Ini Pesan Psikolog Elly Risman soal Pengasuhan Saat Pandemi

Ini Pesan Psikolog Elly Risman soal Pengasuhan Saat Pandemi

JAKARTA(Jurnalislam.com) – Psikolog yang juga spesialis pengasuhan anak Elly Risman Musa mengajak merenungi kembali pentingnya keluarga dan menyentil kesadaran dalam kepengasuhan di masa pandemi.

Di antaranya, Pendiri Yayasan Kita dan Buah Hati ini mengemukakan perihal realitas baru yang harus dihadapi oleh orangtua di rumah. Tren pandemi Covid-19 hingga kini masih tinggi, anak anak belum sekolah. Semua di rumah.

“Kita tidak pernah jadi guru, sekarang kita harus jadi guru. Sekarang satu anak saja mata pelajarannya berbeda-beda dan sekarang kita harus menjadi guru dari sekian anak, sekian jenjang. Setelah itu kita tidak mengerti dan lebih-lebih mereka (anak) tidak mengerti. Lalu mereka tanya kita, kita nggak tahu harus jawab apa,” kata Elly.

Hal itu disampaikan Elly dalam acara Webinar Series 02 Pra Munas V Hidayatullah bertajuk “Mengokohkan Jatidiri Keluarga Sebagai Basis Peradaban Islam”, Sabtu kemarin sebagaimana siaran pers Panitia Munas V(irtual) Hidayatullah kepada media di Jakarta, Ahad (20/09/2020).

“Sebelumnya kita sub-kontrakkan anak kita ke sekolah selama delapan jam atau ke pesantren berbulan bulan. Nanti anak ketemu kita orangtua setelah berbulan-bulan. Kita tidak tahu dan tidak pernah bersama seperti saat sekarang ini,” imbuhnya.

Dengan adanya pandemi, Elly melanjutkan, orangtua akhirnya harus jadi guru bahkan sebagai guru les serta berperan sebagai guru semua jenjang dan tidak bisa minta tolong kepada siapa-siapa.

Di sisi lain, terdapat masalah pelik dimana tidak sedikit guru-guru tidak pernah diajar bagaimana mengajar daring dan anak-anak tidak diberi instruksi sebagai bekal.

Elly kemudian mengajak peserta webinar membayangkan dan menjawab perasaan masing-masing tentang pandemi yang sudah berlangsung lama ini di secarik kertas/ kolom chat. Ada yang menjawab stres, khawatir, takut, dan lain sebagainya.

“Perasaan adalah sesuatu yang sangat penting bagi manusia. Kalau (perasaan) dikenali, apalagi dia diterima, orang itu akan merasa seluruh dirinya diterima,” imbuhnya pada acara yang disiarkan live streaming kanal Youtube Hidayatullah ID dan telah disaksikan dua ribu lebih pemirsa tersebut.

Elly lalu meminta para ayah ibu untuk kembali membayangkan, selama 6 bulan masa pandemi ini tak ada yang tanya tentang perasaannya.

“Selama 6 bulan pandemi ini, ada nggak sih yang menanyakan perasaan Anda? Jangan-jangan ayah bunda juga nggak ada yang nanya perasaannya. Bercampur aduk perasaannya, apalagi sekarang dipertontonkan jenazah, kuburan, rumah sakit, 117 paramedis yang meninggal,” tukasnya.

Bunda Elly lantas menuturkan ilustrasi dengan berkisah yang memisalkan peserta, yang diwakili moderator acara, sebagai anaknya. Diasumsikan dialog ini terjadi antara orangtua kepada sang anak.

“Hidup itu dulu susah. Mama dulu itu ngerasain, Nak, sebelum melahirkan kamu, itu mama pernah ngalamin pergi antre sembako. Pernah dulu mama kecil, baju sekampung itu sama. Jadi, sulit sekali.”

“Oleh sebab itu, mama sama bapak, Nak, berusaha benar dan berjanji beritikad berdua agar bagaimana caranya kamu dan adik adikmu nak sekolah sampai ke tingkat tertinggi kalau bisa. Kenapa, kalau kau bisa sarjana, Nak, kami harapkan hidupmu akan lebih baik daripada kami.”

“Sampai di situ, kamu ngerti, Nak?”

“Jadi oleh sebab itulah mama dan papa berusaha menekankan keberhasilan akademis. Supaya sukses bahkan kalau bisa jadi pegawai negeri karena PNS itu nggak ada bangkrutnya,” lanjut Elly meneruskan analoginya.

Elly kemudian mengajak peserta webinar menarik ibrah dari tamsil yang dituturkannya tersebut. “Sampai di sini berhenti dulu menjadi anak. Jadilah orangtua,” katanya.

“Bukankah engkau, anak-anakku, selalu menekankan keberhasilan akademik anak-anakmu. Dan engkau terus mengindoktrinasi mereka untuk menjadi pegawai negeri. Dari mana, Nak? Dari mama,” ujarnya seraya mengajak berefleksi.

“Dari jaringan-jaringan otakmu yang mama bentuk sejak kecil, penting banget reputasi akademik itu. Mama, Nak, gak bisa mengenali diri mama, Nak,” lanjutnya.

Orangtua acapkali mengutamakan aspek akademik semata dengan harapan kelak anak menonjol dari sisi keduniaan namun lupa mentahtakan Allah Subhanahu Wata’ala dalam hati dan sanubarinya.

“Masa depan itu tergantung pendidikan, bukan karena Allah. Itu indoktrinasi yang selalu ditanamkan. Sementara kita nggak pernah mendengarkan perasaan. Coba ayah bunda menanyakan perasaan itu semua,” ujarnya.

Orangtua, lanjut Elly, harus berusaha mendengarkan, memahami, dan mendeteksi perasaan anak. Meruyaknya data kasus kenakalan remaja, pergaulan bebas, atau perceraian karena disebabkan perasaan yang tidak didengarkan.

Hal itu terjadi karena orangtua menggunakan pola interaksi yang keliru kepada anak-anaknya sehingga membuat moralnya jatuh, kepercayaan dirinya ambruk, dan akhirnya menjadi terasing. Karena itu, orangtua harus memiliki waktu mendengar aktif dan menghindari 12 gaya populer yang masih kerap dilakukan kepada anak.

Elly menekankan, orangtua perlu sekali menghindari 12 gaya tersebut yaitu memerintah anak, menyalahkan, meremehkan, membanding-bandingkan, mencap atau memberi label buruk, mengancam, menasihatinya di waktu yang tidak tepat sambil memaksanya harus menyimak dengan kata kata misalnya “dengerin mama!”.

Orangtua juga jangan sekali-kali membohongi anak dengan janji yang tak ditepati, menghiburnya dengan kesenangan sementara seperti memberi uang jajan tanpa memberikan pengertian terlebih dahulu, mengkritiknya dengan kasar, menyindir dan menganalisa semua hal yang kita anggap negatif pada dirinya.

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.