Pemimpin yang Mengajak Beribadah pada Allah Semata

Manusia merupakan makhluk yang memiliki fitrah beribadah. Namun dalam mewujudkan fitrah beribadah tersebut, manusia mengalami beberapa keadaan.

  1. Beribadah kepada Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya.
  2. Beribadah kepada satu Ilah selain Allah atau ilah-ilah atau tuhan-tuhan selain Allah.
  3. Beribadah kepada Allah disamping beribadah kepada satu ilah lain atau ilah-ilah atau tuhan-tuhan selain Allah.

Tidak ada manusia yang tidak beribadah. Semua manusia beribadah. Ketika manusia mengklaim tidak percaya pada ilah, ‘bebas merdeka’, dan tidak mau beribadah kepada siapapun termasuk kepada ilah, sejatinya ia sebagaimana yang difirmankan Allah:

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya[1] dan Allah Telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (Al-Jaatsiyah: 23) [1] maksudnya Tuhan membiarkan orang itu sesat, Karena Allah Telah mengetahui bahwa dia tidak menerima petunjuk-petunjuk yang diberikan kepadanya.

Orang yang tidak mau beribadah kepada apapun, pada dasarnya sedang beribadah, yaitu beribadah kepada selain Allah, beribadah kepada hawa nafsu dan beribadah kepada setan yang membisikkan hawa nafsu.

Jika begitu, persoalannya bukan terletak pada ibadah itu sendiri, karena setiap manusia adalah orang yang beribadah! Persoalannya terletak pada ibadah yang benar. Atau dengan kata lain siapa yang diibadahi? Siapa ilah Rabb yang berhak diibadahi?

Apakah Allah yang tiada ilah yang hak selain Dia? Ataukah ilah-ilah alias tuhan-tuhan lainnya bersama Allah atau selain Allah yang pada hakekikatnya tidak memiliki hak uluhiyah, sehingga tidak berhak untuk diibadahi, ditaati dan diikuti?

Inilah persoalan manusia sepanjang sejarah dan sampai hari kiamat kelak, persoalan inilah yang senantiasa dihadapi oleh manusia.

Kehidupan Jahiliyah dahulu dan sekarang senantiasa berupaya mengecilkan dan mendiskreditkan persoalan ini untuk menutup-nutupi kebokrokan sistem Jahiliyah dan menjustifikasi penyimpangan-penyimpangannya. Untuk itu Al-Qur’an  memberikan porsi bahasan yang sangat besar kepada persoalan ini. Karena persoalan ini memiliki urgensi yang sangat penting dalam realitakehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat.

“Dan tiadalah kehidupan dunia Ini melainkan senda gurau dan main-main. dan Sesungguhnya akhirat Itulah yang Sebenarnya kehidupan, kalau mereka Mengetahui.” (Al-Ankabut: 64)

Di atas landasan persoalan ibadah kepada Allah semata inilah: sistem kehidupan manusia dibumi digariskan, keyakinan dan pemikirannya, akhlak dan tingkah lakunya, pandangan dan perilaku hidupnya, interaksi dirinya dengan Rabb-Nya, dengan diri pridainya dan masyarakat sekitarnya, interaksinya dengan seluruh makhluk di sekitarnya, perang damainya, ekonomi dan politiknya, ilmu pengetahuan dan budayanya, bahkan seluruh persoalan kehidupannya.

Di atas landasan persoalan ibadah kepada Allah semata inilah, akhir kehidupan manusia digariskan: ke syurga atau neraka, kenikmatan yang didekatkan atau siksaan yang kekal?

Jika demikian, adakah persoalan yang lebih penting dan menentukan kehidupan manusia melebihi persoalan ibadah kepada Allah semata yang mencakup semua unsur kehidupan manusia ini? Jawabannya: Tidak Ada.

Meski demikian, sistem Jahiliyah Modern mengecilkan porsi persoalan inti ini sehingga hampir-hampir wujud dan dampaknya dalam kehidupan umat manusia nyaris  hilang agar sistem Jahiliyah  Modern bisa mengeluarkan manusia dari peribadatan pada Allah semata menuju peribadatan kepada setan, hawa nafsu, dan thaghut-thaghutpenindas, mengeluarkan manusia dari cahaya menuju kegelapan dan kesesatan.

“Bukankah Aku Telah memerintahkan kepadamu Hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu", 61. Dan hendaklah kamu menyembah-Ku. inilah jalan yang lurus.” (Yasin: 60-61)

“Allah pelindung orang-orang yang beriman; dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah:257)

Persoalan kedua adalah memilih pemimpin. Memilih pemimpin adalah bagian dari ibadah atau Aqidah Wala wal Bara. Wala maksudnya mencintai, menghormati orang-orang beriman. Wala hanya boleh diberikan pada Allah, rasul-Nya dan orang-orang beriman. Sedangkan Bara maksudnya menjauhi, berlepas diri dan memutuskan hubungan dengan pihak yang dianggap musuh, tidak membantu mereka. Bara wajib ditujukan pada orang-orang musyrik, kafir, munafik dan murtad.

Berdasarkan aqidah Wala wal Bara, maka manusia terbagi menjadi dua: pertama, orang yang berhak mendapat wala (loyalitas) secar mutlak, yaitu orang mukmin yang beriman pada Allah dan rasul-Nya. Melaksanakan kewajibannya dan menjauhi larangan-Nya.

“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, Maka Sesungguhnya pengikut (agama) Allah[2] Itulah yang pasti menang.”(Al-Maidah: 55-56) [2]  yaitu: orang-orang yang menjadikan Allah, rasul-Nya dan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya.

Kedua, orang yang berhak mendapatkan Bara secara mutlak yaitu orang munafik, musyrik dan kafir, baik dari golongan Yahudi, Nasrani, Majusi dan lainnya.

“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (At-Taubah: 23)

Dalam sistem kehidupan Jahiliyah Modern, para pemimpinnya mengklaim telah membebaskan manusia dari thaghut-thaghut, namun sejatinya mereka menjadi thaghut-thaghut baru yang memperbudak manusia dengan metode baru pula.

Seperti yang kita saksikan saat ini. Sistem itu bernama demokrasi.  Dalam panggung sandiwara demokrasi selalu menampilkan episode indah, kebebasan beragama, berpendapat, berkumpul, dan sebagainya. Siapakah sebenarnya pihak yang berkuasa dan memerintah masyarakat? Penguasa sebenarnya adalah thaghut pemilik modal. Dan thaghut pemilik yang terbesar adalah kaum Yahudi, dengan seluruh sifat dan perilaku thaghutnya.

Karenanya, sebagai kaum muslim dan mukmin hendaknya tidak tertipu  dengan propaganda dan program apapun dari pata thaghut-thaghut itu. Sebailknya, jika ingin sukses, maka kita wajib mencabut pilihan kita dari thaghut tersebut, lalu memurnikan seluruh bentuk peribadahan kepada Allah semata.                          

 

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.