Hukum Dan Batasan-batasan Wanita Dalam Bekerja

Banyak persoalan yang dialami oleh kaum wanita muslimah di adab modern ini, karena tidaklah mudah untuk mengaplikasikan konsep-konsep yang mereka terima di majelis ilmu dan menjadi sosok sempurna sebagai seorang muslimah. Terutama bagi kaum muslimah yang sudah merambah perguruan tinggi, dan kemudian lulus serta dihadapkan pada kenyataan harus bekerja atau mencari nafkah.

Tidak semua wanita muslimah mulus jalannya, setelah menyelesaikan studinya, kemudian ada pria shalih yang melamarnya dan siap menempatkannya dalam istana dan ketenangan rumah tangganya. Tidak semua wanita muslimah setelah menikah tinggal di bawah perlindungan seorang suami yang kokoh bangunan rumah tangga dan ekonominya. Dan tidak semua wanita muslimah memiliki orang tua yang siap men-support-nya dalam kondisi apapun yang dialaminya.

Untuk itu, menjadi kewajiban bagi setiap wanita muslimah untuk mengetahui bagaimana sebenarnya agama mereka yang hanif (lurus) ini mengaturnya. Dan lapangan pekerjaan seperti apa yang diperbolehkan bagi mereka?

Berikut beberapa fatwa yang menyangkut hukum dan jenis-jenis lapangan pekerjaan bagi wanita muslimah serta batasan-batasan mereka dalam bekerja.

Lajnah Daimah lil Ifta’ ditanya :

“Apa hukum wanita bekerja? Dan lapangan pekerjaan apa saja yang dibolehkan bagi seorang wanita untuk bekerja didalamnya?

Jawaban :

“Tidak seorang pun berselisih bahwa wanita berhak bekerja, akan tetapi pembicaraan hanya berkisar tentang lapangan pekerjaan apa yang layak bagi seorang wanita muslimah…” (Majallatul Buhuts al Islamiyah, 19/160)

Lapangan pekerjaan seperti apa yang layak bagi wanita?

Lebih lanjut Lajnah Daimah lil ifta’ menjawab :

“…Ia berhak mengerjakan apa saja yang biasa dikerjakan oleh wanita biasa lainnya di rumah suaminya dan keluarganya seperti memasak, membuat adonan kue, membuat roti, menyapu, mencuci pakaian, dan bermacam-macam pelayanan lainnya serta pekerjaan bersama yang sesuai dengannya dalam berumah tangga. Ia juga berhak mengajar, berjual beli, menenun kain, membuat batik, memintal, menjahit dan semisalnya…” (Majallatul Buhuts al Islamiyah, 19/160).

Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah menerangkan:

“..Lahan pekerjaan seorang wanita adalah yang dikhususkan untuknya seperti pekerjaan mengajar anak-anakk perempuan baik secara administratif ataupun secara pribadi, pekerjaan menjahit pakaian wanita di rumahnya dan sebagainya..” (Fatawa Mar’ah, 1/103).

Sedangkan menurut Syaikh Abdul Aziz rahimahullah,

“Pekerjaan seorang wanita dengan suaminya di ladang atau pabrik atau rumah, maka tidak ada dosa baginya dan demikian pula apabila ia bersama dengan mahram-mahramnya yang tidak terdapat di dalamnya orang lain sebagaimana hukum pekerjaannya bersama wanita-wanita lain…” (Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Syaikh Bin Baz, 4/308).

Para wanita dalam Islam diberikan kebebasan dalam beraktifitas. Dalam rangka menjaga kehormatan para wanita, kesucian serta martabatnya, Islam mengatur dan memberikan batasan-batasan seberapa jauh para wanita beraktifitas.

“Keikutsertaan seorang wanita untuk bekerja dalam lapangan pekerjaan seorang laki-laki akan menyebabkan percampuran dalam pergaulan yang tercela dan berdua-duaan dengannya. Dan hal tesebut adalah perkara yang sangat vital. Akibatnya juga sangat fatal dan hasilnya buruk serta akibatnya tidak baik yakni bertentangan dengan dalil-dalil Islam yang menyuruh wanita untuk tetap berada di rumahnya dan mengerjakan pekerjaan yang dikhususkan dan diciptakan Allah SWT untuknya agar menjadikannya jauh dari ikhtilath (berduaan dengan lain mahram)”.

Batasan yang dimaksud adalah seperti apa yang dijelaskan oleh Syeikh Abdul Aziz rahihmahullah ; “Sedangkan pekerjaan yang diharamkan atas wanita hanyalah pekerjaan yang dilakukan bersama dengan laki-laki yang bukan mahramnya…” (Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Syiekh Bin Baz, 4/308).

Kenapa diharamkan dan seberapa besarkah akibatnya? Beliau SAW menjelaskan :

“Karena hak yang demikian mendatangkan kerusakan dan fitnah yang besar sebagaimana hal tersebut mendatangkan kesempatan berdua-duaan dengannya, sehingga terlihat sebagian perhiasannya. Sedangkan hukum Islam yang sempurna membawa hasil-hasil yang maslahat dan sempurna, menutup kerusakan serta mempersempitnya, menutup jalan yang menghubungkannya kepada jalan yang diharamkan oleh Allah dalam beberapa tempat dan tidak ada jalan menuju kebahagiaan, keluhuran, kehormatan, dan keselamatan dunia dan akhirat, kecuali hanyalah dengan memegang hukum Islam, mengikatkan diri dengan hukum-hukumnya dan berhati-hati dari segala yang bertentangan dengannya.” (Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawi’ah, Syaikh Bin Baz, 4/308).

Lebih jelas lagi beliau SAW menjelaskan bahwa keikutsertaan seroang wanita untuk bekerja dalam lapangan pekerjaan seorang laki-laki akan menyebabkan percampuran dalam pergaulan yang tercela dan berdua-duaan dengannya. Dan hal tersebut adalah perkara yang sangat vital. Akibatnya juga sangat fatal dan hasiknya buruk serta akibatnya tidak baik, yakni bertentangan dengan dalil-dalil Islam yang menyuruh wanita untuk tetap berada di rumahnya dan mengerjakan pekerjaan yang dikhususkan dan diciptaan Allah SWT untuknya agar menjadikannya jauh dari ikhtilath.

Adapun dalil-dalil yang jelas dan shahih yang menunjukkan atas haramnya berdua-duaan dengan selain mahram dan melihatnya serta sarana-sarana yang menjadikan perantara untuk terlaksananya perbuatan yang diharamkan Allah SWT. Dalil-dalil yang banyak, jelas memutuskan percampuran yang menyebabkan perbuatan yang akibatnya tidak terpuji diantaranya adalah dalam firman Allah :

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kami berhias dan bertingkah laku seperti seorang jahiliyah yang dahulu. Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatilah Allah dan RasulNya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersikan kamu sebersih-bersihnya. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan Hikmah (Sunnah Nabi)_. Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui”. QS Al Ahzaab : 33-34

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. QS Al Ahzab : 59

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.  Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya.” QS Annur : 30-31

“…Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka…”. QS Al Ahzab : 53

Nabi SAW bersabda :

“Hindarilah bercampur-campur dengan wanita. Maka berkatalah seorang laki-laki dari kaum Anshar: “Wahai Rasulullah bagaimana pendapatmu tentang saudaranya ipar?” (HR. Bukhari).

Rasulullah SAW melarang untuk berdua-duaan dengan wanita selain mahram secara uum seraya berkata :

Sesungguhnya setan adalah orang ketiganya.” (HR. Ibnu Majahm An Nasai dan dishahihkan oleh Al Bani)

Dan melarang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya untuk menutup jalan kerusakan, menutup pintu dosa, mencegah sebab-sebab kejahatan dan mencegah dua macam tipu daya setan. Berdasarkan ini, maka betul apa yang dikatakan Rasulullah SAW :

“Takutlah akan dunia dan wanita, karena fitnah pertama yang menimpa Bani Israel adalah wanita.”

Seraya beliau bersabda :

“Aku tidak meninggalkan fitnah yang lebih berbahaya bagi seorang laki-laki daripada perempuan.”

Ayat-ayat dan hadits-hadits ini adalah dalil-dalil yang menjelaskan kewajiban menjauhi ikhtilath yang menyebabkan rusaknya keluarga dan hancurnya masyarakat. Dan ketika Anda melihat kedudukan wanita di beberapa negeri umat Islam, maka akan Anda dapati bahwa mereka telah menjadi hina dan tercela karena keluar dari rumahnya yang menjadikannya mengerjakan hal-hal yang sebenarnya bukan tugasnya. Orang-orang yang berakal dari negara-negara Barat telah menyeru keharusan untuk mengembalikan wanita pada kedudukannya semula yang telah disediakan oleh Allah SWT dan diatur sesuai dengan fisik dan akalnya, tetapi seruan itu telah terlambat.

Demikianlah aqwal ulama tentang masalah hukum dan batasan-batasan yang dibolehkannya untuk bekerja bagi wanita.

Dari pembahasan di atas, maka bisa diambil kesimpulan bahwa sebaik-baiknya wanita adalah tetap tinggal di rumah dan menegerjakan pekerjaan yang ada di dalamnya. Seperti firman Allah SWT yang tercantum dalam Surat Al Ahzab ayat 33-34. Dan tidak keluar dari rumah kecuali tuntutan syar’i. sedandainya terpaksa keluar rumah, mereka tetap harus menutupi auratnya, seperti firman Allah SWT dalam Al Qur’an surat Al Ahzab ayat 59, menahan pandangan dan harus beserta mahram.

Diterjemahkan dari Al Fatawa Al Jami’ah lil Mar’arti al Muslimah. Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan

 

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.