AFGHANISTAN (Jurnalislam.com) – Strategi AS yang lebih agresif di Afghanistan berharap Taliban dapat dipukul mundur, kata tentara dan polisi, namun mengingat serangan terbaru di Kabul menunjukkan bahwa Imarah Islam tersebut tetap kuat dan menciptakan jalan buntu yang berkepanjangan bagi AS, lansir Aljazeera, Kamis (8/2/2018).
Presiden Donald Trump pada bulan Agustus meluncurkan pendekatan militer yang lebih agresif, termasuk lonjakan serangan udara, yang bertujuan untuk memaksa Taliban ke meja perundingan.
Walaupun pasukan Afghanistan mengatakan bahwa dampaknya signifikan, namun Taliban masih bergerak dalam petak besar negara tersebut dan, dengan pasukan asing sekitar 15.000 orang dibandingkan dengan 140.000 pada tahun 2014, tampaknya hanya ada sedikit harapan untuk meraih kemenangan militer secara langsung.
Belasan Tahun Berperang, AS Makin Bingung dengan Kekuatan Taliban
Taliban membukukan kemenangan setelah NATO menarik sebagian besar pasukan tempurnya pada akhir 2014. Dua tahun kemudian, mereka mencengkram beberapa pusat distrik dan bahkan dua ibu kota provinsi, termasuk Kunduz, di utara, yang sempat dikuasai.
Serangan udara AS di Afghanistan pada 2017 melonjak hingga 4.361, menurut data AS, dibandingkan dengan 1.337 pada tahun sebelumnya.
Misi Resolute Support NATO mengatakan pada hari Selasa bahwa serangan udara telah diperluas di utara, dengan pembom B-52 menyerang posisi Taliban.
Komandan misi, Jenderal John Nicholson, sesumbar dengan mengatakan bahwa mujahidin Taliban tidak dapat menang di medan perang.
Serangan Bom Mobil Taliban Hantam Konvoi Pasukan NATO di Kabul
Seorang juru bicara Taliban membantah bahwa serangan udara telah memaksa mujahidin untuk mundur, mengatakan bahwa mereka masih beroperasi di pusat-pusat distrik dan di pedesaan.
Bahkan menurut sebuah studi BBC baru-baru ini, Taliban secara terbuka aktif di 70 persen distrik. Seorang juru bicara misi NATO mengatakan bahwa perkiraan BBC melebih-lebihkan dan manyebutkan bahwa hanya sekitar 12 persen populasi yang berada di bawah kendali penuh Taliban.
Thomas Ruttig dari think tank Riset Analis Afghanistan (the Afghanistan Analysts Network) mengatakan kepada Reuters bahwa ada batas kekuatan udara yang bisa dicapai, sambil menunjukkan bahwa jumlah korban sipil meningkat.
“Mendorong mundur Taliban bukanlah kemenangan atas mereka,” katanya. “Taliban telah membuktikan bahwa mereka dapat menyesuaikan diri dan menunggu-nunggu serangan semacam itu sebelumnya.”
Sepekan di Afghanistan: Taliban Bunuh 35 Polisi dan 55 Tentara Boneka, IS Bunuh 70 Warga Sipil Syiah
Trump menolak pembicaraan dengan Taliban setelah bom 27 Januari di Kabul menewaskan 103 orang, sepekan setelah serangan Taliban di sebuah hotel menewaskan empat orang Amerika dan sekitar 26 aparat Afghanistan. Namun tujuan jangka panjang AS tetap memaksa Taliban melakukan penyelesaian, kata seorang pejabat tinggi AS kemudian.
Pemerintah Afghanistan juga telah mengambil keputusan tegas dalam perundingan, sedangkan Taliban mengatakan bahwa perundingan bergantung pada tentara asing yang pergi. Mereka mengatakan serangan Kabul merupakan respons terhadap agresi Trump dan mengancam akan melakukan lebih banyak serangan lagi.
Kelompok pemikir International Crisis Group mengatakan bahwa, walaupun pejabat AS mengatakan usaha diplomatik dan militer mereka ditujukan untuk mencapai penyelesaian terhadap perang terpanjang AS – yang diperkirakan pejabat akan membebani pembayar pajak lebih dari $ 45 miliar tahun ini – diplomasi telah diturunkan dengan jelas.
Moskow: Setiap Usaha yang Dilakukan AS Melawan Taliban akan Sia-sia
“Pemerintah AS dan Afghanistan berharap proses perdamaian akan muncul dari abu serangan militer yang intensif ini, namun proses perdamaian tidak pernah jauh lagi dalam beberapa tahun terakhir,” kata analis senior Afghanistan, Borhan Osman.
“Kedua belah pihak melepaskan lebih banyak kekerasan berdasarkan alasan yang sama sehingga akan memantapkan jalan buntu untuk mendukung kondisi mereka di meja perundingan.”
Pasukan Afghanistan mempersiapkan diri mereka dengan baik untuk bertempur dengan musuh yang bersenjata.
“Harus ada jalan keluar yang lain,” kata Sher Wali, seorang polisi di provinsi Nangarhar. “Karena sepertinya pertempuran ini tidak akan pernah berakhir.