YANGON (Jurnalislam.com) – Seorang biksu penghasut terkenal yang pidato kebenciannya telah menjadi bahan bakar serangan terhadap kaum Muslim Myanmar menghadapi tuduhan pencemaran nama baik, beberapa hari setelah kelompok ultranasionalis miliknya dicap sebagai sebuah asosiasi yang melanggar hukum di bawah hukum monastik.
Seorang pejabat dari kantor polisi Tarmwe Township mengkonfirmasi kepada Anadolu Agency pada hari Kamis (14/07/2016) bahwa sebuah organisasi berbasis masyarakat telah mengajukan keluhan terhadap Wirathu untuk pidatonya yang menghina seorang pejabat tinggi PBB pada tahun 2015.
“Win Aung dari kelompok Thet Taw Saung [pengawal] meminta kami untuk membuka kasus pencemaran nama baik terhadap U Wirathu pada Selasa malam,” katanya kepada Anadolu Agency melalui telepon.
Jika otoritas keagamaan di negara itu menyetujui – sebagai seorang bhikkhu, Wirathu yang sering membuat fitnah atau menyerang orang lain akan menghadapi ancaman penjara hingga dua tahun, denda, atau keduanya.
Pada bulan Januari, Wirathu menyebut Utusan Hak Asasi Manusia PBB Yanghee Lee seorang pelacur karena menuntut pemerintah memberikan kewarganegaraan kepada sekitar satu juta Muslim Rohingya di negara itu.
Setelah mengalami kekerasan bertahun-tahun, sebagian besar kaum muslim tinggal di kamp-kamp pengungsi di barat negara bagian Rakhine, di mana mereka dianggap oleh PBB sebagai salah satu minoritas yang paling teraniaya di dunia.
Wirathu adalah salah satu anggota Asosiasi Perlindungan Ras dan Agama (lebih dikenal sebagai Ma Ba Tha) yang paling aktif.
Kelompok ini dengan sengaja memicu api kebencian agama terhadap umat Islam di negara itu, dengan Wirathu menyalahkan mereka atas konflik komunal, dan menuduh mereka mencoba “mengislamkan” negara berpenduduk 57 juta orang tersebut.
Pada hari Rabu, Wirathu menuduh pemenang Nobel Aung San Suu Kyi mencoba untuk menghancurkan Ma Ba Tha setelah sebuah komite yang disponsori pemerintah – Komite Negara Sangha Mahayanaka (the State Sangha Mahayanaka Committee) – menganggapnya sebagai sebuah asosiasi yang melanggar hukum di bawah hukum Sangha (monastik).
Ma Ba Tha menunjuk diri mereka sendiri sebagai badan yang mengatur penegakan agama di negara mayoritas Buddha – sehinggga menjadi oposisi langsung terhadap lembaga negara – dan berperan penting menetapkan seperangkat hukum kontroversial yang menghubungkan ras dan agama dalam pemerintahan sebelumnya.
“Diktator administrasi wanita ini mencoba menempatkan saya di penjara,” kata Wirathu pada halaman Facebook-nya.
Sebuah laporan media juga mengklaim pada hari Rabu bahwa menteri negara urusan agama dan budaya, Thura Aung Ko, telah meminta komite Sangha – yang juga dikenal sebagai Ma Ha Na – untuk mengambil tindakan terhadap pidato kebencian oleh para biarawan.
“Saya meminta para bhikkhu kepala Mahana untuk menghentikan atau mengambil tindakan terhadap biksu atau orang lain yang membuat pidato kebencian yang dapat mendorong darah buruk antara orang-orang atau konflik,” Thura Aung Ko seperti dikutip oleh Radio Free Asia.
“Karena sangat penting jika kita memiliki stabilitas dan pembangunan di negara ini.”
Sejak pertengahan 2012, kekerasan komunal antara etnis Buddha dan kaum Muslim di Rakhine telah mengakibatkan sekitar ratusan kaum muslim terbunuh, sekitar 100.000 orang lebih mengungsi di kamp-kamp dan lebih dari 2.500 rumah milik mulism Rohingya dibakar.
Wilayah yang miskin tersebut juga merupakan rumah bagi kaum Muslim lainnya, seperti Kaman. Tidak seperti Rohingya, Kaman secara resmi diakui sebagai salah satu dari 135 kelompok etnis Myanmar.