TEL AVIV (jurnalislam.com)– Kabinet Israel menyetujui rencana untuk menduduki Jalur Gaza meskipun mendapat penolakan keras dari militer dan tim negosiasi, yang memperingatkan risiko besar terhadap keselamatan para sandera Israel di wilayah tersebut. Keputusan itu diambil dalam rapat kabinet keamanan selama 10 jam pada Kamis (7/8/2025), dengan mayoritas menteri mendukung lima tujuan utama mengakhiri perang.
Menurut kantor perdana menteri, tujuan itu meliputi “pelucutan senjata Hamas; pengembalian semua sandera hidup dan mati; demiliterisasi Jalur Gaza; kendali Israel di Jalur Gaza; serta pembentukan pemerintahan sipil alternatif yang bukan Hamas maupun Otoritas Palestina.”
Berdasarkan rencana tersebut, militer Israel akan “bersiap mengambil alih Kota Gaza sambil mendistribusikan bantuan kemanusiaan kepada penduduk sipil di luar zona pertempuran.”
Seorang pejabat senior mengatakan kepada Haaretz bahwa tidak ada rencana memasuki Gaza tengah atau menduduki kamp pengungsi. Namun, sumber lain mengatakan kepada The Times of Israel bahwa setelah merebut Kota Gaza, pasukan akan bergerak ke seluruh wilayah kantong itu. Pengungsian paksa penduduk Kota Gaza ditargetkan selesai pada 7 Oktober 2025, bersamaan dengan dimulainya operasi.
Citra satelit yang ditinjau NBC menunjukkan penumpukan militer di sepanjang perbatasan Gaza, yang konsisten dengan persiapan invasi darat. Empat sumber menyebutkan citra itu mengindikasikan operasi skala besar dalam waktu dekat.
Media Israel juga mencatat, penghilangan istilah “pendudukan” dari pernyataan resmi dimaksudkan untuk menghindari kewajiban hukum internasional terkait pemenuhan kebutuhan penduduk Gaza dan pencegahan pengusiran paksa. Meski demikian, seorang pejabat senior kepada YNET menegaskan, “Dalam praktiknya, tujuannya adalah pendudukan Gaza.”
Rencana ini menuai penentangan dari Kepala Staf Militer Eyal Zamir. Ia memperingatkan, “Nyawa para sandera akan terancam jika kita melanjutkan rencana pendudukan Gaza ini. Tidak ada jaminan bahwa kita tidak akan menyakiti mereka.”
Lebih lanjut, Zamir juga menyoroti kondisi pasukan yang “sudah usang”, perlunya perawatan peralatan militer, serta risiko kemanusiaan dan sanitasi bagi warga Palestina. Menurutnya, pendudukan penuh Gaza bisa memakan waktu dua tahun, dengan lima bulan pertempuran intens di tahap awal.
Di ranah politik, partai-partai oposisi mengecam keputusan tersebut. Ketua Yesh Atid, Yair Lapid, menyebutnya sebagai “bencana yang akan menyebabkan lebih banyak bencana” dan diambil “bertentangan sepenuhnya dengan pendapat jajaran militer dan keamanan.”
Pemimpin Uni Demokratik Yair Golan menilai kebijakan itu sebagai “bencana bagi generasi mendatang” yang berpotensi membuat lebih banyak sandera “ditelantarkan hingga tewas.” Ketua Yisrael Beytenu, Avigdor Liberman, menuding Netanyahu “mengorbankan keamanan warga negara Israel demi kursinya.”
Sementara itu, keluarga para sandera menyebut keputusan Netanyahu sebagai “surat perintah hukuman mati bagi para sandera yang masih hidup dan hukuman penghilangan paksa bagi para sandera yang telah meninggal.” (Bahry)
Sumber: TNA