Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa
Suka tak suka perhatian kita saat ini terus dibombardir oleh satu topik: bursa penentuan Calon Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Bukan saja dalam setiap pemberitaan media, tetapi isu ini menggelayuti linimasa media sosial kita.
Apapun dinamika yang terjadi kenyataannya telah terbaca. Tak mudah bagi calon presiden yang ada (Prabowo Subianto) untuk menerima rekomendasi yang telah diperas oleh para ulama dari Ijtima Ulama tempo hari. Tak perlu dipungkiri, hasil rekomendasi Ijtima ulama masih dipandang politisi sejajar dengan faktor-faktor lainnya.
Rekomendasi ulama bukan dianggap satu keputusan yang harus ditaati. Tetapi masih sekedar pertimbangan-pertimbangan untung rugi politik belaka. Para politisi belum melihat Ulama sebagai satu pengarah umat yang signifikan. Lebih mengenaskan masih ada politisi yang mungkin melihat ulama sekedar mesin pendulang suara.
Setidaknya sejak era reformasi umat kerap menitipkan cita dan harapannya kepada perahu-perahu politisi sekular. Atau minimal tak berideologi Islam. Tak pelak situasi semacam ini menyiratkan bahwa Islam tak lagi dipandang sebagai satu sistem perikehidupan -yang bukan saja diridhai oleh Allah- tetapi juga mampu menyelesaikan berbagai persoalan.

Maka kejadian semacam ini seharusnya dilihat bukan sebagai sumber masalah, tetapi sebenarnya adalah gejala dari sebuah persoalan yang lebih besar, yaitu betapa mendominasinya sekularisme di Indonesia. Para figur (calon) pemimpin masih berparadigma memisahkan agama dengan negara. Menganggap Islam bukanlah solusi persoalan yang ada. Begitu pula masyarakatnya. Betapa banyak yang belum merasa perlu memilih solusi berdasarkan Islam.
Kita akhirnya terjebak dalam lingkaran setan. Calon pemimpin yang dititipkan cita Islam melihat aspirasi umat dan ulama bukanlah sebagai pondasi berpijak melainkan pertimbangan elektoral belaka. Masyarakat pemilih pun demikian. Figur yang tidak ideologis dianggap dapat memberi jalan keluar dari masalah yang membeli mereka.
Cukuplah figur tersebut didandani, dicocok-cocokkan, dipantas-pantaskan dengan simbol-simbol Islam belaka. Cukup dilabeli ‘keturunan ulama,’ berasal dari kelompok tertentu atau diberi label dekat dengan kelompok Islam, sudah terpuaskan dahaga masyarakat. Kita sepertinya cukup puas dibuai dongeng-dongeng semacam, si fulan seperti Umar bin Khattab; yang bermasa lalu kelam kemudian menemukan jalan Islam.
Gelar-gelar tempelan semacam “Umar abad ini”, atau “Natsir baru” sudah cukup untuk menutup mata kita. Modus semacam inilah yang akhirnya menjadi santapan akrobat para politisi. Dengan bungkus dan sorot lampu media, pencitraan “Islami” menjadi santapan sehari-hari. Mata rantai lingkaran setan ini memang harus diputus.
Kita harus berbesar hati melihat kenyataan bahwa semakin jauhnya para aktor politik dari ulama. Hal ini bisa saja diresapi sebagai satu kekecewaan. Tetapi kita juga dapat melihat sisi terangnya. Sudah saatnya umat bersama ulama berdiri sendiri. Tak lagi menggantungkan harapan dan menitipkan cita pada pemimpin yang tak seideologi.
Umat Islam beserta Ulama harus mengajukan (calon) pemimpinnya sendiri. Bukan lagi menitipkan aspirasi pada pemimpin berbeda perahu. Apalagi mencari pemimpin dadakan, dipaksakan, karbitan atau hasil gorengan media. Kita tak bisa lagi baru membicarakan pemimpin ketika mendekati masa pemilihan kepala daerah atau kepala negara.
Mencetak pemimpin umat bukanlah perkara satu dua tahun. Ia adalah satu proses kaderisasi oleh ulama yang ditempa sejak lama dengan berbagai kondisi. Mari kita lihat kenyataan sejarah. Berbagai tokoh pemimpin umat adalah hasil tempaan ulama dalam waktu yang lama.
Mohammad Natsir misalnya. Ia adalah pemimpin yang ditempa oleh ulama sekaliber Ahmad Hassan. Natsir sejak muda berguru ke Tuan Hassan. Bahkan Natsir memilih Bersama Tuan Hassan ketimbang mengambil peluang beasiswa studi oleh pemerintah kolonial Belanda. Tuan Hassan bukan saja menempa Natsir dengan ilmu agama, tetapi ia melatih Natsir muda untuk menjadi pengawal umat.

Kehadirannya di Majalah Pembela Islam membuktikan ia hadir untuk mengadvokasi umat Islam. Natsir muda tak puas berguru pada seorang guru saja. Pada Haji Agus Salim, Natsir Bersama kawan-kawan di Jong Islamieten Bond (JIB) memerlukan hadir menimba ilmu dari politisi senior Sarekat Islam tersebut. Buya Hamka menyebut para anggota JIB, “…yang lebih memperdalam pengertian dan amalan agama sehingga Islam tidak hanya menjadi pengetahuan, tetapi menjadi dasar dan pandangan hidup.” (Hamka: 2002)
Munculnya Natsir Bersama Jong Islamieten Bond (JIB) ini harus dilihat sebagai satu kriteria calon pemimpin, yaitu figur yang memang telah lama berjejaring dengan dunia gerakan Islam. Bukan figur yang sekonyong-konyong muncul ketika masa politik elektoral belaka. Kehadiran dalam dunia pergerakan memberikan makna bahwa calon pemimpin telah lama membersamai umat. Bukan sekedar cendikiawan yang hidup di menara gading.
Mohammad Natsir dan JIB adalah contoh generasi emas gerakan Islam. JIB bergerak bersama umat khususnya para pelajar muslim. Ditengah belantara sekularisme yang menyelimuti pelajar-pelajar ‘pribumi’ di sekolah Belanda, para aktivis JIB mencoba menghidupkan suluh bagi para pelajar tersebut. Diskusi-diskusi, tulisan-tulisan, aktivitas mengajar menjadi denyut sehari-hari generasi emas tersebut.
Dari JIB-lah kemudian muncul tokoh-tokoh seperti Mr. Kasman Singodimedjo, Mohammad Roem, Syamsurizal, dan lainnya. Sebagian besar dari mereka kemudian menjadi tokoh sentral di Masyumi. Buya Hamka menuturkan kesaksiannya tentang para pemuda generasi emas JIB ini:
“Intelek pejuang bekas didikan Haji A. Salim dan anggota Kernlingaam tadi, dengan sendirinya telah dapat menutup mulut kaum intelek didikan barat, yang siang malam bermimpi bahasa belanda tadi, yang memandang Islam sebagai, ‘Islam Sontoloyo, santri gudikan atau kiyai bini banyak atau kolam masjid kotor atau Islam yang tidak bisa dipakai untuk kemajuan atau orang Islam harus menganut modernisasi, kalau perlu musti pandai berdansa’ dan sebagainya.” (Hamka: 2002)

Mohammad Natsir memang menjadi figur yang menonjol dari aktivitasnya “menutup mulut kaum intelek didikan barat.” Pena-pena tajamnya menjadi bukti betapa gigihnya Natsir membela kehormatan Islam. Majalah Pembela Islam yang dikelola Natsir di Bandung menjadi saksi pembelaan Natsir terhadap Islam. Mulai dari isu penistaan terhadap Islam, ketidakadilan pemerintah kolonial, hingga isu-isu kebangsaan. Semua disajikan Natsir dalam tulisan yang tajam tetapi tetap beradab. Tak mengumbar retorika dan amarah nista.
Buya Hamka, yang menjadi salah satu pembaca Pembela Islam, mengatakan, “Mulai saja majalah itu dibaca, timbullah dalam jiwa semangat yang terpendam yaitu semangat hendak turut berjuang dalam Islam. Artikel-artikel yang dimuat di dalamnya menggugah perasaan hati untuk bangun, bergerak, berjuang hidup dan mati dalam Islam.” (Hamka: 1978)
Semua tentu mengingat perdebatan Natsir dan Soekarno tentang agama dan negara yang aktual dan nikmat tersebut. Salah satu “monument” perdebatan antara Islam dan sekularisme. Tak mungkin kita mempelajari sejarah pemikiran di Indonesia tanpa merujuk pada perdebatan Natsir dengan Soekarno tersebut.
Dari perdebatan dan tulisan-tulisan Natsir lainnya kita dapat melacak jejak pemikiran Natsir. Seorang pemimpin haruslah figur yang dapat ditelusuri dan dikenali pemikiran dan gagasannya. Mudah bagi kita untuk mengetahui gagasan Natsir dari segudang tulisan-tulisannya. Tiga jilid Capita Selecta adalah contoh mudah menelusuri gagasan dan pemikirannya. Dari tulisannyalah kita dapat mengetahui bahwa Natsir adalah figur yang ideologis. Mengusung Islam sebagai pandangan hidup.
Dari sebaran tulisan-tulisannya pula kita dapat mengetahui Natsir adalah figur yang berwawasan luas. Tulisannya merentang dari persoalan dakwah (lihat Fiqhud Da’wah), politik, sejarah hingga budaya. Ketika membuka kembali perdebatan Natsir dengan Soekarno maka kita paham, bahwa Natsir pun menyelami bacaan-bacaan Soekarno. Ia (mampu) mengunyah bacaan dari lintas ideologi.
Dari tulisan-tulisannya Natsir dapat dikenal oleh khalayak yang lebih luas menembus batas geografis dan ideologi. Buya Hamka misalnya, meski dikenal sebagai aktivis dan mubaligh dari Sumatera Barat, namun mengenal Natsir pertama kali melalui tulisan-tulisannya di Majalah Pembela Islam.
“Artikel-artikel dari M. Natsir di dalam majalah Pembela Islam itu sangat menarik hati saya. Saya pun seorang pengarang. Tetapi saya mengakui bahwa karangan Natsir memberi saya bahan untuk hidup, sehingga saking tertariknya saya kepada tulisan-tulisannya itu, saya pun mencoba mengirim karangan kepada Pembela Islam,dan karangan saya disambut baik dan dimuat dalam Pembela Islam.” (1978)
Lewat surat-surat Soekarno selama masa tahanan kepada Tuan Hassan, kita dapat mengetahui bahwa Soekarno pun ‘mengenal’ dan memuji tulisan-tulisan Natsir meski secara pribadi belum pernah bertemu. Itu sebabnya Soekarno berhubungan baik dengan Natsir hingga mempercayainya saat Menteri Penerangan. Meski kemudian perbedaan politik tajam memisahkan mereka. Natsir memilih jalan memperjuangkan Islam sebagai Dasar Negara.

Perjuangan Natsir untuk mengajukan Islam sebagai Dasar Negara adalah buah dari ideologinya. Ia maju memperjuangkan Islam sebagai Dasar Negara dalam Sidang Konstituante (1957-1959). Natsir konsisten memperjuangkan ideologinya baik kala ia menjadi aktivis maupun setelah ia menjabat berbagai jabatan tinggi di negeri ini. Natsir tidak menjadi pemimpin yang pragmatis apalagi oportunis. Tipikal pemimpin yang konsisten dengan ideologinya yang kita butuhkan. Bukan yang hidup dalam alam pragmatisme.
Dinamika dan intrik politik praktis tak membuat Natsir menjadi pragmatis. Ideologi justru membimbing Natsir menembus rintangan dan intrik dalam belantara politik kala itu. Sebab Natsir memang bukan tokoh karbitan atau yang dipaksakan terjun dalam politik. Ia telah memulainya jauh sejak menjadi Anggota KNIP, memimpin Masyumi, atau pun menjadi pejabat negara hingga Perdana Menteri. Pengalaman (ber)politik adalah satu kriteria yang dibutuhkan untuk menembus rimba politik yang penuh tipu daya.
Natsir juga tak tergoda kemewahan dunia yang dekat dengan kekuasaan. Kesederhanaan tentu yang diingat setiap orang yang pernah mengenalnya. Kesederhanaan Natsir bukanlah pencitraan. Tetapi buah dari keteladanan gurunya semacam Haji Agus Salim.
Kita tentu tidak hendak mencari duplikat dari Natsir di masa kini. Kita juga bukan ingin bernostalgia dan hidup dengan romantisme masa lalu. Yang kita perlu resap adalah pelajaran yang membentuk pribadi seorang pemimpin. Pemimpin yang ditempa oleh ulama, membersamai umat, menuliskan gagasan-gagasannya, konsisten dengan ideologi dan hidup dalam kesederhanaan. Sehingga kita dapat membentuknya di masa kini sebagai calon pemimpin umat Islam di masa depan.
Agar umat tak perlu (lagi) disodori pemimpin dadakan, karbitan dan tak lagi dijejali sekedar slogan memilih pemimpin dalam keadaan darurat. Memilih yang mudharatnya paling kecil. Disertai bunga-bunga pencitraan, ketergesaan dan pembenaran. Bisakah kita mulai melangkah jalan panjang tersebut? Di tangan para ulama dan umat yang bersatu kita dapat memulainya.