Mari Tunaikan Zakat Sesuai Syariat Dengan Dinar Atau Dirham

Mari Tunaikan Zakat Sesuai Syariat Dengan Dinar Atau Dirham

JURNIS – Seluruh ketentuan syariat yang berkaitan dengan harta dan muamalat (jual-beli, utang-piutang, dsb) termasuk untuk zakat uang dan perdagangan, ditetapkan dalam Dinar emas atau Dirham perak. Adapun Dinar adalah koin emas (22K, 91,7%) seberat 4,25 gram, sedangkan Dirham adalah koin perak murni seberat 2,975 gram.  Nisabnya pun ditetapkan dengannya, yaitu 20 Dinar (85 gram emas) dan 200 Dirham (595 gram perak).

Untuk membayarkannya pun harus dengan Dinar atau Dirham, sebesar 2,5% dari total harta yang dimiliki setelah satu tahun. Zakat tidak dapat dibayarkan dengan uang kertas (dayn atau nota uang).

Berikut syariat zakat yang difatwakan oleh para ulama,

  1. Posisi Madzhab Syafi’I

Imam Syafi’i, dalam kitabnya Risalah, menyatakan:  Rasulullah SAW memerintahkan pembayaran zakat dalam perak, dan kaum muslim mengikuti presedennya dalam emas, baik berdasarkan (kekuatan) hadits yang diriwayatkan kepada kita atau berdasarkan (kekuatan) qiyas bahwa emas dan perak adalah penakar harga yang digunakan manusia untuk menimbun atau membayar komoditas di berbagai negeri sebelum kebangkitan islam dan sesudahnya.

Manusia memililki berbagai (jenis) logam lain, seperti kuningan, besi, timbale yang tidak pernah dibebani zakat baik oleh Rasulullah SAW maupun para penerusnya. Logam-logam ini dibebaskan dengan dasar (pada kekuatan) preseden, dan kepada mereka, dengan qiyas pada emas dan perak, tidak seharusnya dibebani xakat karena emas dan perak digunakan sebagai standar harga di semua negeri, dan semua logam lainnya dapat dibeli dengan keduannya dengan dasar kadar berat tertentu dalam waktu tertentu pula.

  1. Posisi Madzhab Maliki

Syekh Muhammad Illysh, Mufti Al Azhar, pada 1900-an, mewakili posisi Maddhab Maliki, secara tegas mengharamkan uang kertas sebagai alat pembayaran zakat. Fatwanya:

Kalau zakat menjadi wajib karena pertimbangan substansinya sebagai barang berharga (merchandise), maka nisabnya tidak ditetapkan berdasarkan nilai (nominal)-nya melainkan atas dasar substansi dan jumlahnya, sebagaimana pada perak, emas, biji-bijian, atau buah-buahan. Karena substansi (uang kertas) tidak relevan (dalam nilai) dalam hal zakat, maka ia harus diperlakukan sebagaimana terbaga, besi, atau substansi sejenis lainnya.

Maksudnya, sama dengan posisi Imam Syafi’I, (uang) kertas disamakan dengan besi dan tembaga, hanya dapat dinilai berdasarkan beratnya, sedangkan nilainya harus ditakar dengan nuqud (Dinar atau Dirham). Ketiganya, terkena zakat hanya bila diperdagangkan, dan tidak sah dipakai sebegai pembayar zakat.

  1. Posisi Madzhab Hanafi

Imam Abu Yusuf, satu diantara dua murid utama Imam Abu Hanifah, dan pendiri Maddhab Hanafi, menulis surat kepada Sultan Harun Al Rashid, (memerintah 170H/786M – 193H/809M). ia menegaskan keharaman uang selain emas dan perak sebagai alat pemberian zakat. Ia menulis:

Haram hukumnya bagi seorang khilafah untuk mengambil uang selain emas dan perak, yakni koin yang disebut Sutuqa, dari pemilik tanah sebagai alat pembayaran kharaj dan ushr mereka. Sebab walaupun koin-koin ini merupakan koin resmi dan semua orang menerimanya, ia tidak terbuat dari emas melainkan tembaga. Haram hukumnya menerima uang yang bukan emas dan perak sebagai zakat atau kharaj.

Kesimpulannya adalah dari fatwa hukum para imam di atas sangat jelas bahwa zakat harta dan perniagaan tidak dapat dibayarkan, kecuali hanya dengan Dinar emas atau Dirham Perak.

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.