Rakyat Mesir Tidak Terkejut As Sisi Menang dengan 97% Suara, Ini Sebabnya

Rakyat Mesir Tidak Terkejut As Sisi Menang dengan 97% Suara, Ini Sebabnya

MESIR (Jurnalislam.com) – Sebagai hasil akhir yang tidak mengejutkan bagi rakyat Mesir dan seluruh dunia, Abdel Fattah as-Sisi memenangkan pemilihan presiden dengan 97 persen suara, mengamankan masa jabatan empat tahun lagi, Aljazeera melaporkan Senin (2/4/2018).

Pemilihan Mesir tersebut dikritik sebagai pertunjukan satu orang tanpa oposisi yang kredibel, karena sedikitnya enam kandidat lainnya dibatalkan, diadili, atau dipenjarakan.

Mengumumkan hasil akhir pada hari Senin, komisi pemilihan Mesir mengatakan bahwa pemilih berjumlah 41,5 persen, lebih rendah dari 47 persen pada pemilu 2014.

Satu-satunya lawan yang tersisa untuk melawan as-Sisi adalah Mousa Mostafa Mousa yang tidak banyak dikenal, yang mendaftarkan diri beberapa jam sebelum batas waktu dan berasal dari partai yang sebelumnya telah mendukung as-Sisi.

Memperingati 4 Tahun Kudeta Berdarah Militer Mesir pada Presiden Mursi

Hasil awal yang dirilis pada hari Kamis menunjukkan bahwa Mousa hanya menerima tiga persen suara, dan menurut The Economist, berada di tempat ketiga setelah lebih dari satu juta orang merusak kertas suara mereka.

Beberapa pemilih malah mencoret nama kedua kandidat dan menambahkan nama pemain sepak bola Liverpool sekaligus anggota tim sepak bola nasional Mesir, Mohamed Salah, yang dilaporkan mendapat suara dua kali lebih banyak daripada Mousa.

Namun hasil tersebut direvisi keesokan harinya untuk menunjukkan bahwa tidak ada surat suara yang rusak.

“Pemilihan ini adalah lelucon dan penuh kepalsuan,” Sarah Yerkes, seorang rekan di Carnegie Endowment for International Peace yang berbasis di Washington, mengatakan kepada Al Jazeera.

“Pemilihan ini tidak benar-benar penting bagi negara.”

Masa jabatan pertama as-Sisi di kantor, yang dimenangkannya setelah militer menyingkirkan Presiden Muhammad Mursi dari kekuasaan, dicirikan oleh janji-janji yang gagal dipenuhi, seperti memberantas “terorisme” dan meningkatkan ekonomi negara.

Negara-negara Teluk, terutama Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, memompa investasi miliaran dolar ke Mesir ketika as-Sisi pertama kali menjabat, tetapi penindasan juga meningkat dengan “kekerasan yang belum pernah terjadi sebelumnya”, James Gelvin, profesor Sejarah Timur Tengah Modern di Universitas California, Los Angeles, mengatakan kepada Al Jazeera.

Pengadilan Mesir Jatuhi Hukuman Mati pada Dr Yusuf Qaradawi

“banyaknya uang tunai secara cepat tidak dapat mengurangi krisis ekonomi Mesir dalam jangka panjang, yang merupakan hasil dari perencanaan ekonomi yang buruk, kronisme, dan ledakan demografis,” katanya.

Krisis ekonomi di Mesir akan menjadi prioritas as-Sisi selama masa jabatan keduanya di kantor, dengan resiko menjerumuskan penduduk ke dalam kesengsaraan lebih lanjut, kata Galvin.

Profesor itu mengutip sejumlah faktor ekonomi yang saat ini kemungkinan akan memburuk, seperti tingkat pengangguran yang tinggi, pembatasan makanan dan bahan bakar, ketidaksetaraan pendapatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan aturan plutokrasi.

“Dalam sebuah dunia di mana kebijakan ekonomi neoliberal adalah satu-satunya resep untuk ekonomi nasional dalam krisis, hanya ada rasa sakit yang meningkat di pasar bagi warga Mesir,” katanya.

“Ketika [mantan presiden] Sadat dan Mubarak berusaha memaksakan kebijakan neoliberal, pemberontakan rakyat – yang disebut kerusuhan IMF – terjadi,” katanya.

“Dalam situasi seperti ini, Sisi tidak diragukan lagi akan melanjutkan represi yang keras, mungkin beralasan membasmi ancaman terorisme.”

Mantan panglima angkatan bersenjata yang berusia 63 tahun tersebut mempertahankan basis pendukung setia, yang memandangnya sebagai kekuatan untuk stabilitas dan bukan demokrasi.

“Tidak ada yang percaya dia seorang demokrat,” kata Sarah Yerkes. “Sebaliknya, banyak orang Mesir yang senang mengorbankan demokrasi jika itu berarti kinerja ekonomi, stabilitas, dan keamanan yang lebih besar.

“Masalah dalam argumen itu adalah bahwa ekonomi Mesir dan situasi keamanan semakin memburuk – tidak membaik, di bawah kekuasaan otoriter Sisi,” tambahnya.”

Menurut Gelvin, Sisi bergantung pada dukungan berkelanjutan dari “negara dalam (deep state)” – yang meliputi militer, birokrasi dan peradilan – dan pendukungnya.

Begini Obrolan Trump dengan Presiden Mesir pada Sambungan Telepon

Selain itu, pengaruh presiden tidak hanya bergantung pada dukungan domestik tetapi juga dukungan regional dan internasional yang bergantung pada mempertahankan status quo di wilayah tersebut – terutama dari Arab Saudi dan Amerika Serikat.

“Sisi akan tetap berkuasa selama deep state memegang pengaruh, dan dia terus menggempur sisa populasi,” kata Gelvin.

Bagikan