JAKARTA (jurnalislam.com)– Mantan Menko Polhukam Mahfud MD menanggapi langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tengah menelisik dugaan aliran dana korupsi kuota haji ke Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Hal itu ia sampaikan melalui kanal YouTube pribadinya, Mahfud MD Official, pada Selasa (16/9/2025).
Mahfud menilai kecil kemungkinan dana hasil korupsi masuk ke PBNU secara institusional. Menurutnya, jika memang ada keterlibatan, hal itu lebih mungkin dilakukan oleh oknum di lingkungan PBNU, bukan secara resmi melalui bendahara atau struktur organisasi.
“Agak susah sepertinya korupsi seperti itu mengalir kepada sebuah organisasi dalam nama organisasi. Yang mungkin terjadi menurut saya bukan PBNU, tapi oknum PBNU, dan itu tidak masuk ke keuangan resmi,” kata Mahfud.
Meski begitu, ia menegaskan bahwa KPK tidak mungkin sembarangan menyebut nama jika tidak memiliki indikasi awal. “Saya percaya kalau KPK sudah berbicara itu pasti indikasinya sudah ada. Tapi ini bisa ormas, bisa personal,” ujarnya.
Mahfud menjelaskan bahwa modus korupsi kuota haji biasanya terkait penjualan kuota tambahan. Kuota reguler yang seharusnya diberikan kepada jamaah biasa dialihkan menjadi kuota khusus dan kemudian dijual melalui biro travel dengan harga tinggi.
“Biaya resmi haji khusus sekitar Rp90 juta, tapi ketika dijual bisa menjadi Rp700 juta hingga Rp1 miliar. Kalau 8.600 orang dialihkan, hitung saja keuntungannya ratusan juta bahkan miliaran. Dari situlah biasanya muncul kick back, dan PPATK bisa menelusurinya,” papar Mahfud.
Ia juga menyinggung pola lain berupa pemberian jatah haji kepada individu tertentu yang dekat dengan organisasi. “Misalnya ada orang NU dikasih jatah haji, tapi itu tidak berarti masuk ke PBNU sebagai institusi. Jadi sangat mungkin ada oknum yang bermain,” jelasnya.
Lebih jauh, Mahfud mengutip data yang sempat diungkap Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, terkait dugaan fasilitas haji gratis bagi istri pejabat, hingga adanya rangkap jabatan dalam penyelenggaraan haji.
“Misalnya ada amirul hajj yang juga menjabat menteri agama, sudah dapat honor sebagai amirul hajj, tapi juga menempatkan diri sebagai pengawas dengan honor terpisah. Sehari Rp8 juta, tinggal dikalikan berapa lama tinggal di Mekkah,” kata Mahfud.
Ia menekankan bahwa dugaan keterlibatan tidak hanya bisa diarahkan ke NU, melainkan juga ormas atau pihak lain. “Menyebut ormas hanya NU itu kurang tepat. Sejauh data yang saya punya, bukan hanya NU. Tapi kalau memang KPK sudah menyebut NU, biarkan proses hukum berjalan,” tandasnya.
Kontributor: Bahry