin makmur mereka, semakin knowledgeable mereka, dan semakin technology savvy, justru mereka semakin religius,” kata Yuswohady dalam bukunya Marketing to Middle Class Moslem (2014).

Orang-orang yang disebut Yuswohady Gen @M ini, orang yang tech savvy, melek dengan dunia digital, terhubung dengan komunitas. Mereka mencari value,  nilai-nilai yang hanya bisa dirasakan secara personal.

Generasi milenial ini, kata Dr. Muhammad Faisal- yang telah meriset tentang pemuda di lembaganya Youth Lab- adalah generasi muslim Indonesia yang ingin berubah menjadi lebih baik, lebih saleh dan lebih dekat dengan agama. (lihat : Bukunya Generasi Phi : Memahami Milenial Pengubah Indonesia, 2018: hlm. 142 – 143).

Keterbukaan informasi, kajian-kajian daring yang dilakukan para ustaz – yang kebanyakan hadir di Hijrah Fest- mempertemukan mereka.”Mereka merasa bahwa menampilkan identitas keislamannya adalah penting dalam kehidupannya,” kata Yuswohady.

Maka, bukalah mata lebar-lebar menyaksikan generasi baru ini : muslim milenial Indonesia. Mereka yang bangga akan keislamannya dan ingin orang lain merasakan apa yang mereka rasakan. Gerakan ini akan terus tumbuh seiring bertumbuhnya kelas menengah muslim Indonesia.

Memang, dalam literatur lama dunia Islam, orang-orang muda yang berada di sekitar sang Nabi, tercatat orang-orang pertama yang memenuhi seruan sang Nabi untuk berislam.

Lihat saja remaja yang saat itu berusia 12 tahun bernama Zubari bin Awwam. Atau pemuda berusia 17 tahun yang bernama Saad Ibn Abi Waqash. Kita juga tahu orang-orang seperti Mush’ab Ibn Umair, Utsman Ibn Affan, hingga belakangan Umar Ibn Khattab.

Gerakan hijrah ini disambut luas oleh anak-anak muda, karena itulah fitrah. Ada sesuatu yang bergerak dalam hati ini, menyapa kita, mengetuk nurani, mengajak akal kita bertanya-tanya.

Berjuta pertanyaan muncul di benak anak-anak muda yang masih mencari identitas diri. Sampai suatu titik, ketika Allah berkehendak memberikan jalan-jalannya, kesempatan itu kembali ke diri kita.

Selalu ada jalan Tuhan untuk memanggil diri ini untuk kembali. Lihatlah bagaimana  Lihatlah bagaimana ketika Fir’aun berkata,”Saya adalah Tuhan kalian.” Di tengah kepongahannya, selalu ada jalan untuk Fir’aun kembali.

Diutuslah dua orang Nabi: Musa dan Harun untuk menyerukan kepadanya agar berhijrah! Fir’aun yang sudah mengaku Tuhan, Allah berikan jalan untuk berhijrah melalui utusannya. Namun Fir’aun menolak jalan tersebut.

Bagaimana dengan kita? Dengan ke Maha Pengasihnya, kita yang bergelimang dosa – walau tak sampai seperti Fir’aun yang mengaku- tentu pernah merasakan panggilan jiwa itu. Panggilan – fitrah- untuk kembali, panggilan untuk kembali berhenti sejenak dari riuhnya kehidupan sekitar kita.

“Sungguh sejauh apapun kehidupan menyesatkan, segelap apapun hitamnya jalan yang kutempuh, Tuhan selalu memanggil kami untuk pulang,” catat Tere Liye dalam novelnya yang berjudul Pulang.

Terkadang kita merasa bahwa diri ini begitu hina, kotor, namun itu tidak berarti pintu kebaikan telah terkunci rapat. Kita selalu ingat pesang sang Nabi,“Manusia adalah tempat berbuat salah dan khilaf”.

Manusiawi memang, dan inilah pesan kemanusiaan : tak ada insan yang lepas dari kesalahan karenanya kita disebut insan– makhluk yang nisyan (pelupa). Lihatlah ketika ribuan orang ini ini menangis, menangkupkan tangannya.

Pada suatu titik – kita – akan mudah meneteskan air mata, karena kesadaran dalam jiwa ini mampu menggugah sejumlah khilaf dalam diri ini. Dalam kondisi kesadaran seperti itu, hijrah menjadi sebuah jawaban.

Itulah kemurahan Allah bagi kita manusia yang tak pernah lolos dari khliaf. Ada pintu salah dan khilaf di dalam diri ini. Ada pula pintu taubat di sana. Pertanyaannya muncul. Akankah kita bergerak ke sana, atau kita hanya berdiam diri?

Pintu ini terbuka lebar bagi siapapun selama helaan nafas berjarak dengan takdir kematian. Hijrah adalah ikhtiar kita untuk kita melangkah, meniti jalan pulang yang pasti tiba.

Kita tentu ingat tentang kisah pembunuh 100 orang yang menempuh jalan untuk berhijrah untuk mendapat ampunanNya. Langkah kakinya menghantarkannya kepada surga Allah. Subhanallah!

Kini, bersiap-siaplah, untuk mendengar seruan dari nurani terdalam. Ketika panggilan itu datang, maka sambutlah! Perjalanan masih sangat panjang. Dalam kesabaran, ia akan menjadi semacam wisata ruhani yang akan membawa kita pada suatu titik yang hanya bisa dirasakan secara personal.

“Ya Tuhan kami, jangalanlah Engkau jadikan hati kami menyimpang kepada kesesatan, setelah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlaj kepada kami rahmat dari sisi-Mu, karena sesungguhnya Engkau Maha Pemberi (Karunia).”

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.