Ujian Demokrasi Kita

Ujian Demokrasi Kita

Oleh : M Rizal Fadillah*

JURNALISLAM.COM – Meski ada yang memperdebatkan mengenai asas demokrasi, namun secara universal demokrasi diterima hampir diseluruh negara. Negara kerajaan mencoba menarik peran rakyat dengan lembaga perwakilan.

Negara komunis yang paling otoriter pun menyebut dirinya demokrasi kerakyatan. Indonesia merumuskan asas demokrasinya dengan lebih    bernuansa moral “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Rakyat itu berdaulat, pemimpin dan wakil rakyat mesti hikmah dan bijaksana.

Kini nilai tinggi demokrasi Indonesia, rasanya semakin tidak difahami dan ditinggalkan. Digerus oleh perilaku politik dan peraturan yang dibuat baik oleh eksekutif maupun oleh wakil-wakil rakyatnya sendiri.

Membungkam suara suara kritis publik dengan menggunakan alat penegak hukum. Tujuannya  adalah untuk mempertahankan kekuasaan. UU Penghapusan Diskriminasi dan Ras, UU Informasi dan Transaksi Elektronik ditambah pelengkapnya KUHP cukup dapat digunakan menjerat tindak pidana “ujaran kebencian atau penghinaan/pencemaran nama baik”.

Tak peduli apakah itu delik aduan siapapun bisa melapor. Lalu diproses. Enteng saja. Walau sebaliknya jika yang dilaporkan itu orang pro rezim, di samping prosesnya lambat dan sulit, juga cepat hilang ditelan angin. Aparat bebas memainkan ritme.

Kasus sederhana adalah penangkapan dan penahanan pengedit baju sinterklas yang dikenakan KH Ma’ruf Amin. Dapat berefek pada kritik melalui meme, karikatur, atau sindiran lain yang menjadi bagian dari kebebasan berpendapat.

Sementara Ade Armando yang dilaporkan  kasus ‘baju sinterklas’ yang dikenakan kepada Habib Riziek dan ulama lain, tidak ada penangkapan dan penahanan. Angin lewat saja. Padahal pengeditan anak aceh berhubungan dengan pernyataan KH Ma’ruf Amin soal ucapan kontroversi “Selamat Natal”.

Sedang pengeditan Armando sama sekali tidak memiliki relevansi. Murni penghinaan. Tapi itulah kalau pemrosesan bukan semata hukum melainkan pesanan atau suka suka.

Kasus Alfian Tanjung, Tamim Pardede, Bambang Tri, Buni Yani, Ahmad Dani, atau mungkin Habib Bahar adalah contoh lain. Yang lebih fenomenal,  tentu Habib Rizieq yang “lolos” dengan pengorbanan mahal mesti berada di Saudi Arabia selama ini.

Mereka yang dikualifikasikan kritis terhadap “rezim jokowi” dibungkam lewat hukum. Suatu hal yang biasa terjadi dalam sejarah politik yang cenderung ingin melanggengkan kekuasaan.

Kini bangsa menuju kompetisi di April 2019. Rakyat Indonesia sedang diuji sikap politik demokrasi mengenai konstelasi tersebut di atas. Mampu kah rezim yang mengancam demokrasi bertahan, atau sebaliknya ia rontok digantikan oleh kepemimpinan baru. Getaran nurani rakyat adalah perubahan.

Moga saja selesai secara konstitusional pada Pilpres 2019 dan tidak berlanjut pada perlawanan masif di waktu setelahnya,  karena saat ke depan bisa saja demokrasi itu bukan saja terancam tapi benar benar terinjak atau tercabik cabik. Naudzu billahi min dzalik.

*Ketua Masyarakat Unggul (Maung) Institute Bandung

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.