Sepuluh Pertimbangan ISAC Sebelum RUU Terorisme Disahkan

Sepuluh Pertimbangan ISAC Sebelum RUU Terorisme Disahkan

SOLO (Jurnalislam.com) – Ketua The Islamic Study and Action Center (ISAC), HM Kurniawan mengatakan, pemerintah tak perlu tergesa-gesa mengesahkan Draf Revisi RUU Tindak Pidana Anti Terorisme apalagi menerbitkan PERPPU Pengganti UU no 15 tahun 2003. ISAC berpendapat, sedikitnya ada 10 hal yang harus dipertimbangkan terkait implementasi penegakan hukum kasus terorisme di Indonesia.

Pertama belum bakunya definisi terorisme, motif dan Kasus Terorisme. Kurniawan menjelaskan, perluasan motif terorisme tidak hanya faktor agama, namun bisa juga motif ekonomi dan politik atau motif motif lainnya.

“Dalam kasus terorisme, kasus separatisme, atau kasus Kelompok Kriminal Bersenjata memiliki perilaku atau perbuatan yang sama, barang bukti yang sama, target yang sama, sasaran yang sama namun di beberapa peristiwa ternyata penerapan hukumnya berbeda,” paparnya dalam keterangan tertulis kepada Jurnalislam.com, Kamis (24/5/2018).

Kedua, Undang-undangan No 15 Tahun 2003 masih sangat relevan untuk penindakan kasus terorisme. Ketiga, pelanggaran HAM masih sering terjadi baik saat penangkapan dan penahanan oleh Densus 88.

Keempat, belum ada kebebasan sepenuhnya dalam pemilih pendampingan hukum oleh tersangka dalam kasus terorisme. Kelima, kasus salah tangkap harus diatur dan dibarengi dengan dengan rehabilitasi nama baik, permintaan maaf maupun kompensasi

Keenam, kasus tembak mati harus dieliminir semaksimal mungkin guna mendapatkan informasi yang lengkap, akurat dan utuh. Ketujuh, kematian terduga atau tersangka terorisme saat dalam kekuasaan penyidik.

“Maka pelaku yang menyebabkan kematian terduga/tersangka harus dipertanggungjawabkan secara hukum dan kode etik yang berlaku,” kata dia.

Kedelapan, pencegahan terorisme lebih penting dari pada penindakan. “Komunikasi, diskusi, penyuluhan yang melibatkan elemen masyarakat dan instansi pemerintah harus terpadu dan terintegrasi,” jelas Kurniawan.

Kesembilan, penegakan Tindak Pidana Terorisme harus murni kepentingan hukum, keamanan dan ketertiban masyarakat, tidak boleh ada kepentingan asing.

“Terakhir, optimalisasi dan peningkatan sumber daya manusia, teknologi dan kompetensi penegak hukum harus mandiri, dengan mengeliminasi bantuan asing,” pungkasnya.

Pada rapat pembahasan RUU terorisme pada Kamis (24/5/2018), pemerintah dan DPR belum sepakat mengenai definisi terorisme. Ada dua pilihan definisi yang dibahas dalam rapat tersebut.

Definisi pertama, “Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional.”

Definisi kedua, “Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik atau gangguan keamanan.”

Namun, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan, pembahasan RUU Terorisme tak mengambil opsi voting. Ia meyakini RUU ini akan disahkan dalam paripurna hari ini, Jumat (27/5/2018).

Bagikan