Oleh: Habibah Auni*
Isu Rohingya kembali muncul ke permukaan. Kabar yang masuk ke nusantara akhirnya adalah mengenai resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Resolusi PBB atas Rohingya akhirnya disahkan pada Jum’at, 27 Desember 2019.
Seperti yang kita tahu, ribuan orang Rohingya dibunuh sebab aksi represif oleh militer Myanmar pada tahun 2017. Kala itu Myanmar mengencangkan kampanye pembersihan di Rakhine dalam menanggapi serangan oleh kelompok pemberontak Rohingya. Pasukan keamanan tersebut diduga melakukan pemerkosaan massal dan pembunuhan serta membakar ribuan rumah.
Selain menerima tindakan kekerasan, Rohingya yang sudah lama menempati Rakhine, juga tidak dianggap bagian dari Myanmar. Mereka ditolak kewarganegaraannya sejak tahun 1982. Myanmar yang mayoritas beragama Buddha, abadi melabeli Rohingya sebagai “orang Bengali” dari Bangladesh. Alhasil, kebebasan bergerak dan hak-hak dasar lain orang Rohingya ditolak.
Perbuatan Myanmar menjadi sebuah hal yang ironis jika kita mereka memori kembali. Sejarahnya, Myanmar pernah penandatangan Konvensi Genosida 1948. Konvensi ini berisikan tentang pelarangan negara dalam melakukan kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM) bahkan genosida dan memaksa Myanmar untuk mencegah serta menghukum kejahatan genosida.
Resolusi yang baru saja dikeluarkan oleh PBB, mengamanatkan Myanmar agar melindungi semua golongan masyarakat dan menjamin keadilan untuk seluruh korban pelanggaran HAM. Resolusi yang disahkan ini memang bukanlah suatu produk hukum, namun 134 negara dari 193 negara anggota yang pro terhadap resolusi nampaknya dapat mencerminkan opini dunia.
Syukur-syukur Myanmar tidak jadi menelan ludah sendiri. Coba dipikir, Myanmar telah melakukan pelanggaran HAM terhadap Rohingya, namun ia juga menandatangani Konvensi 1948. Sebuah keironian bukan? Ultimatum yang diberikan oleh PBB setidaknya sudah menjadi alarm agar Myanmar menyudahi perbuatannya.
Peran Cina
Meskipun sudah ada sedikit titik terang dari perkara Rohingya ini, nampaknya kita tetap perlu mewaspadai ancaman yang akan datang. Ya, sebut saja marabahaya yang menanti berasal dari Cina. Wah, kenapa dari Cina? Karena Cina sebagai salah satu negara adikuasa memiliki kedekatan yang erat dengan Myanmar.
Cina yang kini memegang posisi ekonomi global yang sangat kuat, memandang Myanmar sebagai saudara Asianya yang patut dilindungi. Hal ini dikarenakan Cina tengah menjalankan projek Belt Road Initiative (BRI). Saking berharganya Myanmar bagi Cina, Cina sampai rela menggunakan hak veto-nya lagi untuk melindungi Myanmar dari hukuman PBB.
Anehnya, apa yang dilakukan Cina terhadap Myanmar sedikit keluar dari kebijakannya sendiri. Cina selama ini memegang prinsip bahwa ia tidak akan mengintervensi permasalahan HAM negara lain. Sekarang, Cina malah mencampuri urusan politik dalam negeri Myanmar.
Sudah terlihat jelas sekali Cina ingin mempertahankan Myanmar, lebih tepatnya menjerat negara Asia Tenggara itu dalam jaring laba-labanya. Cina yang tengah bersaing dengan Amerika Serikat (AS), merasa bahwa usaha negeri Paman Sam dilakukan untuk menghalau pengaruh Cina. AS yang terancam dengan projek BRI, mengintervensi keputusan di PBB dalam rangka memenangkan kontestasi geopolitik melawan Cina.
Melihat narasi Cina merantai kaki Myanmar, bisa disimpulkan bahwa apa yang dilakukannya hanyalah kepentingan ekonomi belaka. Beijing yang menganut sistem pemerintahan yang otoriter, tidak tertarik menolong Myanmar yang tengah bertransformasi dari negara yang militeristik menjadi demokratis. Dampaknya, Myanmar akan terus mengekor pada Beijing tanpa tau akan teraktualisasinya negara tanpa pelanggaran HAM.
Lantas apa yang harus dilakukan Myanmar dalam menyelesaikan persoalan Rohingya adalah meminta bantuan dari negara lain. Salah satu negara yang bisa dimintai tolong yakni Indonesia. Mengapa Indonesia? Berbeda dengan negara lain, Indonesia memiliki hubungan persaudaraan yang dekat sejak awal tanah air merdeka.
Urusan Ekonomi
Salah satu buktinya dapat diteropong dari segi ekonomi, dimana nilai perdagangan antara Indonesia dan Myanmar sudah mencapai 1 triliun US dolar pada tahun 2018 (Mizzima, 2019). Akumulasi perdagangan ini berhasil mencetak sejarah hubungan bilateral yang positif.
Adapun produk yang diperjualbelikan Hubungan antara Indonesia dan Myanmar fokus adalah sektor agrikultur, industri, tekstil, dan produk makanan. Indonesia mengekspor minyak kelapa sawit, minyak, plastik, karet, elektronik, dan part mobil ke Myanmar, sedangkan Myanmar menjual kayu jati ke Indonesia. Produk kayu jati yang diimpor ini sesuai cita-cita nusantara dalam peta jalan Making Indonesia 4.0 (Pramudyani, 2019).
Indonesia sendiri berkomitmen dalam memberi bantuan kemanusiaan di Negara Bagian Rakhine. Pak Jokowi saat melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden Republik Persatuan Myanmar Win Myint pada tahun 2018, pernah mengeluarkan statement: “Kepentingan Indonesia hanya satu, melihat Rakhine State stabil dan damai, dimana masyarakatnya, termasuk masyarakat muslim, dapat hidup dengan damai.”
Percayalah, karena Indonesia sudah berhasil membangun rumah sakit di Rakhine pada tahun 2019. Indonesia juga pernah diapresiasi Indonesia atas bantuan kemanusiaan sebesar 20 ton.
Hal yang agak disayangkan dari Indonesia adalah kurang memanfaatkan diplomasi secara maksimal untuk menyelesaikan perkara Rohingya. Keganjalan yang dapat ditemui adalah Myanmar yang sekarang ini, jauh terlampau percaya dengan Beijing dibandingkan dengan Indonesia. Padahal Indonesia dan Myanmar memiliki keakraban mulai dari liang lahat.
Memang tidak bisa disangkal secara ekonomi Indonesia jauh tertinggal dari Beijing, mengingat Indonesia sendiri ekonominya masih bergantung dengan Cina. Berdasarkan data ANP-INSIGHT (Ucu, 2019), Beijing menempati posisi global player pada level diplomacy in global perspective dan memiliki internal security serta external security yang sama-sama mencapai poin 1. Policy vitality Cina juga mencapai 0.89.
Sedangkan Indonesia hanya menempati posisi internal player yang lebih menekankan kepada kebijakan inward looking dengan policy vitality 0.33. Artinya, Indonesia memiliki daya tawar diplomasi yang lemah dibandingkan dengan Cina. Sehingga power yang dipunyai Indonesia untuk menyelesaikan masalah Rohingya sangatlah kecil.
Indonesia yang menganut asas politik luar negeri yang bebas aktif, menjadi enggan mengintervensi urusan negara lain. Ditambah lagi, Indonesia dan Myanmar yang merupakan anggota ASEAN, memegang prinsip non-intervensi. Prinsip ini melarang negara anggota ASEAN mencampuri urusan domestik anggota negara lainnya (Firman, 2017).
Jadinya Indonesia tidak berani mengambil langkah dalam perkara Rohingya, padahal perlakuan Myanmar terhadap etnis Rohingya sudah kelewat batas. Masalah hak asasi manusia seharusnya tidak tidak punya batasan. Terlebih lagi masalahnya sudah sangat jelas dan terekspos ke dunia internasional.
Tentu sangat disayangkan dari usaha Indonesia atas Rohingya yang kurang getol, padahal Indonesia sudah menjadi anggota DK PBB dan sangat terhormat posisinya di OKI (Organisasi Kerja Sama Islam) (Mulyadi, 2019). Jika saja Indonesia berani m
engambil langkah diplomasi, ia bisa merebut kembali hati Myanmar yang sekarang digenggam oleh Beijing.
Ketulusan Indonesia dalam menjalin kasih sayang dengan Myanmar, akan membuat problem solving Rohingya lebih mudah dicapai. Maka dengan kata lain, Indonesia harus memaksimalkan diplomasi dengan Myanmar baik dalam forum bilateral maupun multilateral.
*Penulis adalah Mahasiswa Univeritas Gajah Mada
Daftar pustaka:
Firman, T., 2017. Rohingya: Membandingka Respons Indonesia & Negara Lain. [Online]
Available at: https://tirto.id/rohingya-membandingkan-respons-indonesia-negara-lain-cv3b
[Accessed 29 Desember 2019].
Mizzima, 2019. Indonesian Ambassador Stresses Strong Ties on 70th Anniversary of Indonesia-Myanmar Relations. [Online]
Available at: http://mizzima.com/article/indonesian-ambassador-stresses-strong-ties-70th-anniversary-indonesia-myanmar-relations
[Accessed 29 Desember 2019].
Mulyadi, I., 2019. MUI Kritik Indonesia Kalah dari Gambia Soal Krisis Rohingya. [Online]
Available at: https://m.cnnindonesia.com/internasional/20191217174726-106-457798/mui-kritik-indonesia-kalah-dari-gambia-soal-krisis-rohingya
[Accessed 29 Desember 2019].
Pramudyani, Y. D., 2019. Tekstil Indonesia dipromosikan di Myanmar. [Online]
Available at: https://m.antaranews.com/berita/1183848/tekstil-indonesia-dipromosikan-di-myanmar
[Accessed 29 Desember 2019].
Ucu, K. R., 2019. Uighur dan Komitmen Indonesia Menyelamatkan Umat Islam. [Online]
Available at: https://m.republika.co.id/berita/kolom/wacana/19/02/16/pn00y7282-uighur-dan-komitmen-indonesia-menyelamatkan-umat-islam
[Accessed 16 Desember 2019].