Inilah Laporan Investigasi Utusan PBB di Desa Maungdaw Rohingya yang Dibantai

Inilah Laporan Investigasi Utusan PBB di Desa Maungdaw Rohingya yang Dibantai

MYANMAR (Jurnalislam.com) – Seorang utusan hak asasi manusia PBB mengatakan pada hari Jumat bahwa pemberontakan bersenjata di bagian barat Myanmar adalah karena terjadinya diskriminasi yang dilembagakan oleh pemerintah terhadap kelompok minoritas Muslim Rohingya yang tidak diakui negara selama puluhan tahun, World Bulletin melaporkan, Jumat (20/01/2017)

Yanghee Lee, pelapor khusus PBB tentang hak asasi manusia di Myanmar, mengunjungi Maungdaw wilayah negara bagian Rakhine barat, dimana sekitar 80 hingga 400 warga Muslim Rohingya dibantai sejak militer melancarkan operasi terhadap para pejuang yang menyerang kantor polisi pada Oktober 2016.

“Saya harus mengingatkan lagi bahwa serangan ini terjadi dalam konteks diskriminasi yang sistematis dan melembaga terhadap penduduk Muslim Rohingya selama puluhan tahun,” kata Lee kepada wartawan pada konferensi pers di bekas ibukota Myanmar Yangon, Jumat.

“Individu yang teraniaya mengambil tindakan perlawanan,” katanya.

Sekitar 400 warga desa Rohingya, sebagian besar bersenjatakan pisau dan tongkat kayu, membunuh sembilan petugas saat menyerang pos-pos polisi di distrik Maungdaw dekat perbatasan negara itu dengan Bangladesh pada 9 Oktober.

Para penyerang dipelopori oleh kelompok Harakah al-Yaqin yang didukung Saudi, yang telah bertahun-tahun merekrut dan melatih pejuang di Bangladesh dan Rakhine utara, menurut laporan oleh International Crisis Group (ICG) bulan lalu.

ICG mengatakan perlawanan muncul setelah kekerasan agama terhadap kaum Muslim Rohingya pada tahun 2012 yang mematikan dan bertujuan untuk memajukan hak-hak politik minoritas Muslim Rohingya yang selau dianiaya.

Lee telah meminta pemerintah untuk mengakhiri diskriminasi terhadap Muslim Rohingya di barat negara itu, yang digambarkan oleh PBB sebagai salah satu kelompok minoritas paling teraniaya di dunia.

“Saya percaya jika populasi yang terkena dampak merasa bahwa pemerintah baru akan mulai menangani situasi dan keluhan mereka, maka unsur-unsur ekstrim tidak akan mudah mampu membajak perjuangan mereka,” kata Yanghee Lee.

Lee telah pada hari Jumat menyimpulkan setelah melakukan kunjungan 12-hari untuk mengumpulkan informasi ke Myanmar sebagai bagian dari misinya mengkompilasi laporan untuk diserahkan kepada Dewan HAM PBB Maret 2017.

Selama perjalanan empat hari ke negara bagian Rakhine, Lee juga berbicara dengan orang Rohingya yang ditahan karena dituduh terlibat dalam serangan itu.

“Sebagian besar tahanan tidak tahu mengapa mereka berada di sini (di penjara),” katanya.

Dalam tindakan keras militer berikutnya, akses bagi lembaga bantuan dan wartawan independen ke daerah mayoritas Muslim Rohingya ditolak, dan sedikitnya 101 orang – 17 polisi dan tentara, delapan orang Muslim yang bekerja sama dengan otoritas lokal, dan 76 terduga “penyerang” (termasuk enam yang dikabarkan meninggal selama interogasi) – tewas dan lebih dari 600 orang ditahan karena dituduh terlibat.

Namun kelompok advokasi Rohingya melaporkan sekitar 400 Rohingya – yang dijelaskan oleh PBB termasuk kelompok yang paling teraniaya di seluruh dunia – tewas dalam operasi militer. Banyak wanita juga diperkosa secara masal dan lebih dari 1.000 rumah di desa Rohingya dibakar.

Bagikan