Mematahkan Coklat di Hari Valentine

Mematahkan Coklat di Hari Valentine

Oleh: Muhammad Dyan*

Patung bertubuh manusia berkaki kambing berdiri tegak di pelataran sebuah kuil. Kepalanya bertanduk. Badannya kekar. Satu yang menonjol dari patung tanpa busana tersebut adalah alat reproduksi pria yang terlihat jelas. Bagian terakhir menjadi sangat penting karena ini adalah patung Lupercus, dewa kesuburan.

Di hadapannya, pendeta menyembelih seekor kambing sebagai persembahan. Lalu dengan mengenakan baju kulit kambing, setelah minum anggur, pendeta berkeliling Kota Roma dan menyentuh siapa saja yang mereka jumpai di sepanjang jalan.

Setiap warga antusias mengikuti ritual ini, terlebih para gadis belia. Mereka beramai-ramai turun ke jalan hanya agar bisa menyentuh kulit kambing tersebut. Percaya akan dikarunia kesuburan dan bisa melahirkan dengan mudah jika berhasil menyentuhnya.

Gambaran di atas adalah sekilas festival Lupercalia yang dirayakan setiap 15 Februari pada masa Romawi Kuno untuk mengusir roh jahat, membersihkan kota, meraih kesehatan, dan terpenting mendapatkan kesuburan. Festival yang kemudian menjadi cikal bakal Valentine’s day.

Lalu, mengapa sekarang Valentine’s day dirayakan tanggal 14 Februari? Adalah Paus Gelasius pada abad kelima yang menetapkan hari Valentine pada 14 Februari. Dengan menetapkan 1 hari sebelum festival Lupercalia, diharapkan festival kuno tersebut akan dilupakan dan digantikan dengan ingatan akan tokoh yang merepresentasikan gereja, bukan dewa kuno.

Konon, nama diambil dari Santo Valentinus yang dihukum mati kaisar karena merestui pernikahan dua kekasih sekalipun dilarang kaisar yang berkuasa.

Bisa dikatakan usaha sang paus berhasil. Masyarakat kini melupakan ajaran Romawi Kuno dan menganggap Valentine sebagai tradisi Nasrani. Dari abad ke abad, “pemasaran” tradisi ini makin sukses dan kini dianggap sebagai perayaan umum yang diperingati segenap penduduk dunia.

Kini valentine menjadi produk budaya yang rutin dilakukan, sehingga pandangan orang terhadap hari tersebut adalah benar, dan menganggap hanya Agama Nasrani sajalah yang menomersatukan kasih sayang.

Lewat pesan formal perayaan Valentine mulai muncul pada tahun 1500-an dan akhir 1700-an dalam kartu yang dicetak secara komersial. Perayaan Valentine komersial pertama di Amerika Serikat dicetak pada pertengahan 1800-an. Simbol Valentine dilambangkan Cupid (Dewa Cinta Romawi), burung, permen dan bunga, mawar.

Hingga sampai saat ini faktanya Valentine’s day semakin populer, Setiap Valentine’s Day usai, banyak kondom berserakan di tempat rekreasi karena hubungan seks bebas (zina massal), minuman keras dan narkotika yang meruntuhkan tatanan nilai masyarakat yang beradab. Dan hasil survei pun memuat bahwa 20% remaja yang hamil diluar nikah terjadi setelah perayaan yang menjerumuskan ini.

Survei Kristen Mark menunjukkan 85% responden menganggap bercinta sebagai perkara penting pada hari Valentine. “Begitu pula Sigi National Retail Federation menyebutkan, 51% orang akan melakukan (hubungan intim) pada momen yang diidentikkan sejumlah kalangan sebagai hari kasih sayang.

Hal ini ditunjang dari data penjualan kondom yang menunjukan penjualan tertinggi jatuh pada hari cinta yang mencapai peningkatan 25%.

Dan tradisi Valentine adalah salah satu produk yang berhasil dipasarkan dengan sangat baik sehingga mendunia, dan mampu mencitrakan agama Nasrani sebagai agama kasih sayang.

Lalu, bagaimana Islam memandangnya? Sederhananya, jika Muslim merayakan hari Valentine, mereka sudah menjadi korban marketing perayaan tersebut. Padahal, dalam sejarah Islam, kita bisa melihat betapa penting umat Islam untuk mempunyai ciri khas, berkepribadian, dan membedakan diri dari yang lain.

Lihat sejarah adzan. Ketika umat Islam ingin menemukan cara memanggil untuk shalat, mereka berdiskusi. Sepakat tidak memakai lonceng, terompet, dan cara yang sudah dilakukan agama lain, sampai akhirnya muncul petunjuk untuk menggunakan metode azan.

Lihat pula sejarah tahun Hijriyah. Perhitungan berdasarkan bulan sendiri sudah merupakan tradisi Arab, tetapi pemilihan kapan dimulainya tahun hijrah berbeda. Mereka menghitung dari saat Hijrah Rasul, bukan berdasarkan kelahiran sebagaimana kebanyakan budaya lain. Begitu juga memanjangkan janggut dan mencukur kumis, salah satu cara membedakan diri.

Bahkan, jika kita analisis sejarah, ketika Paus Gelasius memutuskan mengadakan perayaan Valentine’s day, di dalamnya ada semangat membedakan diri dari ajaran Romawi Kuno, sekaligus juga strategi menghilangkan tradisi tersebut dengan memilih waktu satu hari lebih cepat.

Valentine’s day. Merayakannya membuat umat Islam tidak membedakan diri, lebih parah justru mencitrakan Islam seolah tidak punya hari kasih sayang padahal dalam Islam, kasih sayang seharusnya dirayakan setiap hari.

Kasih sayang adalah nama Allah ﷻ. yakni Ar-Rahman dan Ar-Rahim yang mesti menjadi penghias pribadi Muslim setiap saat, kapan dan di mana pun.

Sementara, Valentine’s Day, tidak bisa dilepaskan dari ritual agama Romawi dan Kristiani yang dikemas menjadi kegiatan biasa dan untuk semua orang. Bahkan dijadikan justifikasi untuk menghalalkan kemaksiatan kolektif yang merusak akidah dan akhlak.

Valentine’s Day adalah wujud kejahiliyahan modern yang boleh jadi lebih buruk dari jahiliyah pra Islam yang lokal dan konvensional.

Kejahiliyahan modern, menurut Muhammad Qutub dalam buku Jahiliyah Abad 20, adalah kerusakan moral yang dibingkai secara sistematis dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan mengabaikan nilai-nilai ketuhanan.[]

*Jurnalis

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses