Sekolah Umum di AS Intimidasi Nama dan Pakaian Siswa Muslim

AMERIKA SERIKAT (Jurnalislam.com) – Pengalaman menjadi seorang mahasiswa Muslim di sistem sekolah umum Amerika adalah unik bagi setiap anak muda, menurut sebuah studi oleh Mahasin D. Shamsid-Deen, seorang guru Muslim.

Tiga tantangan utama yang dihadapi siswa Muslim saat menghadiri sekolah umum adalah menu makan siang, hari raya (Muslim dan non-Muslim), dan penerimaan.

Demikian halnya dengan siswa SD, siswa usia SD tampaknya tertekan dengan menu makan siang di sekolah. Jika orang tua tidak mempersiapkan dan mengirim makan siang untuk siswa, mereka dihadapkan dengan pertanyaan tentang mana yang halal dan mana yang tidak. Banyak produk daging babi yang tersembunyi dalam bahan pembuat makanan.

Pekerja kantin mungkin memahami produk daging yang terlihat jelas, tetapi mungkin tidak menyadari bahwa kue-kue yang digoreng dengan lemak babi, atau marshmallow yang terbuat dari gelatin dengan basis hewan, tidak dapat dikonsumsi oleh siswa Muslim.

Untungnya, banyak sekolah yang lebih besar sekarang memberikan deskripsi menu yang rinci sehingga orang tua dan siswa dapat membuat keputusan berdasarkan apa yang tersedia dan akan disajikan saat makan siang. Rincian ini sangat bermanfaat bagi siswa dari populasi umum yang memiliki alergi dan pembatasan diet karena kesehatan. San Antonio, sekolah umum di distrik Texas misalnya, telah mencantumkan kode untuk menu dengan informasi spesifik tentang bahan-bahan.

Sistem GVP mereka mudah dipahami; G (grain) berarti dibuat dengan biji-bijian yang sehat secara keseluruhan; V = vegetarian – tanpa daging, tetapi mungkin mengandung susu atau telur dan P (pork) berarti makanan ini mengandung daging babi.

Siswa Muslim usia SD juga sangat cemas dengan liburan dan perayaan. Ini termasuk perayaan Muslim serta sanksi dan peringatan yang ditetapkan di beberapa distrik sekolah tertentu. Siswa yang lebih muda yang memasuki sistem sekolah umum mungkin tidak tahu apa yang diharapkan bahkan jika mereka memiliki anggota keluarga yang beragama lain.

Faktanya sebagian besar sekolah umum memberi 'topeng' liburan tradisional Amerika yang berakar dengan teologi Kristen dengan istilah 'sekuler'. Misalnya, Halloween dinamai 'Harvest (panen)'; Perayaan Natal diberi label 'winter (musim dingin)' dan program Easter (paskah) sering disebut 'spring (musim semi)'. Siswa Muslim cenderung tidak terbawa ke dalam 'politik' pembenaran terhadap istilah-istilah ini dan mengakui perubahan nama tidak mengubah fokus atau bahkan tujuan dari perayaan tersebut.

Siswa Muslim tampaknya memiliki berbagai perasaan tentang liburan. Seorang anak muda menyatakan kesedihannya karena sekolah telah mengisolasinya dengan mengirim dia ke perpustakaan selama 'pesta' hari raya di kelas. Seorang siswa lainnya marah karena sekolah memberi tanda ‘absent’ saat tidak hadir di sekolah pada hari lebaran. Sementara beberapa siswa mengaku mereka merasa bersalah bahwa mereka merasa ingin ikut serta merayakan hari raya non muslim, sedangkan beberapa siswa lainnya mengakui bahwa mereka merayakan hari raya Muslim dan non-Muslim.

Beberapa siswa bercerita bahwa mereka merasa gugup dan canggung/malu ketika harus menjelaskan atau memperingati hari raya Muslim. Siswa yang lebih tua menyatakan frustrasi, terutama dengan guru olahraga yang tidak tahu bagaimana atau tidak akan mengakomodasi mereka selama Ramadan.

Namun, adanya siswa yang tidak memperingati hari raya Kristen telah membuat sistem sekolah benar-benar memeriksa realitas di balik klaim pemisahan gereja dan negara serta membantu menghasilkan sebuah lingkungan yang lebih inklusif yang sensitif terhadap keragaman siswanya.

Selain itu, dua sekolah umum utama New Jersey, dan juga New York mulai tahun ini, sudah mulai merayakan kedua perayaan Idul Fitri dan Idul Adha. Sebuah keuntungan tambahan bagi sekolah umum memasukkan perayaan Idul Fitri dan Idul Adha adalah membuka dialog dan pemahaman bagi praktik ibadah Muslim yang disalahpahami dan diejek, seperti puasa dalam jangka panjang dan ritual penyembelihan hewan.

Seluruh siswa Muslim menceritakan keprihatinan dan perasaan mereka mengenai penerimaan. Secara umum, keprihatinan ini dipecah menjadi tiga bidang utama – pakaian, nama dan identitas. Siswa Muslim berusia sekolah menengah dan tinggi lebih mungkin berjuang menghadapi masalah ini daripada siswa berusia SD. Untuk anak perempuan, menjalani agama yang mewajibkan kesopanan dan kesederhanaan bisa menimbulkan stres, terutama karena ia sedang berada dalam masa transisi menuju pubertas dan sekarang harus menjelaskan tampilan 'baru'nya.

Memakai jilbab menjadi rumit oleh aturan sekolah umum mengenai penutup rambut, yang biasanya berhubungan dengan aktivitas geng. Anak perempuan juga menghadapi tantangan di kelas olahraga yang mungkin mengharuskan mereka mengenakan celana pendek atau melepas penutup kelapa mereka.

Beberapa siswa menyatakan bahwa gadis-gadis Muslim dengan orang tua imigran lebih disukai dibandingkan Muslim yang lahir di Amerika sehingga mengalami intimidasi ketika mereka menutup rambut mereka. Gadis-gadis Muslim remaja mengaku mereka memiliki perasaan mulai dari kerinduan, kebencian, kemarahan hingga rasa bersalah tentang cara berbusana budaya Pop yang dipakai rekan-rekan mereka dan keinginan mereka sendiri untuk memakai pakaian yang sama.

Namun, karena sebagian besar sekolah umum mengizinkan berbagai pakaian dapat dipakai seorang siswa ke sekolah dan masih dalam aturan, siswa Muslim, terutama anak perempuan bebas untuk mengekspresikan kepribadian mereka dan agama yang mewajibkan pakaian tertentu.

Baik anak laki-laki dan perempuan bergulat dengan nama mereka. Beberapa siswa mengakui bahwa mereka sengaja menggunakan nama panggilan atau meng-inggeris-kan nama mereka. Ada ketakutan jika seorang siswa memiliki nama yang mirip dengan tokoh yang dibenci Amerika seperti 'Osama' atau 'Saddam'.

Anak laki-laki mengatakan bahwa ‘nama’ dapat lebih menyebabkan bullying dan dapat menimbulkan perkelahian antara mereka dan rekan-rekan mereka dibandingkan apa pun. Salah satu siswa muda menyatakan kebenciannya bahwa nama sederhana yang umum bagi umat Islam telah difitnah.

Terlepas dari kesulitan-kesulitan ini, nama-nama Amerika memiliki akar dalam banyak budaya yang berbeda sehingga nama Muslim menawarkan kesempatan untuk memperluas pandangan siswa Amerika mengenai dunia pada umumnya.

Identitas terdaftar sebagai perjuangan nomor satu di kalangan remaja. Siswa harus berurusan dengan stereotip negatif dan 'phobia' terhadap Muslim akibat laporan media mengenai kekejaman di negara-negara dengan populasi Muslim yang besar dan pendapat media dari kantor berita konservatif.

Beberapa siswa Muslim remaja  melaporkan diskusi politik kelas yang penuh dengan informasi yang salah dan permusuhan yang membuat mereka tidak nyaman, takut serta marah. Mengingat tragedi baru-baru ini di North Carolina terhadap tiga pemuda Muslim, beberapa siswa mengaku bahwa mereka merasa rentan.

Namun, ini merupakan masalah keprihatinan kedua yang dihadapi mahasiswa mengenai tekanan teman sebaya. Anak laki-laki Muslim melaporkan bahwa mereka dianggap lemah atau berpotensi gay jika mereka tidak memiliki pacar atau tidak terlihat terbuka mengejar hubungan. Kedua anak laki-laki dan perempuan sama-sama mengatakan bahwa mereka secara otomatis disebut sebagai 'kutu buku' dan dengan demikian terisolasi secara sosial karena mereka tidak berkencan, tidak minum alkohol, tidak merokok, tidak nakal atau mencoba menggunakan obat.

Beberapa siswa SD mengeluh bahwa 'wajah' mereka berbeda dari anak-anak lain, sebuah keluhan yang terlontar dari semua siswa etnis minoritas.

Beberapa siswa Muslim mengatakan bahwa mereka melakukan beberapa hal hanya untuk menyesuaikan diri, sehingga mengorbankan identitas budaya atau agama mereka. Beberapa gadis merasa marah bahwa jika mereka tidak memakai hijab maka rekan-rekan sekolah mereka sering melihat mereka kurang 'Muslim' dibandingkan gadis-gadis yang memakai hijab. Beberapa lainnya menyatakan malu ketika siswa Muslim lainnya yang hadir di sekolah yang sama berperilaku nakal atau mengganggu di kelas atau tidak berperilaku islami.

Seperti yang dikatakan oleh salah satu siswa SLTA, "Jika Anda berada di sekolah umum, apa pun yang Anda lakukan, berlakukah seperti mewakili semua umat Islam! Jadi Anda tidak bisa seenaknya bertindak gila. "

Siswa tersebut juga mengatakan bahwa menjadi seorang mahasiswa Muslim sama dengan mendapatkan penghargaan (respek) dari para guru yang menghargai pengendalian diri Anda dan, "jika Anda terus bersekolah maka siswa lain juga menghormati Anda karena Anda memiliki standar."

Beberapa siswa yang menyukai pergi ke sekolah umum menyatakan adanya kebebasan berekspresi, kesempatan berada dalam kelas yang menarik dan guru yang baik sebagai alasan kesukaan mereka. Yang paling penting, banyak siswa yang lebih dewasa akhirnya mengakui bahwa sekolah menawarkan kesempatan untuk Dakwah dan belajar, melalui trial and error, bagaimana 'mempertahankan' identitas Anda sendiri di lingkungan yang beragam. Sebagaimana salah satu siswa menyatakan, "sekolah umum benar-benar mempersiapkan Anda untuk menghadapi dunia."
 

Deddy | World Bulletin | Jurniscom
 

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.