Ini 12 Poin Bermasalah RKUHP Menurut Pakar Hukum

Ini 12 Poin Bermasalah RKUHP Menurut Pakar Hukum

JAKARTA(Jurnalislam.com)– Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) bersifat ketat dan represif.

Pemerintah diminta melakukan sosialisasi maksimal terhadap ketentuan baru dalam RKUHP supaya tidak menjerumuskan masyarakat ke sanksi pidana.

“RKUHP ini lebih ketat dan represif. Karena itu, menjadi tugas pemerintah untuk lebih mensosialisasikan ketentuan-ketentuan yang baru kepada masyarakat dengan berbagai cara agar masyarakat tidak terjerumus kepada pelanggaran yang hanya akan merugikan hidupnya, ” ujar Abdul ketika Kamis (19/9).

Kemudian, masyarakat diminta untuk lebih banyak menyelesaikan masalah yang lahir dari interaksi kehidupan dengan cara damai damai dan musyawarah. “Demikian juga  jangan lupa ketika mengambil keputusan keputusan yg bersinggungan dengan orang lain sebaiknya dikonsultasikan ke ahlinya agar tidak menimbulkan masalah yang kemudian dibawa ke ranah hukum,” lanjut Abdul.

Lebih lanjut Abdul menjelaskan, beberapa tindak pidana masih bermasalah berdasarkan ketentuan pasal-pasal dal RKUHP yang saat ini dibahas. Menurut dia, setidaknya ada 12 kelompok tindak pidana yang bermasalah.

Keduabelas hal itu yakni :

  1. Pasal 2 ayat (1), Pasal 598 RKUHP, soal hukum yang hidup di masyarakat.

Ketentuan ini sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam UU ini.

Pasal yang mengatur hukum yg hidup dlm masyarakat ini mengandung penyimpangan asas legalitas dan kriminalisasi yang tidak jelas. Pasal ini dapat menimbulkan kesewenangan aparat karena frasa hukum yang hidup di masyarakat multitafsir, dan tafsir hilangnya sifat melawan hukum delik materil. Abdul menilai pasal ini bisa menjadi ketentuan karet.

  1. Pasal 67, Pasal 99, Pasal 100, Pasal 101 RKUHP, soal hukuman mati.

Hukuman mati seharusnya dihapuskan karena bertentangan dengan pasal 28 i UUD 1945. Demikian juga sesuai dengan perkembangan bahwa 2/3 negara di dunia sudah mengahapuskan hukuman mati. Pemberian masa percobaan untuk menunda eksekusi pidana mati seharusnya menjadi hak setiap orang yang diputus dengan pidana mati, tidak boleh bergantung pada putusan hakim.

  1. Pasal 167 RKUHP soal pengaturan makar.

Definisi makar tidak sesuai dgn asal kata makar yaitu ‘aanslag‘ yang artinya serangan. RKUHP cenderung mendefenisikan makar menjadi pasal karet yang dapat digunakan untuk memberangus kebebasan berekspresi dan berpendapat.

  1. Pasal 281-282 RKUHP yang memuat masalah kriminalisasi tindak pidana contempt of court.

Pasal ini  memuat rumusan karet yang berpotensi  mengekang kebebasan berpendapat termasuk kebebasan pers.

  1. Pasal 440-449 RKUHP soal pengaturan tindak pidana penghinaan.

Pasal ini  juga sebagai pasal karet. Seharusnya, ada pengecualian seperti:

– dilakukan untuk kepentingan umum, – dilakukan karena terpaksa membela diri,

– tidak ada kerugian yang nyata,

– pernyataan yang disampaikan secara emosional,

– pernyataan tersebut disampaikan kepada penegak hukum,

– pernyataan tersebut dilakukan dalam koridor pelaksanan profesi yang dilakukan sesuai kode etik profesi,

– pernyataan tersebut tidak dilakukan di depan umum atau

– merupakan korespondensi secara pribadi,

– pernyataan yang disampaikan adalah kebenaraan

  1. Pasal-pasal kolonial yang sudah tidak relevan untuk masyarakat demokratis, seperti:

– pasal 218, Pasal 219 RKUHP, soal penghinaan

presiden.

– Pasal 240-241 RKUHP soal penghinaan pemerintah yang sah.

– Pasal 353-354 RKUHP soal penghinaan Kekuasaan Umum/ Lembaga Negara.

Pasal-pasal ini selain tak relevan untuk masyarakat demokratis, juga karena sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

  1. Pasal 417 ayat (1) tentang kriminalisasi persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan di luar perkawinan.

Negara dinilai  terlalu jauh menggunakan hukum pidana untuk masuk pada hak konstitusional warga Negara yang bersifat privat.

  1. Pasal 414-415 RKUHP soal mempertunjukkan alat pencegah kehamilan.

Kontraproduktif dengan upaya penanggulangan HIV. Menunjukkan kondom adalah cara paling efektif pencegah penyebaran HIV dan sudah didekriminalisasi pada 1978 oleh BPHN (1995):

  1. Pasal 470 s.d 472 RKUHP  tentang Kriminalisasi setiap perempuan yang melakukan pengguguran kandungan.

Ada pengeculian hanya untuk dokter yang melakukan aborsi. Bertentangan dengan Pasal 75 UU Kesehatan dan Fatwa MUI No 4 tahun 2005, serta diskriminatif terhadap perempuan. Ada beberapa kasus di mana korban perkosaan yang melakukan aborsi kemudian dikriminalisasi akan terus terjadi.

  1. Pasal 611-616 RKUHP soal tindak pidana narkotika.

Pendekatan pidana tidak terbukti efektif, seharusnya lebih ditekankan pada upaya rehabilitasi.

  1. Pasal 604-607 RKUHP soal tindak pidana korupsi.

Pemuatan pasal-pasal korupsi tidak boleh menggradasi statusnya sebagai tindak pidana luar biasa dan melemahkan KPK.

RKUHP dinilai tidak mengadopsi pengaturan khusus yang ada dalam UU Tipikor, khususnya pasal 15 mengenai percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi yang akan dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana tindak pidana korupsi yang bersangkutan selesai dilakukan (delik penuh). Dalam RKUHP saat ini, tidak mengenal pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti.

  1. Pasal 599-600 RKUHP soal tindak pidana pelanggaran HAM yang berat.

Asas retroaktif untuk pelanggaran HAM berat tidak diatur didalam buku 1 RKUHP. Akibatnya tindak pidana pelanggaran HAM berat kehilangan asas khusus yang sebelumnya telah melekat di pengaturan UU Nomor 26 Tahun 2000. Masuknya frasa kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan ke dalam RKUHP dikhawatirkan akan menjadi penghalang untuk adanya penuntutan.

Sebelumnya, Rapat Kerja Komisi III DPR dengan Menkumham pada Rabu (18/9) siang menyepakati RKUHP dibawa pada pembicaraan tingkat II dalam Rapat Paripurna DPR untuk disahkan menjadi UU. Rapat Paripurna pengesahan RKUHP itu dijadwalkan akan berlangsung pada Selasa (24/9).

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan Kemenkumham akan membentuk tim sosialisasi RKUHP baru. Tim tersebut, menurut Yasonna, merupakan orang-orang yang memahami RKUHP agar tidak disalahartikan masyarakat.

“Pasti akan bentuk tim sosialisasi dari DPR dan Kemenkumham. Saya mau yang menjelaskannya adalah tim yang benar-benar mendalami agar penjelasannya benar,” kata Yasonna usai Rapat Kerja dengan Komisi III DPR RI, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu.

Sumber: republika.co.id

 

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.