WASHINGTON (Jurnalislam.com) – Jumlah imigran gelap yang ditangkap di Amerika Serikat naik ke level tertinggi di tahun 2017, setelah beberapa tahun mengalami penurunan, menurut laporan baru.
Pew Research Center, sebuah lembaga think-tank, mengatakan pada hari Kamis (8/2/2018) bahwa sebanyak 143.470 orang ditahan oleh pejabat Imigrasi dan Bea Cukai (Immigration and Customs Enforcement-ICE) tahun lalu – naik 30 persen dibandingkan dengan tahun 2016.
ICE memberlakukan undang-undang imigrasi federal di AS dan memiliki kekuatan untuk menahan dan mendeportasi imigran yang tidak berdokumen.
“Lonjakan tersebut dimulai setelah Presiden Donald Trump mulai menjabat pada akhir Januari [2017],” papar Pew Research Center, yang menganalisis statistik ICE mengenai penangkapan administratif, dalam sebuah pernyataan, lansir Aljazeera.
Pew Research Center: Perkiraan Baru Populasi Muslim AS
Penangkapan administratif adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan penangkapan seorang imigran tidak berdokumen yang merupakan pelanggaran sipil terhadap undang-undang imigrasi AS.
Peningkatan terbesar dalam penangkapan dicatat di Florida, Texas utara dan Oklahoma, kata Pew.
Di daerah Dallas di Texas saja tercatat lebih dari 16.500 penangkapan.
Penangkapan juga melonjak lebih dari 50 persen antara tahun 2016 dan 2017 di daerah sekitar kota New Orleans, Atlanta, Boston dan Detroit.
Namun, penangkapan ICE di seluruh AS dua kali lebih tinggi dibaningkan tahun 2009, tahun pendahulunya Trump, mantan Presiden AS Barack Obama, mulai berkiprah.
Petugas ICE melakukan hampir 298.000 penangkapan pada tahun 2009, namun “jumlah ini umumnya menurun pada tahun-tahun berikutnya,” Pew melaporkan.
Pada bulan Januari 2017, Trump menandatangani sebuah tatanan eksekutif yang memperkuat “penegakan interior” undang-undang imigrasi AS, dan memberikan badan penegak hukum lokal dan negara bagian untuk bertindak sebagai petugas penegakan imigrasi.
Sebaliknya, penangkapan yang dilakukan oleh US Customs and Border Protection (CBP), yang memberlakukan undang-undang keimigrasian AS di perbatasan negara tersebut, menurun sebesar 25 persen antara tahun 2016 dan 2017, Pew melaporkan.
ICE membenarkan penangkapan “interior” sebagai bagian dari “komitmen lanjutan untuk mengidentifikasi, menangkap, dan menghapus warga asing yang melanggar hukum AS, terutama yang bertindak mengancam keamanan publik atau keamanan nasional.”
Namun, menurut beberapa orang penangkapan di tahun 2017 menunjukkan sifat sewenang-wenang dan efek destruktif dari kebijakan penahanan imigrasi dan deportasi AS.
Pada akhir Januari, misalnya, petugas ICE menangkap seorang profesor Kansas yang telah tinggal di AS selama tiga dekade, media AS melaporkan.
Berasal dari Bangladesh, Syed Ahmed Jamal, ditangkap oleh agen ICE di halaman depan rumahnya saat hendak mengantar anak perempuannya ke sekolah. Jamal, ayah tiga anak yang semuanya memegang kewarganegaraan AS, sekarang menghadapi deportasi.
Bulan lalu ICE juga menahan dan mendeportasi Amer Othman Adi, seorang pria Palestina yang telah tinggal di Ohio selama hampir 40 tahun.
Adi “dipisahkan dari keempat putrinya, istrinya, dan negara yang dia sebuat rumah selama lebih dari 30 tahun,” Perwakilan Ohio, Tim Ryan, yang melawan deportasi, mengatakan dalam sebuah pernyataan pada saat itu.
Trump juga berusaha menahan dana federal kota-kota suaka, meskipun upaya tersebut diblokir oleh pengadilan California pada bulan April tahun lalu.
Secara umum, sebuah kota suaka (perlindungan) mengizinkan semua warga untuk mengakses layanan kotamadya, terlepas dari status imigrasi mereka.
Pejabat kota suaka juga tidak akan bekerja sama dengan petugas penegak imigrasi federal ketika harus menahan dan mendeportasi penduduk yang tidak berdokumen.
Ratusan kota dan negara bagian AS telah menyatakan kebijakan perlindungan dalam beberapa tahun terakhir.